Garut, Kabariku – Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kabupaten Garut menegaskan bahwa kewajiban pembayaran royalti musik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat setempat.
Regulasi ini berpotensi menambah beban bagi pengusaha kecil yang saat ini tengah menghadapi tekanan finansial tinggi.
Wakil Ketua Umum KADIN Garut Bidang Hubungan Kerja Sama Antar Lembaga, Galih F. Qurbany, menyoroti besarnya kewajiban royalti bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Kita berbicara soal Garut, mayoritas usaha di sini adalah UMKM. Keuntungan tipis, harga bahan baku terus naik, daya beli stagnan. Lalu PKM dan kafe harus bayar Rp60.000 per kursi per tahun atau Rp180.000 per meter persegi hanya untuk memutar musik? Ini bukan perlindungan, ini pemungutan yang abai terhadap akal sehat,” tegas Galih saat ditemui di kantornya, Jumat (15/8/2025).
Kondisi Ekonomi Garut
Menurut data terbaru, PDRB per kapita Kabupaten Garut pada 2024 tercatat Rp29,01 juta per tahun, jauh di bawah rata-rata Provinsi Jawa Barat.
UMKM menyumbang sekitar 45,77 persen dari total PDRB Garut, menandakan ketergantungan ekonomi daerah pada usaha kecil yang biasanya tidak memiliki cadangan finansial besar.
Dampak Beban Royalti bagi Pelaku Usaha
Galih mencontohkan, sebuah kafe dengan 30 kursi harus membayar royalti sebesar Rp1,8 juta per tahun, jumlah yang sebanding dengan biaya listrik bulanan.
“Lalu manfaat apa yang diterima oleh pengusaha atau penciptanya?” ujarnya retoris.
Ia juga mempertanyakan klaim distribusi royalti LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional), di mana 90 persen dana diklaim disalurkan ke pencipta.
“Para pencipta lokal yang lagunya sering diputar di hajatan atau radio komunitas mengaku tak pernah menerima royalti satu sen pun. Jika demikian, ke mana uangnya pergi?” Galih menegaskan.
Kritik lain disampaikan terkait tarif yang tidak membedakan jenis musik.
“Jika yang diputar adalah lagu tradisi Sunda atau karya public domain, mengapa tetap kena tarif? Bahkan suara radio lokal pun bisa dianggap melanggar, ini bukan perlindungan, tapi pembekuan hak publik,” jelasnya.
Akibatnya, banyak pemilik kafe diprediksi akan mematikan musik sama sekali, menghilangkan kesempatan promosi gratis bagi musisi lokal dan mengurangi kenyamanan ruang publik.
Seruan Transparansi dan Keadilan Regulasi
Galih menegaskan, regulasi hak cipta baru bisa diterima jika memenuhi tiga syarat utama: transparansi, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
“Tanpa audit independen terhadap LMKN serta publikasi daftar penerima royalti beserta nominalnya, klaim distribusi royalti hanyalah fiksi di atas kertas,” tukas Galih.
Aksi Konkret KADIN Garut
Menanggapi situasi ini, KADIN Garut akan membentuk aliansi bersama PHRI dan APINDO Kabupaten Garut untuk menggelar public hearing di DPRD Kabupaten Garut, mendesak pemerintah pusat meninjau atau merevisi pasal-pasal terkait royalti dalam UU Hak Cipta.
“Kita tidak menolak hak cipta, tapi menolak regulasi yang membunuh usaha lokal demi kepentingan sekelompok pihak. Garut punya karakter ekonomi sendiri, aturan yang baik harus menghormati hal tersebut,” tutup Galih penuh semangat.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post