oleh :
Hasanuddin
Direktur IRC for Reform
Kabariku – Ketika berbicara soal keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), pikiran publik hampir selalu langsung tertuju pada Polri. Padahal, di dalam struktur pemerintahan daerah, terdapat satuan resmi yang juga diberi mandat konstitusional: Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 16 Tahun 2018 telah menegaskan, Satpol PP memiliki tugas menegakkan peraturan daerah, menjaga ketertiban umum, dan menyelenggarakan perlindungan masyarakat. Dengan kata lain, Satpol PP adalah aktor utama dalam pemeliharaan ketertiban sipil di level daerah.
Namun realitasnya berbeda. Fungsi Satpol PP sering dipinggirkan, bahkan dilupakan. Dalam banyak kasus, penanganan urusan ketertiban sosial masih didominasi oleh Polri, meski sesungguhnya itu merupakan ranah Satpol PP.
Penertiban pedagang kaki lima, penanganan gelandangan, hingga razia hiburan malam-semuanya kerap menampilkan Polri di garis depan, sementara Satpol PP hanya menjadi pelengkap.
Kamtibmas: Penegakan Hukum dan Penertiban Sipil
Kamtibmas pada hakikatnya memiliki dua dimensi yang berbeda namun saling melengkapi:
1. Penegakan hukum (law enforcement) → dijalankan oleh Polri. Setiap gangguan yang berimplikasi pidana, seperti pencurian, penganiayaan, narkoba, hingga kerusuhan massa, ditangani lewat mekanisme hukum acara. Kamtibmas dalam dimensi ini bertujuan menghadirkan kepastian hukum dan efek jera.
2. Penertiban sipil (civil order enforcement) → dijalankan oleh Satpol PP. Setiap gangguan ketertiban yang bersifat administratif, seperti pelanggaran perda, bangunan liar, PKL di trotoar, atau reklame ilegal, ditangani lewat tindakan persuasif dan administratif. Kamtibmas dalam dimensi ini bertujuan menjaga keteraturan sosial sehari-hari.
Sayangnya, yang lebih sering menonjol hanyalah dimensi pertama, seakan-akan kamtibmas hanya urusan aparat bersenjata. Padahal, wajah kamtibmas tidak hanya soal hukum pidana, tetapi juga soal keteraturan sipil yang melekat dalam kehidupan masyarakat.
Izin Keramaian dan Penyampaian Pendapat
Contoh paling jelas adalah soal izin keramaian dan pemberitahuan penyampaian pendapat di muka umum. Faktanya, kedua urusan ini dikelola Polri, sehingga setiap kegiatan masyarakat yang bersifat massal sering diperlakukan dalam kerangka pengamanan aparat bersenjata.
Padahal, secara filosofis, izin keramaian adalah urusan tertib sosial yang seharusnya menjadi domain pemerintah daerah melalui Satpol PP. Demikian pula, pemberitahuan penyampaian pendapat adalah hak konstitusional warga negara yang cukup diadministrasikan dan ditertibkan oleh pemerintah daerah. Dominasi Polri dalam aspek ini mencerminkan betapa Satpol PP dipinggirkan dalam tata kelola kamtibmas.
Penempatan Polri dan Satpol PP
Jika dalam perspektif ketatanegaraan:
Polri adalah penegak hukum yang secara fungsi masuk dalam rumpun yudikatif (criminal justice system), meskipun secara struktur berada langsung di bawah Presiden.
Satpol PP adalah aparatur daerah yang jelas masuk rumpun eksekutif, menjalankan urusan pemerintahan umum di daerah.
Maka, logika ini menuntun pada kesimpulan: kamtibmas dalam arti ketertiban sosial adalah urusan pemerintah daerah, bukan kepolisian.
Polri memang diberi kewenangan luas, namun jika fungsi sosial-administratif tetap ditangani dengan pendekatan penegakan hukum bersenjata, maka secara tata negara lebih tepat Polri ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Perkapolri No. 4 Tahun 2025: Relevan atau Membahayakan?
Kritik atas dominasi Polri semakin menguat dengan lahirnya Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri. Regulasi ini memberi pedoman penggunaan kekuatan, termasuk senjata api, dalam menghadapi aksi penyerangan terhadap markas, rumah dinas, fasilitas, hingga kendaraan Polri.
Dalam Pasal 11-15, diatur bahwa Polri dapat menggunakan senjata api organik dengan amunisi karet atau tajam terhadap pihak yang dianggap melakukan penyerangan, setelah peringatan tidak diindahkan. Artinya, logika represif dilembagakan, bahkan untuk kategori peristiwa yang kadang beririsan dengan aksi sosial masyarakat.
Masalahnya, Perkapolri 4/2025 sama sekali tidak punya relevansi dengan pemeliharaan ketertiban sipil dalam arti kamtibmas. Sebaliknya, regulasi ini berpotensi membahayakan tertib sosial, karena memperluas ruang penggunaan senjata dalam situasi yang bisa saja muncul dari ekspresi sipil, unjuk rasa, atau konflik sosial kecil di masyarakat.
Dengan demikian, Perkap ini justru menegaskan problem besar: Polri kian menampilkan wajah militeristik dalam ranah sosial yang seharusnya dikelola dengan pendekatan administratif-sipil oleh Satpol PP.
Saatnya Direvitalisasi
Jika negara ingin membangun tata kelola keamanan yang demokratis, Satpol PP harus direvitalisasi. Caranya:
Memperkuat kewenangan dan kapasitas Satpol PP dalam penegakan perda.
Memberi dukungan anggaran dan pelatihan yang memadai.
Menegaskan pembagian peran: Polri menjaga kamtibmas lewat penegakan hukum, Satpol PP menjaga kamtibmas lewat penertiban sipil.
Dengan langkah itu, masyarakat akan melihat negara hadir dengan wajah yang lebih proporsional: Polri hadir ketika hukum dilanggar, Satpol PP hadir untuk menjaga keteraturan sosial.
Penutup
Kamtibmas bukan hanya urusan aparat bersenjata. Ia adalah kombinasi dari penegakan hukum oleh Polri dan penertiban sipil oleh Satpol PP. Sayangnya, dimensi kedua ini kerap dipinggirkan bersama Satpol PP sebagai aktornya.
Kehadiran Perkapolri No. 4 Tahun 2025 justru memperlebar jurang ini, karena memberi ruang legalisasi penggunaan senjata dalam konteks yang tidak berhubungan langsung dengan kamtibmas sipil.
Sudah saatnya peran Satpol PP dikembalikan ke tempat yang semestinya, agar negara hadir secara lebih adil: tegas dalam hukum, humanis dalam ketertiban.***
Jakarta, 4 Oktober 2025
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post