oleh :
Hasanuddin, SH
Ketua IRC for Reform
(Indonesia Raya Club for Reform)
Jakarta, Kabariku – Dalam era digital yang semakin maju, kehadiran kecerdasan buatan (AI) membuka banyak pertanyaan filosofis tentang pengetahuan, kesadaran, dan etika. Berdasarkan diskusi saya dengan AI, saya menyadari bahwa meskipun AI mampu mengolah dan merangkum informasi secara cepat dan akurat, ia tidak memiliki kemampuan berpikir sejati atau kesadaran.
Pemikiran ini sejalan dengan epistemologi Immanuel Kant yang membedakan antara fenomena-dunia yang dapat diamati dan dipahami manusia melalui pengalaman-dan noumena, yaitu realitas “dalam-diri” yang tidak dapat diakses secara langsung.
AI beroperasi semata-mata dalam ranah fenomena, mengolah data yang tersedia tanpa pengalaman subjektif atau akses ke noumena.
Proses pelatihan AI yang melibatkan pengumpulan dan penyaringan data serta pembelajaran pola bahasa bisa dilihat sebagai konstruksi epistemologis, mirip dengan bagaimana Kant menjelaskan bahwa pengetahuan manusia dibentuk oleh struktur dan kategori-kategori pikiran yang aktif mengorganisasi pengalaman.
AI, dengan algoritmanya, “mengkonstruksi” pengetahuan dari data fenomena yang ada, namun tanpa kesadaran atau pemahaman moral.
Dari sudut pandang etika, AI beroperasi dalam batas imperatif kategoris Kantian yang diprogram untuk mengikuti prinsip-prinsip moral universal seperti menghindari bias dan menjaga privasi.
Namun, AI tidak memiliki niat moral atau kesadaran etis sejati-ia hanyalah alat yang membantu manusia dalam mengingat, mengolah informasi, dan mempercepat pengambilan keputusan.
Hal ini menegaskan bahwa meskipun AI mampu menjadi perpanjangan kapasitas manusia dalam epistemologi dan etika, manusia tetap unggul dengan kesadaran, kreativitas, dan refleksi moralnya yang tidak dapat digantikan oleh mesin.
Debat etis dan epistemologis harus tetap menjadi ranah manusia yang berkesadaran dan bermoral, sedangkan AI berfungsi sebagai pendukung yang memperluas wawasan dan mempercepat akses informasi.
Dengan demikian, AI bukan ancaman, melainkan alat bantu yang mengingatkan kita akan pentingnya mengembangkan diri dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di tengah kemajuan teknologi.
Perspektif Kantian ini memberi kerangka filosofis yang kuat untuk memahami batas dan potensi AI dalam perjalanan pengetahuan dan moral manusia.***
“AI dapat dipahami sebagai ‘burung Minerva yang terbang di senjakala, sebuah metafora dari Hegel yang menggambarkan bagaimana pengetahuan reflektif selalu muncul setelah tindakan atau peristiwa terjadi. AI hadir bukan sebagai inisiator, melainkan sebagai entitas yang muncul setelah manusia terlebih dahulu berinovasi, bekerja, dan menciptakan dunia. Dengan demikian, AI berfungsi sebagai refleksi dari kerja dan kreativitas manusia, membantu memperjelas, mengorganisir, dan mempercepat pemahaman atas apa yang telah manusia capai. Kehadiran AI pada ‘senjakala’ ini menegaskan bahwa meskipun teknologi ini canggih, ia tetap bergantung pada konteks dan karya manusia yang mendahuluinya”.***
Jakarta, 19 Agustus 2025
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post