Bandot DM – Koordinator Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI)
Jakarta, Kabariku – Hari ini, 21 Mei diperingati sebagai Hari Reformasi. Hari mundurnya Suharto sebagai presiden RI Ke-2, setelah bertahta selama 32 tahun. Hari tentang euphoria ‘kemenangan’ aksi mahasiswa melawan rezim orde baru.
Tanggal 21 Mei 1998 adalah titik klimaks dari pertarungan melawan orde baru. Pendudukan Gedung MPR/DPR RI selama 3 hari (18-21 Mei 1998) berujung pada pernyataan mengundurkan diri Suharto tadi singgasananya. Euphoria yang dipungkasi hingga keesokan harinya.
Namun, kerap kita lupakan, barisan korban yang telah menjadi bara yang menggerogoti singgasana orde baru. Bara yang tidak sekadar dipantik di Mei 98 saja. Jejak panjang berdarah orde baru telah menjejak sejak awal berdirinya rezim ini.
Di antara banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di era Orde Baru, Presiden RI ke-7 Joko Widodo telah mengakui dan meminta maaf atas 7 tragedi Pelanggaran HAM Berat yang terjadi semasa orde baru.
- Peristiwa 1965-1966;
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989;
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998;
- Peristiwa kerusuhan Mei 1998;
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999.
Khusus untuk Mei 1998 saja, empat mahasiwa Universitas Trisakti ditembus peluru tajam di halaman kampus, usai berdemonstrasi pada 12 Mei 1998. Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie menjadi korban penembakan di lingkungan kampus yang semestinya menjadi wilayah aman.
Keempatnya, gugur bukan sebagai collateral damage, mereka korban selective extrajudicial killing. Mereka bukan korban ‘ketidak-sengajaan’ aparatur di lapangan. Mereka gugur diterjang peluru, di sudut yang nyaris tidak memungkinkan aparat biasa melakukan penembakan.
Sering juga terlupakan, korban yang berjatuhan dalam kerusuhan terstruktur yang terjadi di 13-14 Mei 1998. Rilis resmi menyebutkan 1190 jiwa menjadi korban dalam kerusuhan ini. Korban dimakamkan secara massal dan simbolik di pemakaman Pondok Rangon Jakarta Timur.
Rangkaian kejadian di awal bulan Mei 1998 inilah yang kemudian menjadi pertimbangan aktifis mahasiswa saat itu untuk melakukan pendudukan ke Gedung DPR MPR. Upaya pertama dilakukan oleh Komunitas Mahasiswa Se-Jabotabek, belakangan lebih dikenal denganForum Kota/Forkot, pada 18 Mei 1998 pagi. Aksi mendapat pengawalan super ketat dari Angkatan Bersenjata saat itu. Meskipun bisa memasuki gerbang depan kompleks MPR-DPR RI, namun aksi ini tertahan di lapangan bagian depan saja.
Jelang senja, aksi ini terpaksa diakhiri mengingat eskalasi dengan aparat meningkat. Sejumlah aparat diketahui membawa senapan berpeluru tajam (strip merah pada magazine).
Sekarang, setelah 27 tahun berlalu, kita masih rutin melakukan peringatan untuk mengenang aksi heroik menurunkan Suharto dari tampuk kepresidenan. Namun, kita pun perlahan mulai melupakan pengorbanan, kepedihan dan kesedihan yang membersamai peristiwa tersebut.
Glorifikasi terhadap peringatan Reformasi 21 Mei 1998 sudah menjadi konsumsi nasional. Namun, kita mesti harus mengenang yang terlupakan.
Sejurus, jelang Mei kita mendengar kabar, sosok Suharta digadang-gadang bakal menjadi Pahlawan Nasional. Sosok yang dilengserkan karena pelanggaran HAM dan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) ini akan bakal dijadikan pahlawan nasional. Padahal, salah satu syarat utama menjadi Pahlawan Nasional adalah Memiliki integritas moral dan keteladanan.
Kini kita seakan dipaksa untuk melupakan keistimewaan sosok Suharto. Nama Suharto sebagai mantan Prasiden dicatatkan secara khusus di Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Pasal tersebut berbunyi: Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia.
Tap MPR ini lantas diabadikan sebagai konsideran dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Catatan inilah yang menjadi penghalang konstitutif untuk menetapkan Suharto sebagai Pahlawan Nasional. Bukan akibat sentimen pribadi yang bersifat emosional.
Hari ini kita mengenang yang terlupakan. Seiring doa untuk mereka yang menjadi korban kekerasan negara. Mereka yang belum memperoleh keadilan. Juga rasa prihatin pada negeri yang masih belum bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan juga kekerasan negara terhadap warga nya (baca pelanggaran HAM) yang merupakan ruh orde baru. Ya, kita kerap melupakan kita berhasil memaksa Suharto turun tetapi belum membasmi elan orde baru.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post