Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat, LPSK Usulkan Tiga Rekomendasi untuk Pemerintah

Wakil Ketua LPSK, Manager Nasution (kiri) dan Edwin Partogi (tengah) menggelar keterangan pers dalam peringatan hari HAM sedunia di LPSK, Jalan Raya Bogor, Cijantung, Jakarta Timur, Selasa (10/11/2019). (*)

KABARIKU – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendorong pemerintah agar segera menuntaskan mangkraknya sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. LPSK mencatat sejak tahun 1965 hingga 2019 setidaknya masih ada 14 kasus pelanggaran HAM berat yang tak kunjung selesai.

“Saat ini sudah ada 14 sesungguhnya di Indonesia terjauh dari 1965 kemudian Talangsari, Timor- timor, Wasior Wamena, ada Tanjung Priok, ada Petrus, penghilangan orang secara paksa, ada Semanggi I dan II ada Mey 1998, ada Trisakti,” ungkap Wakil Ketua LPSK, Manager Nasution saat menggelar keterangan pers peringatan hari HAM sedunia di LPSK, Jalan Raya Bogor, Cijantung, Jakarta Timur, Selasa (10/11/2019).

“Kemudian itu sampai 2017 ada 10, 3 diantaranya sudah selesai Timor-timor, Tanjung Priok sama Wasior di Papua, tapi di 2017 ke sini nambah lagi 4, 3 di Aceh, Simpang KKA kemudian Rumah Geudong dan Jambo Keupok, tambah 1 lagi dukun santet di Banyuwagi, jadi ada 14 pelanggaran,” tutur Manager menambahkan.

Guna menyelesaikan daftar panjang kasus HAM tersebut Manager mengatakan LPSK mengusulkan 3 rekomendasi yang bisa pemerintah tempuh. Pertama, pemerintah bisa menyampaikan permohonan maaf secara terbuka atas peristiwa pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi.

“Setiap pelanggaran HAM berat menimbulkan hak atas reparasi (pemulihan) bagi korbannya. Salah satu bentuk reparasi yaitu permintaan maaf. Permintaan maaf ini setidaknya merupakan bentuk keinsyafan negara pernah memperlakukan warganya secara tidak manusiawi, yang bertentangan dengan kewajiban negara untuk menghormati dan menjamin HAM,” ucap Manager.

Usulan kedua, pemerintah bisa membuat semacam memorialisasi berbentuk monumen kenangan sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk memberikan hak satisfasi kepada korban.

“Langkah ini dapat dijadikan momentum bersama sebagai bangsa untuk mempertahankan ingatan dan peringatan agar peristiwa yang sama tidak terulang,” tuturnya.

Usulan terakhir, kata Manager, pemerintah bisa memberikan bantuan kepada para korban dengan pendekatan rehabilitasi psikososial. 

“Apa itu rehabilitasi psikososial? Rehabilitasi psikososial  merupakan salah satu hak bagi korban pelanggaran HAM yang berat selain bantuan medis dan psikologis yang diberikan negara kepada korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).  Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan terhadap UU No. 13/2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban,” tambahnya.

Pentingnya Pemulihan Korban

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi menjelaskan, rehabilitasi sosial dilakukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali. 

“Seperti pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan. Pemenuhan rehabilitasi psikososial hanya mungkin bila terjadi kerjasama antara LPSK dan Kementerian/Lembaga terkait,” ungkapnya.

Selain itu, menurutnya affirmative action juga tak kalah penting. Dia mendorong agar pemerintah turut memfasilitasi para korban pelanggaran HAM berat ini dengan kebutuhan mendasar berupa jaminan kesehatan (BPJS) kelas satu. 

“Mengingat usia sebagian besar korban yang makin senja. Pemerintah daerah juga bisa membuat kebijakan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu keistimewaan hak yang diperoleh para korban pelanggaran HAM berat,” ucapnya.

Edwin memaparkan, berdasarkan data LPSK hingga kini jumlah korban pelanggaran HAM berat yang telah mengajukan permohonan perlindungan cukup signifikan, jika ditotal mencapai ribuan orang.  

“Punya di saya, ini dari tahun 2014 sampai 2019 jumlah permohonan yang masuk di LPSK itu ada 4420 orang korban pelanggaran HAM berat peristiwanya bisa kita lihat ya ada kasus 1965, kasus Jamboe Keupok, kasus Rumah Geudong, Simpang KKA, Talangsari, Tanjug Priok, korban penculikan aktivis di Malang,” papar Edwin.

Dia mengatakan, sebanyak 3.744 orang dari total jumlah tersebut telah mendapatkan perlindungan dari LPSK. Meski begitu menurutnya diperlukan sinergitas antar kementerian terkait guna menuntaskan pemenuhan perlindungan psikosial terhadap keseluruhan korban.

“Jadi ada 7 kelompok korban dari 7 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah ditangani LPSK, kemudian ini jumlah terlindungnya ada 3744 ini jumlah total ini kami hitung sejak tahun 2010, jadi LPSK sejak tahun 2010 telah memberikan layanan bantuan medis, psikologis dan psikososial tadi,” imbuhnya.

“Hanya kenapa kami masih mendorong psikososial dalam keterangan pers kali ini, karena psikosial ini hanya bisa lpsk lakukan apabila didukung oleh kementerian lembaga terkait jadi bahasa di UU itu bukan LPSK yang eksekusi jadi LPSK beserta Kementerian/Lembaga lainnya melakukan kegiatan ini jadi tadi pemenuhan sandang, pangan, papan demikian pekerjaan itu ya menurut kami perlu dukungan dari kementerian dan lembaga yang ada,” tutupnya. (Has)

Tinggalkan Balasan