Garut, Kabariku- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Garut menjatuhkan vonis bersalah kepada empat petani dengan hukuman 10 bulan penjara atas kasus penyerobotan lahan milik PTPN VIII Cisaruni Cikajang Garut.
Senyatanya, Nandang, Saepudin, Ujang Juhana dan Pakih keempat petani ini mengalami kriminalisasi oleh PTPN VIII atas penggarapan lahan terlantar.
M. Rafi Saiful Islam salah satu kuasa hukum 4 petani Cikandang, mengatakan, Majelis Hakim yang terdiri dari Riswandy sebagai Hakim ketua, Haryanto Das’at, dan Maryam Broo sebagai Hakim anggota telah memvonis 4 petani tersebut selama 10 bulan, vonis ini lebih berat dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya memvonis 5 bulan.

“Keputusan pada hari Senin, 6 Februari 2023 ini tidak dapat diterima oleh keluarga serta solidaritas petani Garut. Bagi mereka Hakim melalui keputusannya tidak menunjukan rasa keadilan,” ujar Rafi Saiful usai sidang di PN Garut.
Pihaknya menjelaskan, Keempat petani melakukan penggarapan lahan di PTPN VIII agar bisa hidup dan menghidupi keluarganya demi kehidupan yang layak dan sejahtera.
Hakim tetap memutus keempat petani penggarap ini bersalah dengan diambilnya keputusan setelah mempertimbangkan keadaan sosiologis dan asas kebermanfaatan tidaklah sesuai.
Menurut penuturan Hakim mereka dianggap sudah memenuhi unsur tindak pidana pada pasal 107 huruf C UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.
Unsur lain yang disebutkan Hakim mengenai kawasan perkebunan pada dasarnya merupakan tanah terlantar.
Hal itu pun dibuktikan dengan keterangan para saksi yang menjelaskan jika pohon teh di kawasan tersebut tingginya sudah mencapai lebih dari dua meter.
“Sayangnya Hakim bahkan tidak mempertimbangkan kesaksian yang telah dijelaskan dalam fakta persidangan sebelumnya mengenai hal ini,” ujarnya.
Dalam persidangan, ia melanjutkan, Hakim memaparkan jika keputusan vonis 10 bulan penjara bagi keempat petani Cikandang dikuatkan serta bersandar pada kesaksian Joni Kamaludin dari pihak PTPN.
Namun Hakim tidak mempertimbangkan ketidaksesuaian kesaksian dari Joni Kamaludin dan tiga orang lainnya.
Ironisnya, tidak ada satupun dari mereka yang melihat secara langsung keempat petani Cisaruni yang tengah melakukan penebangan pohon teh milik PTPN VIII pada 15 Juni 2022.
Pada pertimbangannya, Hakim tidak melihat kondisi objektif bahwa PTPN VIII Afdeling Cisaruni memiliki luas 1267,81 hektar di Kecamatan Cikajang berwujud sebagai satu perusahaan menguasai lahan yang cukup luas, dibandingkan kepemilikan lahan oleh warga hanya sekitar 50 hektar.
Selisih kepemilikan lahan tersebut secara jelas menunjukkan adanya ketimpangan lahan, warga yang justru menguasai lahan dalam jumlah yang tidak luas bahkan harus menjadi buruh tani dengan upah begitu murah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ditambah kondisi masyarakat yang terus bertambah namun tanah tidak bertambah. Sementara petani hanya menggarap lahan terlantar tidak lebih dari 400 Meter.
Gambar itu makin kontras menunjukkan ketidakadilan agraria apabila badan usaha yang tadi memiliki izin atau hak yang luas itu tidak menggarap atau mengusahakan tanahnya.
Sedangkan, Keadilan Agraria adalah konsep yang merujuk pada situasi tidak terjadi ketimpangan, penguasaan, atau kepemilikan atas sumber-sumber daya Agraria atau tanah.
Hakim pun tidak melihat kondisi secara riil bahwa PTPN VIII yang menjadi representasi negara menggarap lahan yang sangat luas untuk menumbuhkan taraf ekonomi negara, justru tidak merawat lahan tersebut dan banyak praktek-praktek sewa-menyewa dan jual-beli lahan garapan oleh oknum PTPN VIII.
Hal ini menunjukkan PTPN VIII tidak mampu mengelola HGUnya sendiri. Maka dari itu jelas hak atas tanah tersebut seharusnya menjadi prioritas ke para petani penggarap yang belum mempunyai lahan di daerah Cikandang dan Margamulya yang dengan baik menggarap lahan tersebut. Namun malah dikriminalisasi oleh PTPN VIII.
Lebih jauh Rafi Saiful menuturkan, Putusan Hakim tersebut tidak mencerminkan Keadilan Agraria, dimana Hakim dalam pertimbangannya hanya menilai dari kacamata formalistik hukum saja.
Padahal, menurutnya, dalam fakta-fakta persidangan terungkap di Desa Cikandang dan Margamulya, Desa para terdakwa tinggal, penguasaan lahan paling luas adalah PTPN VIII, namun warga desa tersebut lebih banyak yang menjadi buruh tani dengan penghasilan tidak menentu.
“Terlebih lahan yang dikuasai PTPN VIII tersebut sudah tidak produktif dan tidak terawat. Hal ini menjadi cerminan bahwa ketimpangan lahan yang menyebabkan ketidakadilan agraria telah didukung oleh putusan ini,” jelas Rafi.
Yudi Kurnia salah satu kuasa hukum petani Cikandang mengungkapkan, Situasi konflik agraria dalam kasus ini membawa kemunduran bagi penyelesaiannya, seakan-akan penyelesaiannya adalah dibawa ke ranah pidana.
“Padahal di BPN sendiri sudah ada mekanisme penyelesaian konflik agraria ini, namun ke 4 petani malah dikriminalisasi dengan dipenjara 10 bulan, hal ini menjadi ketidakpastian dalam penyelesaian konflik agrarian,” kata Yudi Kurnia.
Sementara Meiki W Paendong, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Barat mengutuk keras putusan Hakim tersebut.
Menurutnya putusan itu sangat mengecewakan, sama sekali tidak memandang aspek keadilan dan hak asasi manusia.
Hakim, dinilainya tidak melihat dari sudut pandang kemanusiaan di mana para petani tersebut merupakan tulang punggung keluarga.
“Keempat petani hanya berniat untuk mengakses lahan yang merupakan lingkungan sumber kehidupan mereka.Mengolah lahan tersebut untuk keberlanjutan hidup keluarga. Bukan untuk memperkaya diri,“ ucap Meiki.
Keempat petani Cikandang yang mengalami kriminalisasi sejatinya hanya ingin menghidupkan kembali lahan yang ditelantarkan oleh PTPN VIII.
Sebagaimana amanat konstitusi melalui Pasal 33 UUD 1945 dimana tanah sumber-sumber agraria seperti tanah seharusnya diperuntukan untuk kepentingan dan kemakmuran rakyatnya.
Rakyat yang dimaksud bukan segelintir orang dengan modalnya, melainkan orang-orang yang benar-benar memerlukan penghidupan dari sumber-sumber agraria, salah satunya adalah Petani.
Kewajiban untuk mengelola tanah dalam UU Pokok-Pokok Agraria pasal 15 terkait kewajiban memelihara, meningkatkan kesuburan tanah dan mencegah kerusakan tanah bukan hanya kewajiban pemilik HGU tapi juga setiap orang yang berada di sekitar wilayah itu.
Artinya jika tanah tersebut tidak dikelola, dimanfaatkan dengan baik dan sudah lama ditelantarkan, maka warga masyarakat sekitar mempunyai kewajiban dan hak untuk bisa menggarap tanah tersebut.
“Vonis 10 bulan oleh Majelis Hakim memperlihatkan kepada kita bagaimana penegakkan hukum “berkeadilan” selalu tajam kebawah,” cetus dia.
Kaum tani selama ini selalu terpinggirkan dari penataan sumber-sumber agraria maupun dalam pembangunan hukum di Indonesia.
“Keempat petani yang dikriminalisasi adalah cerminan kecil dari bagian perjuangan buruh tani, petani penggarap, petani gurem di Garut khususnya untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai petani,” tukasnya.
Hukum seharusnya berpihak kepada mereka yang berjuang menuntut keadilan. Bukan merampas keadilan itu dari mereka.
“Pengadilan Negeri Garut telah dengan jelas mengesampingkan fakta-fakta persidangan hingga memvonis 4 petani Cikandang dengan pidana penjara 10 bulan,” tandasnya.***
Red/K.000
Berita Terkait :
BACA juga Berita menarik Seputar Pemilu KLIK disini
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post