Ditulis oleh : Aris Santoso (Pengamat Militer)
Kabariku – Atmosfer perang kemerdekaan (1945-1949) di masa lalu masih tampak jejaknya, ketika kepahlawanan di negeri kita seolah identik dengan tokoh-tokoh berlatar belakang militer. Begitu mengemukanya figur militer, sehingga “menutupi” peran tokoh dari lingkaran lain. Jangankan figur sipil atau elite politik (seperti M Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara), tokoh Polri pun acapkali hampir dilupakan publik pula.
Setelah situasi berangsur normal, insan dengan beragam profesi bisa memberikan kontribusinya, tidak sebatas militer. Beberapa profesi dimaksud antara lain adalah guru dan dokter, dua profesi yang paling krusial untuk menyiapkan generasi baru. Guru dalam menyiapkan aspek kognitif dan karakter, sementara dokter sebagai pemandu pola hidup sehat, agar generasi baru kita tumbuh sehat dengan kecukupan nutrisi.
Pencarian figur yang bisa dijadikan teladan selalu menjadi problem dari generasi ke generasi. Seorang figur yang telah memperoleh predikat Pahlawan Nasional, tidak serta merta menjadikan dirinya dikenal publik, khususnya bagi generasi Zdan generasi Alpha. Karena bisa jadi figur dimaksud memang benar-benar kurang dikenal.
Sementara di sisi lain ada banyak figur nasional yang namanya nyaris dilupakan, sosoknya seakan tersembunyi dalam lipatan sejarah. Bisa jadi karena mereka belum dinominasikan sebagai pahlawan nasional, atau mungkin saja masih dalam proses. Nama-nama seperti Irjen Pol M Omar Qatab dan Jenderal Pol Anton Sujarwo, sudah sangat layak dinominasikan. Meski masih dalam proses nominasi, sejatinya tidak mengurangi makna kontribusi mereka bagi bangsa. Bagi tokoh-tokoh seperti itu, status pahlawan nasional hanyalah soal waktu.
Omar Qatab dan Anton Sudjarwo
Divisi Humas Polri baru saja merilis video figur Bapak Intelijen Polri, yaitu Irjen Pol Omar Qatab (1912-1968, terkadang ditulis Gatab). Dalam video berdurasi sekitar setengah jam tersebut, kita bisa mengenal lebih jauh Omar Qatab, yang mungkin karena karakter penugasannya (intelijen), menjadikan dirinya sebelumnya kurang dikenal publik secara luas.
Salah satu terobosan penting yang pernah dilakukan Omar Qatab (saat memimpin badan intelijen Polri di awal kemerdekaan), adalah menolak rencana penggabungan satuan intelijen Polri di bawah TNI. Omar Qatab memiliki argumentasi sendiri mengapa menolak penggabungan, karena memang ada perbedaan prinsipil (lingkup penugasan) antara intelijen militer dan intelijen Polri.
Omar Qatab memiliki pandangan, ruang lingkup intelijen Polri, setidaknya di masa awal republik, lebih sebagai “intelijen masyarakat”, yakni kegiatan yang memonitor potensi bahaya dalam masyarakat. Dari segi kelembagaan, konsep Omar Qatab masih terlihat jejaknya sampai sekarang. Konsep dan kompetensi “intelijen masyarakat” rintisan Omar Qatab mewujud pada Baintelkam (Badan Intelijen Keamanan) Polri.
Nama lembaga intelijen kepolisian bentukan Omar Qatab, awalnya dulu bernama Pengawas Aliran Masyarakat, nama ini menggambarkan fungsinya yang bergerak di tengah masyarakat. Secara kelembagaan, namanya sempat berganti beberapa kali, namun prinsip kerja dan fungsinya tetap sama. Sikap Omar Qatab agar dinas intelijen Polri tetap berdiri sendiri, dan lepas dari bayang-bayang intelijen militer, memperlihatkan Omar Qatab sebagai pimpinan yang visioner dan memiliki imajinasi soal kompetensi intelijen Polri jauh di kemudian hari.
Terobosan Omar Qatab yang penting untuk dicatat, adalah saat mendirikan grup kesenian Reog BKAK (Badan Kesenian Angkatan Kepolisian). Pembentukan BKAK adalah gagasan cerdas Omar Qatab, bagaimana membentuk opini masyarakat dengan cara persuasif, lebih tepatnyadengan cara jenaka, mengingat BKAK lebih dikenal sebagai grup lawak. Sekadar informasi, Omar Qatab adalah ayah dari komedian Indro Warkop.
Penggalangan atau operasi intelijen melalui grup BKAK ini, kemudian diadopsi oleh Opsus (operasi khusus) pimpinan Ali Murtopo, saat menjelang operasi pendudukan di Timor Timur awal 1970-an dulu. Ali Murtopo melibatkan kelompok musik pop Koes Plus, melalui lagu “Diana”. Lagu Diana merupakan bagian dari disain besar, soal rencana invasi Indonesia ke Timtim (Timor Lorosae), dengan cara persuasif. Melalui kesenian pop (lagu Diana), diskenariokan nama Jakarta atau Indonesia akan menjadi trending topic bagi warga Timtim.
Figur Polri berikutnya yang patut selalu dikenang adalah Jenderal Pol Anton Sudjarwo (1930 – 1988), Komandan Korps Brimob yang sangat legendaris, dan sempat dipercaya sebagai Kapolri (1982-1986). Nama Anton sendiri identik dengan Resimen Pelopor (Menpor), satuan yang memiliki kemampuan khusus dalam Brimob, jadi kira-kira seperti Yontaifib (Korps Marinir) atau Raider (Angkatan Darat).
Periode Anton Sudjarwo sebagai Kapolri hampir bersamaan waktunya dengan periode Jenderal Benny Moerdani sebagai Pangab (kini Panglima TNI, 1983-1988). Saat itu, Polri masih di bawah ABRI, dengan kata lain secara struktur komando, Kapolri (Anton Sudjarwo) saat itu berada di bawah Pangab, beda situasinya dengan sekarang, ketika Polri sudah dilepaskan dari TNI.
Pada saat Anton menjabat Kapolri, ada peristiwa menarik, bagaimana Anton Sudjarwo harusmenyaksikan sendiri, saat Brimob, korps yang sangat dicintainya, sedang berusaha “dikerdilkan” oleh pimpinan ABRI saat itu. Pada era Benny, Komandan Brimob hanya dipimpin perwira berpangkat kolonel (Kombes), bandingkan dengan pimpinan Brimob kiwari, yang disandang jenderal bintang tiga (Komjen).
Pada era Pangab Benny Moerdani, posisi Brimob seolah mencapai titik nadir, selain terjadi validasi (baca: diturunkan) pangkat Komandan satuan (korps), garis komandonya juga “dititipkan” pada Direktorat Samapta Polri, jadi bukan sebagai satuan yang berdiri sendiri, citra kuat Brimob selama ini. Komandan Kors Brimob kembali dipimpin perwira tinggi (bintang satu) pada awal 1990-an, ketika dipimpin Brigjen Pol Sutiyono.
Jenderal Benny juga sempat mengajukan wacana, agar Brimob masuk dalam struktur TNI AD, dengan alasan kualifikasinya setara dengan prajurit infanteri. Dengan cara diplomatis dan halus, Anton bisa lepas dari manuver Benny, sehingga Brimob tetap sebagai satuan di bawah Polri. Bagi yang paham zaman itu, terkesan memang ada rivalitas (secara karisma dan capaian), antara Benny dan Anton, mengingat latar belakang keduanya sebagai sesama (garda terakhir) Generasi 45 dan sama-sama pula sebagai tokoh kebanggaan dari satuan asal.
Sejarah seperti berulang. Apa yang dialami Anton saat menghadapi Benny, mirip apa yang sebelumnya pernah dialami Omar Qatab, ketika satuan intelijen Polri diminta bergabung pada intelijen militer, dan Omar Qatab menolaknya. Semua telah menjadi sejarah, salah satu pelajaran yang bisa kita petik adalah, kebesaran sebuah satuan atau lembaga, tidak bisa dipisahkan dari sikap dan visi pimpinan (komandan).
Menjaga elan patriotisme
Sebagaimana Jenderal Hoegeng (Kapolri 1968-1971), baik Omar Qatab dan Anton Sujarwo dikenal sebagai perwira yang hidupnya sangat sederhana. Sesuatu yang ironis terjadi di masa Orde Baru, perwira-perwira yang berani hidup sederhana dan idealis, biasanya justru cepatterpinggirkan posisinya. Keberanian untuk hidup sederhana seperti itulah, keteladanan yang bisa kita petik dari Hoegeng, Omar Qatab dan Anton Sudjarwo.
Gaya hidup hedonis yang dulu diperagakan para jenderal kroni Soeharto, masih meninggalkan jejaknya sampai hari ini. Bila Jakarta hari ini, dipenuhi oleh elite politik dan para pengusaha yang lebih sibuk memamerkan kekayaannya, di akun media sosial mereka (flexing), tanpa rasa empati sedikit pun pada nasib rakyat, fenomena itu adalah bagian dari gaya hidup yang sudah dimulai sejumlah elite Orde Baru dulu.
Narasi di atas tentang figur utama Polri, selaras dengan apa yang pernah dikatakan Irjen Andry Wibowo (Akpol 1993), saat orasi ilmiah hari wisuda Universitas Ibnu Chaldun (UIC) di Jakarta, akhir Oktober lalu. Andry antara lain menyampaikan: “Hari ini kita membutuhkan patriotisme intelektual, sebuah generasi yang berjuang dengan ilmu, menulis dengan nurani, dan berkarya untuk bangsanya sendiri. Bahwa pengetahuan harus diproduksi bukan untuk kepentingan kapitalisme maupun kekuasaan saja, namun sebagai produksi pengetahuan yang menembus ruang dan waktu”.
Masih merujuk pandangan Irjen Andry, bahwa hari ini kita membutuhkan patriotisme profesional,sebuah semangat bekerja dengan penuh integritas, kejujuran, dan tanggung jawab.Menurut Andry, sebuah semangat dengan kesadaran untuk membangun bangsa bukan pribadi. Karena sesungguhnya, tidak ada bentuk cinta tanah air yang lebih tinggi daripada bekerja sungguh-sungguh untuk rakyat, sebagaimana sudah diperlihatkan Omar Qatab, Anton Sudjarwo, dan beberapa figur nasional lain, terutama yang nyaris dilupakan publik.
Dengan meneladani sejumlah figur Polri tersebut, dihubungkan dengan pandangan Irjen Andry Wibowo soal aktualisasi sikap patriotisme, kini menjadi tugas para orang tua dan guru di sekolah, bagaimana membentuk manusia Indonesia, sejak usia dini sudah memiliki keberanian untuk hidup sederhana. Kiranya nama-nama perwira yang nyaris terlupakan tersebut, akan terangkat kembali suatu saat kelak. Oleh karena itu bagi anak-istri, sahabat dan kerabat para tokohtersebut, tidak perlu berkecil hati, karena nama ayah dan suami mereka, akan senantiasa tercatat dengan tinta emas.
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com


















Discussion about this post