Jakarta, Kabariku – Koalisi Masyarakat Sipil melalui Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menilai integritas Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) bakal turun usai melpnolak permohonan nomor perkara 81/PUU-XXIII/2025 tentang uji formal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Rabu (17/9/2025).
“Sebenarnya sudah sangat jelas diajukan oleh para pemohon bahwa undang-undang ini cacat formil, bahwa undang-undang ini diproses secara tertutup, tidak terbuka secara diam-diam, secara di luar gedung pemerintahan, di luar gedung DPR RI, di luar hari kerja, dijauhkan dari akses publik,” kata Usman kepada NU Online di Gedung MKRI, Jakarta Pusat, pada Rabu (17/9/2025).
“Termasuk akses untuk akses naskah akademik maupun naskah RUU nya yang hingga Undang-Undang itu disahkan pada 25 Maret tidak bisa diakses oleh publik,” tambah Usman.
Dia menjelaskan, meski pernah RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) pada 18 Maret, pihaknya sudah meminta naskah RUU TNI sebelum disahkan.
Usman menyampaikan bahwa pada saat itu ia merasa hanya kebetulan karena dapat bertemu secara informal dengan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan pihak-pihak lainnya. Tapi sampai RUU TNI disahkan, kata Usman, DPR tidak juga memberikan akses atas RUU TNI.
Menurutnya, kondisi tersebut dapat menjadi preseden buruk bagi proses legislasi ke depan, karena undang-undang bisa saja disusun dan disahkan secara tergesa-gesa.
“Artinya itu tidak mungkin karena melibatkan banyak orang. Ormas NU, Muhammdiyah, Ormas KWI, Ormas BGI dan lain-lain banyak yang tidak dilibatkan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa undang-undang seperti ini berpotensi menimbulkan banyak masalah di masa mendatang. Meskipun DPR dan pemerintah mengklaim bahwa undang-undang tersebut termasuk dalam kategori daftar kumulatif terbuka, menurut Usman, daftar kumulatif terbuka seharusnya sudah ditetapkan sejak awal proses revisi.
“Syarat dari daftar kumulatif terbuka setidaknya sudah masuk tahap perumusan daftar inventarisir masalah, itu belum. Jadi banyak hal saya kira terkait tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan seperti yang ditetapkan dalam undang-undang,” katanya.
Dalam putusan tersebut, Ketua MK Suhartoyo menjelaskan terdapat empat hakim yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan MK, yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani.
“Di mana empat hakim tersebut berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” katanya.
Menurut pertimbangan hukumnya, Hakim MK Guntur Hamzah DPR dan pemerintah telah berupaya untuk membuka ruang partisipasi publik dalam pembuatan RUU Perubahan Atas UU 34/2004.
“Sejalan dengan itu, pembentuk undang-undang juga melakukan upaya baik melalui tatap muka dalam berbagai diskusi publik maupun melalui metode berbagi informasi secara elektronik melalui laman resmi maupun kanal YouTube yang dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan, terutama para pemangku kepentingan (stakeholders) yang hendak menggunakan haknya untuk berpartisipasi,” katanya.
Oleh karena itu, kata Guntur, MK menilai bahwa pembuat undang-undang telah menyediakan berbagai alternatif metode atau mekanisme partisipasi publik. Selain itu, tidak terdapat indikasi adanya tindakan yang menghambat keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan RUU Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004.
Partisipasi ini, lanjutnya, dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam merumuskan norma dalam setiap proses legislasi, termasuk dalam hal RUU Perubahan atas UU 34/2004.
“Berdasarkan fakta hukum tersebut, menurut Mahkamah, berkenaan dengan permasalahan dokumen yang tidak dapat diakses, adalah tidak tepat jika dikaitkan dengan pelanggaran asas keterbukaan sebagaimana didalilkan oleh para pemohon,” ucapnya.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post