Oleh. Nandang Wirakusumah, SH
KABARIKU – UU No 2 tahun 2020 (yang baru saja disahkan melalui sidang DPR-RI pada saat Pandemi Corona virus Covid-19) ibarat sebuah kendaraan yang baru keluar dari dealer, dan kendaraan tersebut ternyata rem-nya blong alias tidak berfungsi.
Bagaimana tidak, saat masih menjadi Perppu, telah melanggar dan menerabas banyak perundang-undangan/konstitusi yang telah ada. Kemudian setelah menjadi UU No 2 Tahun 2020, ibarat kendaraan yang rem blong tadi dengan surat-surat STNK dan BPKB-nya sudah keluar, malah semakin melanggar dan terus menabrak-nabrak.
Tentunya hal tersebut membuat sebagian masyarakat merasa tercederai dan merasa kehadiran UU tersebut sangat membahayakan serta mengancam. Bukan saja perekonomian Indonesia, tata hukum Negara Indonesia seakan menjadi berantakan dibuatnya.
Kehadiran UU tersebut juga dianggap oleh sebagian orang merupakan sebuah akal-akalan untuk menutupi kegagalan dan salah kelola ekonomi oleh rezim di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, di mana ekonomi Indonesia pada saat ini sesungguhnyan telah gagal memenuhi target.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis angka pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal III 2019 ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,02%. Angka ini di bawah capaian periode kuartal I dan kuartal II-2019, sekaligus berada di bawah Kuartal III-2018 yang mampu tumbuh 5,17% secara tahunan. Dan di sepanjang tahun 2019 ekonomi Indonesia sangat tidak menggembirakan dan tidak sanggup tumbuh sesuai target menjadi 5,3%.
Target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7% tidak pernah terlampaui, sesuai yang dijanjikan Jokowi dalam kampanye Pemilihan Presiden. Kegagalan mencapai target ini selalu dikaitkan dengan melambatnya pertumbuhan perekonomian global sebagai alasan.
Tahun 2015 International Monetary Fund (IMF) mencatat bahwa perekonomian global tumbuh sebesar 3,44%. Angka pertumbuhan ini melambat dibandingkan pertumbuhan Tahun 2014 yang sebesar 3,577%. Kemudian pada Tahun 2016 dan pada Tahun 2017 pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789% menandai pertumbuhan tertinggi sejak 2011, sehingga pertumbuhan ekonomi global dari tahun 2016 ke tahun 2017 mengalami lonjakan sebesar 0,42%.
Oleh karena itu, tidak tercapainya target peningkatan ekonomi Indonesia dyang dikaitkan dengan dengan melambatnya ekonomi global ebagai penyebab, sangat tidak beralasan. Hal itu disebabkan oleh sistem tata kelola ekonomi yang salah, dengan impor berbagai macam produk, dari impor garam sampai berbagai macam sumber pangan. Yang lebih menghawatirkan lagi bahwa produk pangan kita tidak mampu bersaing dengan negara–negara global lainnya.
Sementara itu penganguran Indonesia pun berbanding lurus dengan angka pertumbuhan ekonomi. Seperti data yang dirilis BPS, pada Agustus 2019 tingkat pengangguran terbuka di Indonesia berada di level 5,28% dan angka ini menjadi yang tertinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand yang hanya 1% dan Vietnam 2,17%.
BPS kembali melansir pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 2,97 % pada Kuartal I / 2020. Angka pertumbuhan ini merupakan salah satu angka pertumbuhan paling rendah setelah tahun 2001 setelah merebaknya Pandemi virus Covid-19.
Hal ini semakin memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang ditandai dengan jatuhnya nilai rupiah atas dolar Amerika, sempat mencapai di angka Rp 16000 per dolar Amerika. Pandemi virus corona justru digunakan oleh pemerintah Indonesia sebagai alasan atau kambing hitam.
Dalam suasana pandemi virus corona pemerintah Indonesia justru memberikan peluang bagi para pelaku korupsi dan manipulatif keuangan negara, dengan melakukan konspirasi tentang corona. Misal: munculnya program projek Ruang Guru yang proses penunjukannya sebagai partner pelaksana Kartu Prakerja diduga tidak sesuai dengan mekanisme dengan anggaran Rp 5,5 triliun. Anggaran lainnya sebesar Rp 20 triliun untuk kartu prakerja. Kesemuanya ini akan berlindung di balik UU No 2 Tahun 2020 Pasal 27 Ayat (1, 2) yang baru saja disahkan oleh DPR-RI.
Inilah praktek konspirasi negara dalam suasana pandemi Covid-19 yang dikhawatirkan akan terjadi. Undang-Undang No 2 tahun 2020 tersebut telah melanggar banyak Undang-Undang /Konstitusi yang telah ada, antara lain Undang-Undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kehakiman, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Tentang KPK, UUPA Tahun 1960. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang MD3. Undang–Undang No13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga Kerjaan, Undang–Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Membahayakan Perekonomian Nasional, dan/ atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Maka, sangatlah wajar dan cukup beralasan kenapa UU No 2 /2020 ini sejak menjadi Perpu No 1 /2020 telah banyak digugat oleh banyak tokoh dan mayarakat ke MK. Dalam UU tersebut banyak pasal yang sangat kontroversial di antaranya, Pasal 2 Ayat (1) huruf a. Pasal 27 angka 1,2,3. Pasal 2 Ayat (1) huruf angka 1,2 bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahunan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 27, Ayat (1),(2),(3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3) bahwa Indonesia sebagai negara hukum dan Pasal 27 Ayat (1) Segala Warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal Pasal 27 Ayat (1) dan (2) bertentangan dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor yang berbunyi; setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.
Ayat (1) segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal Ayat (3) Negara Indonesia adalah Negara Hukum untuk menjunjung tinggi dan menaati hukum yang dipositifkan di dalam Undang-Undang a quo, oleh karena: Bahwa salah satu tujuan dari kebijakan keuangan negara agar terciptanya sistem keuangan yang stabil dari bahaya ancaman covid-19 yang dapat mengancam dan berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, sehingga hal ini bertujuan untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional sehingga fokus pada belanja untuk kesehatan, serta pemulihan ekonomi.
Pasal 2 Ayat (1) huruf a angka 1,2 Pasal 27 ayat (1),(2),(3) Undang–Undang No 2 Tahun 2020 Tentang Peraturan Keuanangan Negara Dan stabiltias system keuangan untuk penanganan pandemi corona virus disease 2019 (covid-19) Dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/atau Stabilitas Sistem bertentangan dengan konstitusi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Bahwa Pasal 27 ayat (1), (2),(3) pada undang-undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Siste ( Covid-19 ) Dan /atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perokonomian Nasional Dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan telah sangat bertentangan dengan semangat yang di bangun, serta bertentangan dengan ketentuan Undang –Undang Negara Republik Indonesia, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Bahwa setiap negara memiliki konstitusi sebagai suatu dokumen yang memuat kesepakatan yang dirumuskan pendiri republik ini. Konstitusi memuat tujuan negara, bagaimana hubungan lembaga–lembaga negara satu sama lain serta hubungan negara dengan rakyat. UUD 19945 adalah merupakan konstisusi tertulis yang merupakan hukum tertinggi di Indonesia. Hukum harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi landasan dari segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus baik serta adil sesuai dengan semangat dan harapan masyarakat.
Negara diselenggarakan dan menjalankan tugas harus berdasarkan, (1) Kepastian hukum, (2) Tuntutan perlakuan yang sama, (3) legitimasi demokrasi,(4) tuntutan akal budi.
Namun bunyi pasal 27 ayat 2 Undang-Undang No 2/2020 mengatakan, Anggota KSSK, Sekertaris KSSK, anggota KSSK dan pejabat atau Pegawai Kementrian Keuangan, serta Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin simpanan dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .
Kalimat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana adalah kalimat yang sangat membuka peluang bagi pihak yang menjalankan serta melaksanakan Pasal 27 Undang-undang No 2 Tahun 2020 untuk melakukan penyimpangan.
Kejahatan terjadi bukan karena ada niat tapi karena adanya kesempatan. Maka dengan adanya pasal 27 Ayat (1), (2),(3) maka jika terjadi kerugian negara kami selaku warga negara, sebagai rakyat yang telah membiayai negara dengan pajak, tidak bisa meminta pertanggungjawaban mereka secara pidana. Padahal Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, Negara Indonesia adalah Negara Hukum sehingga setiap perbuatan melawan hukum akan berhadapan dengan hukum yang berlaku.
Kemudian Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 19945 menyatakan, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya. Artinya semua warga negara, baik pejabat pemerintah, rakyat biasa, anggota KSSK semua sama di hadapan hukum yang berlaku di Indonesia tanpa ada pengecualian
Pasal 28 D Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian, semua warga negara Indonesia harus diperlakukan sama apabila yang bersangkutan telah melakukan perbuatan melawan hukum, termasuk, Anggota dan Pejabat KSSK.
Faktanya bahwa, jauh sebelum terjadinya pandemi virus corona (Covid-19 )perekonomian Indonesia tidak terlalu membaik, hal ini terlihat dengan dengan kurangnya Indonesia dapat menghasilkan berbagai makan produk pangan sendiri dan untuk memenuhi hal tersebut banyak dilakukan impor dari beberapa negara. Menurut data BPS tahun 2012 hingga 2019 masih banyak bahan pokok yang masih di impor dari negara lain, hampir 29 jenis bahan pokok yang di impor oleh Indonesia, antara lain, beras, jagung, kedelai, biji gandum dan mesin, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging sejenis lembu, jenislembu, daging ayam, garam, mentega, minyak goring susu, bawang merah, bawang putih, kelapa, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kakai, caba, cabe kering, cabe awet, tembakau, ubi kayu, kentang.
Dengan nilai impor sebesar 17 Milyar kilogram bahan pokok senilai US$ 8,6 Milyar atau setara dengan (kurs: Rp 104,9 triliun) Ironisnya justru bahan yang di impor tersebut justru bisa di hasilkan di negri sendiri dimana Indonesia terkenal dengan sebutan negara agraris.
Mengutip Para tokoh senior dan ahli ekonomi di antaranya pengamat senior Dr. Ir. Rizal Ramli, M.A, bahwa jauh sebelum adanya Pandemi wabah Covid-19 perekonomian Indonesia sudah bermasalah, dari tahun 2017, 2018, 2019 dan lebih parah dari krisis 1998, di perparah dengan besarnya utang luar negri yang cukup besar sekali, Indonesia mengalami daya jual beli yang rendah.
Kemudian menurut ekonom Prof. Dr. Sri Edy Swasono, Guru Besar Universitas Indonesia, jumlah utang Indonesia telah meningkat 40 persen (Rp 2.800 trilliun ) target ekonomipun belum pernah tercapai, di sahkannya UU No 2 Tahun 2020 bertujuan untuk menutupi kegagalan dalam mengelola ekonomi, dalam lima tahun terakhir bahwa pemerintah tidak mencapai target dalam pengelolaan ekonomi yang telah di janjikan, sebelum terjadi pandemi corona bukan saja nilai tukar AS terhadap Rupiah turun jauh di bawah target Rp10.000 menjadi sekitar Rp 15.000 dan berbagai kegagalan tersebut akan di tutupi melalui UU No 2 tahun 2020.
Bahwa di sahkannya Undang-Undang No 2 Tahun 2020 ini akan sangat membahayakan perekonomian Indonesia karena terbuka lebarnya kesempatan pengelolaan keuangan yang salah dan menyimpang yang berpeluang merugikan negara, yang tidak dapat di tuntut, baik secara perdata, pidana serta Pendilan Tata Usaha Negara, karena Undang–Undang, Kehakiman, Undang-Undang KPK, Undang Undang Tipikor, Undang–Undang Pokok Agraria, tidak lagi bisa menjangkau dan telah di Kemudian Dr. Ahmad Yani mengatakan bahwa di dalam UUD 19945 dikatakan secara tegas bahwa penyusunan anggaran di lakukan secara bersama-sama antar DPR dan pemerintah dan tidak boleh menentukan sepihak dan jika mau ada perubahan dalam APBN-P tidak boleh sepihak.
Haram hukumnya jika anggaran tidak dalam bentuk APBN sehingga. Kemudian ada beberapa Undang-Undang yang tidak berlaku lagi akibat di sahkannya UU No 2 Tahun 2020, yaitu UU Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, UU Bank Indonesia, UU Keuangan Negara. UU Perbendaharaan Negara, UU Lembaga Penjamin Simpanan, UU Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah, UU Kesehatan, UU Desa, UU Pemerintah Daerah, UU Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU APBN 2020, Undang Undang Dasar 19945 telah pembagian Kekuasaan didalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan cabang–cabang kekuasaan yaitu, eksekutif, legislatif, yudikatif dan pemeriksa keuangan Dr. Refly Harun bahwa di dalam UU No 2 tahun 2020 sama sekali tidak membicarakan /membahas tentang bagaimana strategi penanganan dan pencegahan virus corona, melainkan malah berbicara soal keuangan dan strtegi kebijakan mengatasinya dengan memunculkan pasal yang tidak bisa di pidana, didalam sistem hukum Indonesia UU anti Korupsi adalah hukuman mati, bukan Imunitas (kebebasan dari hukuman) sehingga lahirnya UU No 2 tahun 2020 telah menghilangkan serta meniadakan penegakan hukum, terbukti, bahwa UU Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19 ) Dan/atau Dalam Rangka Menghhadapi ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Hak Konstitusional.
Sekali lagi! keberadaan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 dinilai tidak urgen dan perlu digugat!. Selain itu, pemerintah juga dianggap tidak memiliki alasan hukum yang kuat dalam membentuk aturan tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 ini.
Nandang Wirakusumah, SH
Praktisi hukum/Advokat Senator ProDEM