Jakarta, Kabariku – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 16 tahun penjara terhadap mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, dalam perkara suap terkait vonis bebas terhadap terdakwa Gregorius Ronald Tannur.
Pada sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti pada Rabu (18/6/2025), selain pidana penjara, Zarof juga dijatuhi denda sebesar Rp1 miliar. Apabila tidak dibayarkan, denda tersebut akan diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Putusan ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa yang sebelumnya menuntut hukuman 20 tahun penjara.
Simpul Aktivis Angkatan 1998 atau dkenal SIAGA 98, menilai hukuman tersebut belum mencerminkan keadilan atas kejahatan yang dilakukan.
“Ada hal menarik dari vonis Zarof Ricar. Selain hukuman yang lebih ringan, yang menjadi perhatian kami adalah status barang bukti berupa kekayaan yang nilainya lebih dari Rp900 miliar. Ini harus menjadi perhatian serius,” tegas Hasanuddin dalam pernyataannya, Selasa (24/6).
Seperti diketahui dalam putusannya, Majelis Hakim juga menyatakan temuan uang Rp915 miliar dan 51 kilogram (kg) dari rumah tinggal Zarof Ricar, pun dirampas untuk negara.
Karena dikatakan Hakim uang dan logam mulia yang ditemukan dari kediaman Zarof Ricar itu bersumber dari pendapatan yang tidak sah.
“Majelis dalam amar putusannya, menetapkan perampasan dalam kualifikasi ketentuan barang bukti. Untuk sementara putusan ini harus kita hormati,” ucap Hasanuddin.
SIAGA 98 pada mulanya sangat respect pada pertimbangan Majelis terkait disebutkannya pasal 18 Ayat 1 Pidana Tambahan Perampasan Harta Benda.
“Putusan ini memang menyebut soal perampasan, tapi tidak secara eksplisit memasukkan aset itu sebagai bagian dari pemidanaan tambahan. Ini berpotensi menimbulkan celah hukum di kemudian hari, apalagi jika status barang bukti itu tidak dijelaskan secara rinci dalam amar putusan,” terangnya.
SIAGA 98 mendesak Jaksa Penuntut Umum untuk segera mengajukan banding. Jika tidak, ada kemungkinan besar harta kekayaan yang telah dirampas untuk negara dapat dipersoalkan secara hukum, baik karena kekhilafan majelis maupun kelemahan dalam pelaksanaan eksekusi.
“Awalnya kami sangat mengapresiasi keberanian Majelis menyebut pasal perampasan aset, tapi jika tidak dikonstruksikan sebagai pidana tambahan, maka semangat pemberantasan korupsi berpotensi melemah. Ini kekeliruan yang harus diperbaiki melalui upaya hukum banding,” tuntas Hasanuddin.*
Baca juga :
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post