Oleh: Robi Maulana, Koordinator Program Gerak Jakarta
Jakarta, Kabariku – Peringatan Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar rutinitas seremonial tahunan. Ia adalah momen reflektif yang menuntut pertanyaan tajam: apa arti kebangkitan hari ini, dan sejauh mana ia berakar dalam pembangunan kota kita—Jakarta? Dalam ingatan sejarah, kebangkitan nasional lahir dari kesadaran kolektif generasi muda, kaum terdidik, dan golongan progresif yang menolak tunduk pada ketertindasan dan kebodohan. Semangat itulah yang seharusnya menjadi roh pembangunan Jakarta kini. Sebuah kota yang adil, cerdas, dan berpihak pada rakyat banyak.
Jakarta, sebagai ibu kota negara dan episentrum politik-ekonomi nasional, tidak bisa dilepaskan dari dinamika sejarah pergerakan nasional. Lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 menjadi tonggak munculnya kaum intelektual pribumi yang memiliki kesadaran atas pentingnya membangun bangsa secara mandiri. Kini, lebih dari seabad kemudian, kita menyaksikan tantangan baru yang tak kalah pelik: ketimpangan sosial, kemiskinan struktural, dan eksklusi generasi muda dari proses pembangunan kota yang mereka tinggali.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat bahwa sekitar 17,7% pemuda usia 20–24 tahun di Jakarta tergolong NEET (Not in Employment, Education, or Training). Masalah ini menandakan bahwa kebangkitan nasional belum sepenuhnya menjelma menjadi kebijakan kota yang memberdayakan kaum muda. Padahal, dalam sejarahnya, pemuda adalah penggerak perubahan. Mereka bukan sekadar penonton urbanisasi, melainkan harus diposisikan sebagai aktor yang menentukan wajah Jakarta ke depan.
Pembangunan kota yang sejati tidak cukup hanya dengan proyek infrastruktur, jalan tol, dan pencakar langit. Kebangkitan sejati menuntut lahirnya masyarakat terdidik yang kritis terhadap ketimpangan dan sadar akan hak-hak kewarganegaraannya. Kesadaran inilah yang dulu menjadi dasar kebangkitan nasional, dan kini harus dimaknai ulang dalam konteks kota modern yang menghadapi tantangan seperti krisis iklim, kemiskinan digital, dan marjinalisasi warga pinggiran.
Sayangnya, orientasi pembangunan Jakarta hari ini masih terlalu elitis. Riset Perkumpulan GERAK tahun 2024 menunjukkan bahwa 61% alokasi proyek strategis daerah DKI Jakarta lebih banyak menyasar kawasan pusat kota dan elite urban, sementara kawasan seperti Jakarta Utara dan sebagian wilayah Jakarta Barat masih mengalami defisit layanan dasar seperti sanitasi, ruang terbuka hijau, dan transportasi publik yang memadai. Kondisi ini membuktikan bahwa pembangunan belum menyentuh semangat kebangkitan nasional yang inklusif dan berkeadilan sosial.
Kebangkitan Nasional juga mengajarkan pentingnya keberpihakan pada pendidikan. Jakarta sebagai kota yang memiliki APBD lebih dari Rp 80 triliun, seharusnya menjadi pelopor kota berpendidikan unggul. Kenyataannya, kesenjangan kualitas pendidikan antara sekolah negeri unggulan di pusat kota dan sekolah-sekolah di wilayah padat penduduk seperti Tambora atau Cilincing masih tinggi. Sejatinya, pendidikan adalah fondasi utama membangun warga kota yang kritis, partisipatif, dan berdaya.
Peran pemuda dalam menggerakkan kebangkitan Jakarta tidak bisa ditunda. Generasi Z dan milenial kota hari ini adalah pemilik masa depan perkotaan. Mereka perlu diberikan ruang untuk terlibat dalam perencanaan kota, anggaran partisipatif, inovasi sosial, hingga agenda lingkungan. Inisiatif seperti Jakarta Youth City Council atau Forum Musrenbang Pemuda bisa menjadi langkah konkret agar kebijakan kota tidak lepas dari aspirasi generasi penerus bangsa.
Jakarta tidak akan pernah menjadi kota global yang berkelas dunia jika ia gagal menjadi kota yang memanusiakan warganya. Maka, kebangkitan Jakarta bukan hanya tentang ekonomi digital atau proyek ibu kota baru, melainkan tentang bagaimana kota ini membentuk masyarakat terdidik, setara, dan terlibat aktif dalam pengambilan keputusan publik. Di sinilah semangat Hari Kebangkitan Nasional menemukan relevansinya: membangun kota dengan kesadaran, bukan hanya dengan beton.
Jadikan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini sebagai pemantik gerakan kolektif untuk membangun Jakarta yang inklusif dan adil. Generasi muda, masyarakat terdidik, dan warga kota harus bersatu mewujudkan kota yang tidak hanya maju secara fisik, tetapi juga tercerahkan secara sosial. Jakarta yang kita impikan harus lahir dari kebangkitan kesadaran, bukan hanya dari agenda-agenda elite.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post