Jakarta, Kabariku- Kasus mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Rafael Alun Trisambodo yang disinyalir ada PML (professional money launderer) total harta kekayaan yang dimilikinya senilai Rp. 56,1 Miliar. Menyusul Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto yang memiliki kekayaan sebesar Rp. 15,7 Miliar.
Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) Tak Wajar kedua pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadi sorotan publik.

SIAGA 98 (Simpul Aktivis Angkatan 98) memaparkan yang menjadi pertimbangan; Pertama, Landasan hukum LHKPN adalah UU (UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
“Sewajarnya tugas dan fungsi pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara setidaknya setingkat deputi sebagai pengganti Komisi Pemeriksa yang diamanatkan UU, bukan direktorat,” kata Koordinator SIAGA 98, Hasanuddin, SH. Senin (6/3/2023).
Kedua, maraknya dugaan kekayaan tidak wajar dari penyelenggara negara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif) tentu perlu penanganan yang komprehensif dengan kewenangan yang memadai.
“Tentu saja hal ini tak cukup setingkat direktorat yang memiliki keterbatasan tersendiri, khususnya pemeriksaan dan penyelidikan kekayaan tak wajar ke ranah penindakan, sehingga tidak sebatas LHKPN sebagai dokumen yang berujung pada arsip semata,” tuturnya.
Hasanuddin menegaskan, Kewenangan penanganan kekayaan penyelenggara negara yang diberikan kepada KPK tentu saja tidak sebatas pencegahan melainkan juga penindakan sebagaimana amanat UU TPK.
Ketiga, Sudah 24 Tahun (1999) pentingnya penyelenggara negara yang bebas KKN dan diberikan waktu untuk menata diri dengan pencegahan, kini saatnya prioritas pada penindakan penyelenggara negara melalui pintu LHKPN.
Keempat, jelas Hasanuddin, penindakan Kekayaan Tak Wajar yang bersumber dari LHKPN sudah memiliki payung hukum, baik berupa UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) maupun UU TPK (Tindak Pidana Korupsi), baik melalui pembuktian terbalik dan ditemukan pidana asalnya dan dapat dilakukan perampasan harta benda melalui pidana tambahan;
“Namun, landasan hukum ini akan terkendala teknis operasional sebab keterbatasan penanganan karena kekayaan penyelenggara negara yang ruang lingkupnya luas hanya ditangani setingkat direktorat (Direktorat PP LHKPN) dibawah kedeputian pencegahan dan Monitoring KPK,” terang Hasanuddin.
Kata Hasanuddin, SIAGA 98 pesimis Kekayaan Tak Wajar penyelenggara negara secara nasional dapat ditangani secara sistematik dan memadai jika hanya mengandalkan sumber daya setingkat direkorat semata.
“Berdasar pertimbangan tersebut SIAGA 98 mengusuĺkan, sudah saatnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkaji pembentukan kedeputian khusus yang menangani kekayaan penyelenggara negara yang juga membidangi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN),” tutup Hasanuddin.***
Red/K.000
Berita Terkait :
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post