Jakarta, Kabariku – Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat edaran (SE) terkait penanganan tindak pidana korupsi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, membenarkan adanya surat edaran tersebut. Ia menyebutkan bahwa SE tersebut bersifat internal.

“Surat Edaran tersebut bersifat internal untuk seluruh unit kerja di lingkungan KPK,” kata Budi dikonfirmasi Senin (19/05/2025).
Meskipun isi lengkap SE tidak diungkapkan ke publik, penerbitan ini menegaskan, langkah ini merupakan respons terhadap implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 yang merevisi status pejabat BUMN dalam konteks hukum pidana korupsi.
“SE ini sebagai pedoman pelaksanaan tugas dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi, baik melalui pendekatan pendidikan, pencegahan, penindakan, maupun koordinasi dan supervisi,” lanjutnya menjelaskan.
Undang-undang tentang BUMN yang baru disahkan tersebut menuai sorotan karena salah satu pasalnya menyatakan bahwa direksi, komisaris, dan pengawas BUMN bukan lagi merupakan penyelenggara negara.
Akibatnya, muncul kekhawatiran bahwa KPK tidak lagi memiliki kewenangan untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan petinggi BUMN karena mereka tidak lagi berstatus sebagai penyelenggara negara.
UU Nomor 1 Tahun 2025 yang disahkan pada 24 Februari 2025 merevisi beberapa ketentuan dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Salah satu pasal yang menuai sorotan adalah Pasal 9G, yang menyatakan bahwa direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.
Pasal ini memunculkan kekhawatiran bahwa KPK tidak lagi memiliki landasan hukum untuk menindak pejabat BUMN yang terlibat dalam korupsi, mengingat selama ini KPK berwenang menangani kasus yang melibatkan penyelenggara negara.
Terkait hal itu, Ketua KPK Setyo Budiyanto menegaskan bahwa perubahan status tersebut tidak menghilangkan kewenangan KPK.
“KPK tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap direksi, komisaris, dan pengawas BUMN yang melakukan tindak pidana korupsi,” tegas Setyo pada Rabu (07/05/2025) lalu.
Ia menekankan bahwa dalam konteks hukum pidana, status pejabat BUMN masih dapat dikategorikan sebagai penyelenggara negara tergantung konteks perbuatan hukumnya.
Lebih jauh, Setyo menjelaskan bahwa kerugian di BUMN tetap dikategorikan sebagai kerugian negara, selama terdapat unsur perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, atau penyimpangan terhadap prinsip business judgment rule (BJR).
Setyo merujuk pada Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVII/2019, yang memberikan fleksibilitas dalam menafsirkan kewenangan KPK.
“Kata ‘dan/atau’ dalam pasal tersebut memungkinkan KPK menangani kasus korupsi di BUMN jika ada unsur penyelenggara negara, kerugian keuangan negara, atau keduanya,” paparnya.
Dorong Tata Kelola BUMN yang Lebih Baik
Dalam pernyataannya, Setyo menegaskan bahwa penegakan hukum oleh KPK di sektor BUMN merupakan bagian dari upaya memperkuat tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Hal ini penting karena BUMN berperan strategis sebagai perpanjangan tangan negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mewujudkan kemakmuran rakyat.
“KPK tidak hanya fokus pada penindakan, tapi juga pencegahan dan penguatan sistem. Penegakan hukum di BUMN akan terus dilakukan untuk memastikan perusahaan negara dikelola dengan transparan dan akuntabel,” pungkas Setyo.
Dengan terbitnya surat edaran internal tersebut, KPK menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi di sektor strategis nasional seperti BUMN tetap menjadi prioritas, meski terdapat perubahan regulasi.*
Berita Terkait :
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post