Jakarta, Kabariku – Psikiater dr. Mintarsih Abdul Latief, Sp.KJ., buka suara terkait gugatan yang dihadapinya dari sesama direksi PT Blue Bird Taxi, yang menurutnya penuh kejanggalan dan dilaksanakan tanpa prosedur resmi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
“Sebelum menggugat saya, sesama direktur, namun tidak ada persetujuan lewat RUPS PT Blue Bird Taxi, sehingga pengadilan ini bisa dibilang ‘Peradilan Sesat’. Meskipun gugatannya juga penuh keanehan, nyatanya gugatan tetap berlanjut hingga Mahkamah Agung,” ujar Mintarsih kepada awak media di Mahkamah Agung, Jumat (17/10/2025).

Gugatan Kejanggalan: Kembali Bayar Gaji dan Pencemaran Nama Baik
Salah satu tuntutan yang dianggap janggal oleh Mintarsih adalah kewajiban membayar kembali seluruh gaji yang diterima selama menjabat di PT Blue Bird Taxi.
Menurutnya, alasan yang dipakai sangat lemah, hanya berdasarkan kesaksian seorang sekretaris pribadi Purnomo, Diana Novari Dewi, tanpa bukti tambahan.
“Uniknya, tiga saksi lain dari pihak Purnomo, yang juga masih aktif sebagai bawahan, tidak memberikan kesaksian apapun tentang kinerja saya,” tambahnya.
Mintarsih sendiri menghadirkan lima mantan karyawan yang menyatakan bahwa ia aktif mengelola berbagai aspek operasional perusahaan, mulai dari pengaturan order, database pelanggan, administrasi, pembukuan, manajemen komputer, hingga seleksi karyawan dan pengemudi.
Selain itu, Mintarsih menegaskan bahwa gugatan juga mencakup pencemaran nama baik terkait pemberitaan media.
“Jika ada dugaan rekayasa berita, mestinya memanfaatkan hak jawab dan hak koreksi sesuai UU Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 5 ayat (2) dan (3). Pernyataan pers yang merupakan fakta tidak bisa dijadikan dasar pencemaran nama baik,” jelasnya.
Putusan Mahkamah Agung dan Denda Fantastis
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2601K/Pdt/2015 tanggal 21 Januari 2016, yang mengacu pada putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Mintarsih dijatuhi denda Rp140 miliar.
Ironisnya, putra dan putri Mintarsih tidak terlibat dalam putusan tersebut, dan tidak ada sita jaminan yang diterapkan.
Namun, menurut Mintarsih, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menambahkan ketentuan yang memanggil anak-anaknya untuk hadir, hingga mengeluarkan surat Relaas Pemberitahuan Pelaksanaan Sita Eksekusi.
Harta Mintarsih pun hampir disita tanpa prosedur yang jelas. Bahkan, tanah miliknya sempat diblokir atas permintaan pihak lain, meski Mahkamah Agung tidak pernah mengeluarkan putusan sita jaminan.
Kekhawatiran Terhadap Praktik Hukum
Mintarsih menyoroti praktik hukum yang menurutnya tidak hanya merugikan dirinya, tetapi juga berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi pekerja lain.
“Bagaimana nasib pekerja lain jika suatu hari menghadapi tuntutan mengembalikan seluruh gaji mereka hanya berdasarkan kesaksian seorang sekretaris direksi atau putusan yang serupa?” ungkapnya.
Kini, Mintarsih tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, berharap hakim mempertimbangkan dampak putusan terhadap kehidupan keluarga dan profesionalnya.
“Seandainya bisa memutar waktu, saya mungkin lebih memilih membina karier pribadi daripada menuruti paksaan keluarga yang akhirnya menikam dari belakang,” tutupnya.***
Baca juga :
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post