• Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
Sabtu, Juli 5, 2025
Kabariku
Advertisement
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
Tidak ada hasil
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
Home Opini

Tujuh Tantangan Besar Indonesia 2023, Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda Nainggolan

Redaksi oleh Redaksi
4 Januari 2023
di Opini, Tokoh
A A
0
ShareSendShare ShareShare

Pemberantasan Korupsi

SERI ke 4

Kabariku- Hari ini saya membahas tantangan keempat Indonesia tahun depan, yakni  pemberantasan korupsi. Pembahasan ini menyangkut aspek struktural maupun kultural.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Struktural berhubungan dengan kekuasaan, sistem legal dan “power relation”. Sedangkan kultural berhubungan dengan moralitas, norma dan gerakan serta dinamika sosial dalam masyarakat.

RelatedPosts

Angin Segar dari Pemerintah: Saatnya Industri Hotel Bangkit Kembali

Koruptor Berlari, Hukum Tertatih

Putusan MK dan Pertanyaan Besar yang Mengiringinya

Negara-negara besar selalu berhasil memperlihatkan indeks persepsi korupsi yang tinggi, pada indeks versi “Transparancy International” artinya penanganan korupsi sangat baik.

Indonesia selalu berada pada indeks yang rendah, dibawah rerata dunia (44). Tahun lalu indeks Indonesia mencapai 38, jauh dibawah Singapura dan Malaysia.

Transparansy Internasional mengaitkan tingginya korupsi dengan rusaknya kebebasan sipil dan banyaknya pelanggaran hak-hak asasi manusia di suatu negara (lihat: ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-2021-korupsi-hak-asasi-manusia-dan-demokrasi/).

Musuh Koruptor adalah Kontrol Sosial

Tapi sebenarnya ini juga berkaitan dengan ideologi. Ketika saya menulis ”Matinya Reformasi, Budaya Korupsi dan Tamatnya Nasib KPK”, 2019, disitu diperlihatkan cerita Jung Chang, seorang novelis asal China, dalam novelnya yang sangat terkenal, “Wild Swans: Three Daugters of China”, terjadi perubahan kultur pada ayahnya yang menjadi pimpinan Komunis sebuah kota di era Mao Ze Dong.

Ideologi itu mengantarkan budaya baru pada ayahnya untuk masuk pada “rule of thumb” promosi karir orang bukan berdasarkan hubungan keluarga (anak, istri, ponakan, dll) melainkan berdasarkan pemahaman nilai-nilai komunis.

Di China, keberhasilan menolong keluarga, apalagi mendorong anak dan keponakan menjadi pejabat negara, menjadi kebanggaan. Budaya kita juga begitu, masih.

Jung Chang menceritakan tindakan ayahnya itu, tidak menolong keluarga, membuat mereka dikucilkan keluarga.

Sisi kultural ini adalah sisi yang menyangkut nilai yang dianut oleh masyarakat.

Indonesia, sebagai masyarakat mayoritas muslim, seharusnya terikat dengan nilai-nilai anti korupsi, kolusi serta nepotisme.

Sebuah ilustrasi ajaran Islam misalnya diuraikan sebagai berikut:

Ibnu Zanjuwaih (wafat 247 Hijriyah) meriwayatkan dalam bukunya Al-Amwal, ia berkata, “Umar Bin Khattab memiliki seekor unta. Budaknya memerah susu unta setiap hari untuknya. Suatu ketika, budak membawa susu unta ke hadapan Umar. Umar berfirasat lain dan dia bertanya kepada budaknya, “Susu unta dari mana ini?”.

Budaknya menjawab, “Seekor unta milik negara (Baitul Maal) yang telah kehilangan anaknya, maka saya perah susunya agar tidak kering, dan ini harta Allah”.

Umar berkata, “Celakalah engkau! Engkau beri aku minuman dari neraka!”. (Sumber: Republika, 14/12/20, “Teladan-Teladan Umar yang tak Aji Mumpung Gunakan Fasilitas Negara”).

Nilai yang diajarkan pada peristiwa itu adalah tidak mencampur-adukkan barang publik dengan barang pribadi.

Selain itu, sebagai penguasa utama, Umar Bin Khattab, memberikan teladan bahwa membersihkan diri dari harta haram harus dimulai dari khalifah (Presiden atau Raja).

Rasa malu atas prilaku korupsi dalam budaya, juga seharusnya dicontohkan oleh masyarakatnya. Masyarakat yang sadar selalu menolak mengambil hak orang lain.

Hal ini terlihat pada masyarakat yang tertib dalam antrian, misalnya bertransportasi atau di pusat pelayanan lainnya.

Masuk perguruan tinggi negeri, melalui titipan dan sogokan, seperti yang terjadi di Unila baru-baru ini, menunjukkan kerusakan struktural dan kultural sekaligus, karena melibatkan katabelece orang yang berkuasa, dan menunjukkan calon mahasiswa yang tidak menghargai hak-hak orang lain.

Baca Juga  Diskusi Cangkir Opini Bersama IMM Bojonegoro ‘Islam Moderat Jalan Tengah yang Dirindukan’

Berbeda dengan masyarakat biasa, bagi seorang pemimpin, rasa malu harusnya ditebus dengan cara-cara yang luar biasa, misalnya bunuh diri, seperti yang dilakukan Roh Meehyong, eks Presiden Korea Selatan, atau mengundurkan diri dari jabatan, seperti yang sering dilakukan pejabat di negara beradab.

Korupsi Merupakan Cerita Lama

Lalu dari mana kita memulai telaahan? Kita harus fokus pada korupsi yang menyangkut kekuasaan.

Sebab, kekuasaan yang dibangun oleh sistem dan orang-orang yang korup akan memastikan negara itu menjadi negara gagal (failed state).

Marilah kita lihat yang terbaru dari kekuasaan rezim Jokowi. Kita dikejutkan oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Menko Maritim dan Investasi, beberapa hari lalu dalam sebuah pidatonya yang menyebar luas, bahwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) seharusnya tidak terus-menerus melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan).

Alasannya, kita hidup di dunia, bukan di surga. Menurutnya, OTT memalukan Indonesia di dunia internasional.

Operasi KPK ini padahal sejak awalnya merupakan andalan KPK untuk membongkar korupsi, karena KPK sebagai institusi memang didesain untuk bekerja “extra ordinary”.

Melakukan penyadapan dan tangkap tangan adalah kekuatan KPK dibanding institusi Kejasaan Agung.

Kita harus mengecam pernyataan LBP ini sebagai pelemahan pemberantasan korupsi saat ini. Pemberantasan korupsi memang harus dilakukan di dunia, bukan di surga.

Pernyataan LBP yang didukung oleh Mahfud MD soal KPK terbaru ini juga adalah tanda-tanda terbukanya sikap rezim Jokowi yang tidak mendukung lagi upaya pemberantasan korupsi.

Dulu, Jokowi, ketika pertama kali menyusun kabinetnya,  menyingkirkan Budi Gunawan (BG) dari calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia, karena alasannya KPK memberikan raport merah (tidak bebas korupsi) pada BG.

Saat itu Jokowi memberi pesan kepada rakyat Indonesia bahwa dia akan memulai sebuah pemerintahan yang bersih, anti korupsi.

KPK sebagai institusi  yang kala itu sangat dipercaya publik sebagai penyaring calon-calon pejabat negara, yang terkait bebas korupsi, menjadi partner Jokowi dalam menseleksi semua calon kabinetnya.

Menyingkirkan BG kala itu tentu saja menjadi spektakuler karena BG merupakan inti dari partai pendukung utama Jokowi, yakni PDI Perjuangan.

Namun, kemesraan dengan KPK berangsur sirna, bersamaan dengan hilangnya tema-tema anti korupsi.

Pada tahun 2019 KPK dilemahkan dengan revisi UU KPK, yang menempatkan KPK dalam kontrol pemerintah via Dewan Pengawas. KPK tidak dilibatkan lagi dalam seleksi pejabat yang bersih, bahkan KPK disterilisasi dengan isu Taliban pada tahun 2021, dan terakhir KPK terkesan diintimidasi oleh LBP.

Pada era Jokowi jilid satu, berbagai persoalan korupsi muncul, baik dalam skala besar maupun menengah.

Skala besar terkait isu “Papa Minta Saham”, dan penangkapan dua menteri Jokowi, Imam Nahrawi dan Idrus Marham.

Dalam catatan Kompas 2019, malah ada lebih banyak lagi menteri/mantan menteri Jokowi yang terkait dengan masalah korupsi (nasional.kompas.com/read/2019/12/19/10474081/kaleidoskop-2019-menteri-era-jokowi-yang-berurusan-kasus-korupsi).

Sedangkan skala menengah adalah penangkapan kepala-kepala daerah yang jumlahnya tetap besar.

Pada era Jokowi jilid dua, korupsi sepertinya mulai subur seperti di era orde baru. CNBC melukiskan bawa hanya di era Jokowi ini jumlah uang dikorupsi hampir sama dengan kasus BLBI Orde Baru, yakni kasus Apeng, korupsi Jiwasraya, dan Asabri. (sumber: www.cnbcindonesia.com/market/20220817183001-17-364517 ini-daftar-3-kasus-korupsi-terbesar-ri-nyaris-samai-blbi/2).

Baca Juga  Tak Masuk Kabinet, Mantan Wamen ESDM Arcandra Tahar Disiapkan Jadi Komut PGN

Di era Jokowi ini juga kejahatan terhadap orang miskin dilakukan, ketika bencana kematian datang, yakni dengan korupsi dana Bantuan Sosial Covid-19. Selain korupsi oleh Menteri Sosial, Menteri Jokowi lainnya juga melakukan korupsi, yakni Edhy Prabowo, Menteri KKP.

Terakhir, yang menggemparkan pada tahun 2022 ini adalah PPATK temukan transaksi keuangan misterius sebanyak Rp. 183,8 T.

Korupsi dalam skandal ijin ekspor minyak goreng, serta skandal korupsi dan mafia kasus dua Hakim Agung (Sudrajat Dimyati dan Gazalba Saleh). Hakim Agung sebagai simbol “malaikat” atau perwakilan Tuhan Y.M.E di muka bumi  ternyata sudah bobrok juga.

Tak kalah penting juga, jumlah harta anak-anak Jokowi, yang begitu besar menimbulkan pertanyaan, seperti yang dilaporkan Ubaidillah Badrun ke KPK, terkait dengan perolehan dana untuk pembelian saham senilai Rp. 92 Milyar (www.tribunnews.com/bisnis/2022/01/14/perihal-pembelian-saham-rp-92-miliar-yang-bikin-putra-presiden-jokowi-kaesang-dilaporkan-ke-kpk).

Akhirnya, kini kita menyadari bahwa era Jokowi saat ini sebanding atau bahkan lebih buruk dari era Orde Baru dalam lilitan dan pusaran kasus korupsi.

Sebagian besar pendukung Jokowi melihat peristiwa yang ada dari kacamata sebaliknya dan sebagian lagi melihat dengan “kacamata kuda”.

Kelompok pertama, berargumentasi bahwa justru di era Jokowi inilah kasus korupsi besar terungkap dan ditangani.

Ini adalah prestasi Jokowi, menurutnya. Argumentasi ini sangat lemah tentunya. Sebab, dalam teori kepemimpinan, jika menteri-menteri Jokowi dan mitranya, seperti petinggi parpol melakukan korupsi, maka dipastikan ada “share responsibility” yang harus ditanggung oleh Jokowi sebagai Presiden.

Kelompok kedua, yang melihat dengan “kacamata kuda”, melihat bahwa yang salah pasti bukan pemerintah, melainkan keadaan.

Istilah kita hidup bukan di surga, seperti yang diargumentasikan LBP, menunjukkan kondisilah yang salah. Argumen ini tentu sangat konyol.

Pemerintahan SBY telah menaikkan 14 poin, dari 20 ke 34, selama 10 tahun berkuasa, index persepsi korupsi Indonesia versi Transparancy International.

Sedangkan rezim Jokowi hanya menaikkan 4 poin, dari 34 ke 38, index yang sama, selama 8 tahun berkuasa.

Seandainya prestasi Jokowi bisa sama dengan SBY, atau rata-rata peningkatan 1,4 poin pertahun, maka seharusnya Indonesia akan mempunyai Indeks diatas rata-rata dunia, yakni 45,2, pada tahun lalu.

Sayangnya, persoalan korupsi semakin merajalela.

Sebab utama yang bersifat struktural atas merajalelanya korupsi adalah pengebirian KPK. KPK meskipun saat ini tetap diapresiasi, namun dianggap tidak lagi mempunyai tingkat “kesucian” dan sakral yang sama seperti awalnya dulu.

KPK yang semula dibentuk sebagai lembaga “extra ordinary”, yang sejajar dengan pemerintah, akhirnya dikontrol oleh pemerintah melalui revisi UU KPK 2019.

Misalnya, dalam kasus laporan Ubeidillah Badrun pada kasus anak Jokowi yang didrop KPK dari kasus yang layak ditindak lanjuti, serta, kasus Formula-E yang dianggap akan mentersangkakan Anies Baswedan, terjadi kecurigaan bahwa KPK mengalami intervensi dari kekuasaan.

Selanjutnya, KPK juga tidak lagi menjadi lembaga yang mengkordinasikan Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam penanganan kasus korupsi.

Dalam skandal minyak goreng, yang melibatkan pejabat negara dan kerugian (penderitaan) rakyat yang begitu besar, tahun ini, Kepolisian dan Kejaksaan Agung malah terkesan “adu cepat” merespon kasus ini.

Sedangkan KPK tidak terlibat didalamnya. Sebab kedua adalah hilangnya keteladanan pemimpin.

Baca Juga  SIAGA 98: Permohonan Maaf Pimpinan MA Bukti Keberpihakan pada Penindakan KPK dalam Kasus Hakim Agung

Langkah berani Jokowi menyingkirkan Budi Gunawan (BG) diawal berkuasa, memperlihatkan kesan spirit anti korupsi yang tinggi.

Tapi langkah ini menjadi diragukan karena tujuan menyingkirkan BG bisa jadi bukan utamanya untuk pemerintahan bersih, karena tuduhannya BG terlibat korupsi (rekening gendut), melainkan Jokowi mungkin sekedar memperalat KPK untuk kepentingannya sendiri.

Sebab, BG kemudian menang di pengadilan dalam membersihkan nama baiknya dan Jokowi kemudian memberikan jabatan kepala BIN kepada BG.

Semakin lama Jokowi berkuasa, memasuki tahun ke-9 sebentar lagi, keteladanan Jokowi semakin dipertanyakan.

Jokowi terlihat membangun dinasti dan kongsi politik yang sarat dengan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme).

Misalnya, selain perkawinan anak Jokowi baru-baru ini yang terkesan super mewah, ketika rakyat kesulitan makan.

Kemudian anak Jokowi lainnya, Walikota Solo, mendapat previlage berhubungan langsung dengan Raja negara berdaulat Uni Emirat Arab, Mohammad Bin Zayed, untuk urusan uang ratusan milyar rupiah, yang banyak diberitakan saat ini (lihat: regional.kompas.com/read/2022/12/23/110218178/dapat-izin-dari-kemendagri-gibran-berangkat-ke-uea-tanggal-25-desember-2022?page=2).

Bukankah itu seharusnya dilakukan dalam hubungan bilateral kedua negara?

Sebab ketiga adalah hilangnya ideologi. Selama pemerintahan SBY, yang mampu meningkatkan indeks persepsi korupsi begitu besar, SBY mengadopsi demokrasi ala barat di Indonesia, secara konsisten.

Dia mengadopsi ideologi liberal. SBY memperkuat kontrol sosial untuk mengawasi pemerintah.

Di era Jokowi, pembungkaman atas kontrol sosial dilakukan dengan masif, termasuk pemenjaraan aktifis pro demokrasi dan ulama.

Namun, berbeda dengan di China era Mao Ze Dong, maupun kisah Umar Bin Khattab, yang saya singgung di awal, rezim Jokowi berjalan tanpa ideologi.

Selain itu, bahkan kebanyakan lingkungan penguasa disekitar Jokowi adalah pebisnis. Cara pandang pebisnis terhadap negara sangat berbeda dengan politisi yang tumbuh sebagai kader-kader ideologi.

Rizal Ramli, yang mempopulerkan istilah Peng-Peng (Penguasa-Pengusaha), menunjukkan bahwa penguasa dan sekaligus pengusaha membuat negara tersandera pada kepentingan keuntungan pengusaha itu, bukan untuk rakyat.

Lalu apa yang menjadi kekhususan pembicaraan kita untuk tahun depan?

Tahun Depan adalah Tahun Politik

Kekuasaan dan segala sumberdaya berpotensi dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa.

Apalagi kita sudah bahas situasi saat ini yang tanpa kontrol sosial. Kita harus bekerja keras untuk pemberantasan korupsi.

Pertama, kita harus mempropagandakan dibubarkannya “Peng-Peng”, pengusaha yang sekaligus menjadi penguasa.

Orang-orang bisnis harus meninggalkan bisnisnya secara total jika terjun ke politik. Begitu juga keluarga inti harus bebas dari bisnis. Tidak ada lagi penguasa yang pengusaha sekaligus.

Kedua, kita harus mendorong ideologi politik ke depan yang berbasis nilai nilai sakral. Ideologi itu akan mengontrol pemerintahan agar berbasis nilai-nilai, dimana keberhasilan seorang ditentukan oleh kontribusinya pada “public goods” dan kehidupan sosial.

Negara harus berfungsi sosial dan untuk kebaikan. Olehkarena itu, eksistensi pemerintahan bersih menjadi mutlak.

Ketiga, mengembalikan KPK pada fungsi awalnya. Yakni sebagai institusi “extra ordinary” dalam pemberantasan korupsi dan independen.

Keempat, keteladanan pemimpin harus terjadi. Pemimpin yang bersih harus diperjuangkan. Budaya anti korupsi hanya bisa dimulai jika pemimpinnya anti korupsi.

Presiden harus bebas korupsi dan kabinet harus bebas korupsi, itu cita-cita kita tahun 2024.  Tahun 2023 adalah tahun penentuan nasib bangsa. Bangkit atau punah.***

Pantai Anyar, Desember 2022,
Dr. Syahganda Nainggolan
Sabang Merauke Circle

Red/K.101

BACA Juga:

https://www.kabariku.com/tujuh-tantangan-besar-indonesia-2023-catatan-akhir-tahun-dr-syahganda-nainggolan-3/
https://www.kabariku.com/tujuh-tantangan-besar-indonesia-2023-catatan-akhir-tahun-dr-syahganda-nainggolan-2/
https://www.kabariku.com/tujuh-tantangan-besar-indonesia-2023-catatan-akhir-tahun-dr-syahganda-nainggolan/

Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com

Tags: Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda NainggolanKomisi Pemberantasan KorupsiPemberantasan Korupsi SERI ke 4Presiden JokowiWarta Pemilu
ShareSendShareSharePinTweet
ADVERTISEMENT
Post Sebelumnya

SMKN 1 Garut Juarai Turnamen Sepak Bola Bayongbong Utama Cup 2 U-17

Post Selanjutnya

Cegah Korupsi Sektor Pengadaan, KPK Beri Masukan LKPP

RelatedPosts

E.S. Hartono

Angin Segar dari Pemerintah: Saatnya Industri Hotel Bangkit Kembali

3 Juli 2025

Koruptor Berlari, Hukum Tertatih

1 Juli 2025
Muhammad Lukman Ihsanuddin

Putusan MK dan Pertanyaan Besar yang Mengiringinya

30 Juni 2025

Pentingnya Pemerataan Pembangunan, Jawa Selatan sebagai Solusi Jitu atau Masalah Baru?

16 Juni 2025
Kiri: Oki Muraza. Kanan: Oki Muraza di hadapan Presiden Prabowo Subianto dalam momen IPA Convex 2025 di Jakarta Mei 2025 lalu.

Profil Wadirut Pertamina Oki Muraza: Dosen dan Peneliti Terkemuka di Arab Saudi

14 Juni 2025

Strategi Prabowo Memerdekakan Palestina

31 Mei 2025
Post Selanjutnya

Cegah Korupsi Sektor Pengadaan, KPK Beri Masukan LKPP

SIAGA 98: Permohonan Maaf Pimpinan MA Bukti Keberpihakan pada Penindakan KPK dalam Kasus Hakim Agung

Discussion about this post

KabarTerbaru

Kedubes RI di Bangkok

Mulai Hari Ini, 24 Calon Dubes RI untuk Washington hingga Tokyo Jalani Uji Kelayakan di DPR

5 Juli 2025
Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh wafat pada Jumat (4/7/2025)

Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh Wafat, Dimakamkan secara Militer di TMP Kalibata

5 Juli 2025

KPK Pastikan Pelajari Dokumen Soal “Misi Budaya” Istri Menteri UMKM

5 Juli 2025

Serap Aspirasi, Yudha Puja Turnawan Gandeng SKPD Atasi Masalah Warga

4 Juli 2025
Ade Armando

Ade Armando Diangkat Jadi Komisaris Anak Usaha PLN, Dua Tahun Setelah Mundur dari PNS

4 Juli 2025
Sekretaris Jenderal Pasbata Jokowi-Prabowo, Budiyanto Hadinagoro, menantang Roy Suryo bertinju atau MMA/Istimewa

Sekjen Pasbata Budiyanto Tantang Roy Suryo Tinju atau MMA, Terserah

4 Juli 2025
Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman

Istri Menteri UMKM Dituding Pakai Fasilitas Negara ke Eropa, Maman Abdurrahman Klarifikasi Langsung ke KPK

4 Juli 2025

Kajati Kepri Dorong Transparansi Dana Desa Melalui Program JAGA Desa di Kabupaten Lingga

4 Juli 2025
Gedung MPR RI

Mantan Sekjen MPR Diduga Terima Rp17 Miliar dari Commitment Fee Pengadaan Barang dan Jasa

4 Juli 2025

Kabar Terpopuler

  • Viral Pasien BPJS Meninggal Dunia di RSUD Cibabat, Diduga Lambatnya Penanganan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bu Guru Salsa yang Viral karena Video Syur, Kini Bahagia Dinikahi Duda PNS

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • HUT Bhayangkara ke-79 Digelar di Monas, Sederet Jalan Ini Akan Ditutup 1 Juli 2025 Mulai Pagi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • DNIKS Dukung Porturin Sukseskan Ajang Olahraga Tunarungu Asia Tenggara 2025 di Jakarta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mantan Sekjen MPR Diduga Terima Rp17 Miliar dari Commitment Fee Pengadaan Barang dan Jasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saksi Sejarah dari Bandung: Seruan Melawan Lupa dan Penuntasan Tragedi Kemanusiaan Mei 1998

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KPK Dalami Kasus EDC Bank BRI Senilai Rp2,1 Triliun, 13 Orang Dicekal Usai Penggeledahan di Dua Tempat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
[sbtt-tiktok feed=1]
Kabariku

Kabariku adalah media online yang menyajikan berita-berita dan informasi yang beragam serta mendalam. Kabariku hadir memberi manfaat lebih

  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy

© 2024 Kabariku - partner by Sorot Merah Putih.

Tidak ada hasil
View All Result
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra

© 2024 Kabariku - partner by Sorot Merah Putih.