Marlin Dinamikanto
Mantan Pemred Kabar Dari Pijar
KDP
“Saya bersaksi Lu orang baik. Kenangku tentangmu tak kan pernah kering seperti bunga”
Kabariku- Sejak ALDERA terang-terangan menolak Soeharto di Wisma DPR-RI Kopo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 12 Januari 1993; angin perubahan berhembus kencang, setidaknya di lingkungan Aktivis Gerakan.
Pada kurun itu konflik pertanahan terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, antara lain Sumut, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, Bali, NTB, Sulsel dan lainnya. Kami termasuk di antaranya tokoh kita Hendrik Dikson Sirait lahir dari Kawah Candradimuka itu. Kok bisa?

Ya, bisa lah. Gerakan Mahasiswa yang hingga akhir 1970-an bertunas di kampus perguruan tinggi tiba-tiba terusir. Emang sih, sejak 1978 hingga pertengahan 1980-an kami terkesan nggak ngapa-ngapain. Padahal segelintir senior kami, sebut saja Amir Husin Daulay, Agus Eddy Santoso, Danial Indra kusuma dan lainnya terus bergerak agar gerakan mahasiswa tetap hidup.
Kami mahasiswa 80-an berserak membentuk kelompok diskusi, pers mahasiswa yang selanjutnya dengan “bimbingan” Ornop yang dipandegani aktivis lebih senior seperti mas Indro Tjahyono, melakukan advokasi, pendampingan dan bahkan perlawanan berbasis kekuatan rakyat.
Dari sanalah lahir kelompok aksi.

Hendrik Dikson Sirait adalah mahasiswa UNAS Angkatan 1990-an (kampusnya Amir Husin Daulay) yang tergerak menjadi bagian dari agent of social change di tempatnya kuliah.
Kebetulan banyak pula teman-teman seangkatannya seperti Wandy Binyo Nikodemus Tuturong, Ferry Haryono Machfud, Iwan Darmawan dan lainnya, disamping juga mahasiswa Unas dari angkatan yang lebih muda.
Hendrik Cs ini yang meramaikan Yayasan Pijar di Jalan Penggalang bersama mahasiswa dari berbagai kampus lainnya. Ini pula yang menjelaskan kenapa mahasiswa UNAS menyumbang terpidana politik terbanyaknya selain Darul Ulum Jombang dalam kurun yang disebut Oposisi Berserak. Hendrik, Binyo, Mpek, Yeni Rosa, Andy Sumitro alias Black dan sebelumnya Nuku Soleimani dengan stiker seremnya Soeharto Dalang Segala Bencana.
Peran yang selalu diemban Hendrik di kepengurusan Pijar adalah advokasi. Dia bersama-sama mahasiswa lain di Jakarta dan Jawa Barat senantiasa hadir dalam konflik-konflik pertanahan seperti Cimacan, Cijayanti, Rawa Bilal, Majalengka. Jadi tidak salah apabila PBHI merekrutnya dan bahkan sempat terpilih menjadi Ketua PBHI Jakarta setelah reformasi.
Diantara mahasiswa UNAS, Hendrik memang paling serem dan gokil meskipun masih kalah gokil dibandingkan Mpek.
Untuk itu sejak saya yang sudah kuliah di IISIP Angkatan 92 mengenalnya lebih kenal nama Iblis ketimbang Hendrik. Toh demikian hatinya lembut dan anti kekerasan.
Kok tahu?
Ceritanya nih, begitu gerakan massa digebuk setelah peristiwa 27 Juli 1996, suasananya begitu cekam. Banyak penculikan banyak penangkapan. Sejumlah senior aktivis mulai hopless.
Mulai muncul ide gerilya jalanan, mirip Sparrow Unite di Filipina. Anak-anak yang dianggap nyali dilatih merakit bom yang tidak mematikan oleh Herman Widodo alias Herman Coro.
Nah, di sini Hendrik sangat tidak setuju dengan gagasan yang datang dari mas Indro Tjahjono itu. Dia yang lahir di lingkungan keras Tanjung Priok tidak setuju dengan cara-cara kekerasan.
Kok ndilalah pula bom meledak di Tanah Tinggi yang membuat Intel makin mempeng nyulik aktivis. Bahkan ada yang hingga sekarang tidak jelas keberadaanya seperti misal penyair Wiji Thukul.
Meskipun begitu pelatihan pembuatan bom yang disebut aksi non-konvensional terus berjalan. Beberapa aktivis standby di kontrakan Dewi Sartika. Muhendi dari Garut sudah siap dengan bom rakitan meskipun pada akhirnya urung berangkat diduga karena tidak ada ongkos.
Dan puji Tuhan, kampus-kampus mulai bergerak sejak April 1998 sehingga diputuskan tidak ada lagi aksi nonkonvensional alias gerilya kota macam di Filipina.
Oh, ya saya sangat akrab dengan Almarhum Hendrik. Sekitar 2021 di tengah akutnya Covid 19 varian Delta, kalau nggak salah menjelang lebaran dia yang hingga wafat masih menjabat Komisaris anak BUMN PGN minta nomer rekening saya. “Gua titip untuk beli baju anak lu,” katanya.
Memang Hendrik yang dikenal solider kepada sahabat-sahabatnya dikenal gigih dan ulet.
Disela-sela berorganisasi dia sempat menjadi wartawan radio, sudah itu sibuk membantu mengurus warung di rumahnya, sempat pula membuka kedai kopi Bhinneka di garasi kantor DPN Repdem sekaligus aktif memenangkan Masinton Pasaribu pada Pemilu 2014 di samping pula menjadi Sekjen Almisbat di tahun yang sama.

“Saya bersaksi Lu orang baik. Kenangku tentangmu tak kan pernah kering seperti bunga”.***
#UlasanMarlin
Sabtu, 13 Mei 2023
Red/K.000
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post