Penulis : Indah Nataprawira
Untuk : Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang lahir 17 Februari 1908, di Sungai Batang, Tanjung Raya, Maninjau, Sumatera Barat)
KABARIKU – Hari ini adalah hari kelahiran Nambo (kakek) kami tercinta… Ingin sekali menulis secarik saja kenangan bersamanya… Namun Kami seperti kehilangan sudut pandang, sebab terlalu banyak dan terlalu besar… Dulu ketika kami masih kanak-kanak sampai kami remaja, seringkali kami tak menyadari bahwa kakek kami tercinta ini adalah seorang ulama besar….
Sebab yang kami saksikan dalam keseharian di rumah adalah kesederhanaan… Sederhana dalam penampilan, sederhana dalam cara hidup, sederhana dalam perilaku …
Tak ada yang berlebihan..
Bagi kami beliau adalah teladan hidup… Apa yg beliau tulis dan apa yang beliau ucapkan, terwakili dalam sikap dan tindak tanduk…
Setelah beliau berpulang… Dan kami makin dewasa hingga hari ini, warisan terindah dan tak lekang oleh waktu adalah teladannya…
Beliau keras pada prinsip, namun lemah lembut dalam bertutur dan bersikap…
Senyumnya meneduhkan… Sorot matanya menenangkan…. Pelukannya hangat dan menentramkan…
Semua tersimpan dalam hati dan jiwa kami
Nambo adalah nambo.. Tak ada kata yg mewakilinya untuk kami…. Doa kami panjatkan baginya…
Semoga secarik tulisan ini dapat mengobati rindu kami padanya…
HAMKA ADALAH HAMKA
“Sejarah dunia adalah biografi orang-orang besar,” kata Thomas Carlyle. Seseorang dijuluki sebagai “orang besar” karena pengaruh setelahnya. Badan seseorang bisa saja berkalang tanah, menyatu dengan “ibu bumi”, tetapi hakikatnya ia hidup, hadir mempengaruhi hati dan pikiran manusia.
Bila kita menengok sejarah negeri tercinta kita, khususnya umat Islam Indonesia, mustahil tak bicara tentang “orang besar” ini; Seorang ulama-penyair, Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Buya Hamka orang memanggilnya. Bila Nabi bertutur bahwa, “ulama adalah ahli waris para Nabi”, maka salah satunya adalah buya Hamka. Hamka memenuhi kualifikasi ahli waris para Nabi, yakni: otoritas intelektual dan integritas moral. Otoritas intelektual direngkuh tidak melalui pendidikan, dengan deretan ijazah tetapi menjadikan dirinya sebagai manusia pembelajar. “Hamka, seorang otodidak tanpa sertifikat formal yang melahirkan banyak peminat untuk mendalami pemikirannya di ranah agama, filsafat, sastra, tafsir al-Quran, tasawuf dan sejarah,” tulis buya Ahmad Syafii Ma’arif. Bukti tak terbantahkan pengakuan Universitas al-Azhar Kairo, salah satu universitas tertua, rujukan keilmuan dunia Islam atas keluasan dan kedalaman ilmu seorang Hamka.
Bagi Hamka, kualitas keilmuan, bahkan keulamaan, bukan diukur dari seberapa banyak seseorang “makan bangku sekolahan”, atau tumpukan ijazah, tetapi dari kemampuan diri seseorang menjadikan dirinya sebagai pembelajar seumur hidup dan melahirkan karya yang berguna bagi umat manusia.
Sedangkan integritas moral buya Hamka ditunjukan komitmennya pada nilai-nilai universal yang dibawa oleh Nabi.
Komitmen moral buya Hamka ditampil dengan: satunya kata dan perbuatan. Apa yang keluar dari lisannya, dialah yang pertama melaksanakannya. Inilah integritas. Integritas dibutuhkan sebagai bentuk keteladanan. Sebagai ahli waris Nabi, beliau sadar bahwa syiar Islam akan efektif melalui keteladanan (uswah). Keteladanan yang menjejaki tapak ruhani Nabi Muhammad SAW, yakni penyempurnaan akhlak, dan moralitas. Dan itu dimulai dari diri pribadi beliau sendiri.
Sebagai ulama, buya Hamka menjadi juru bicara Islam yang menampilkan Islam sebagai agama rahmah, penuh kasih sayang, welas asih. Islam yang menjadi rahmah bagi seluruh alam. Untuk menunjang visi tersebut, Buya Hamka menulis banyak karya sastra. Tampaknya, bagi beliau, salah satu metode menjadikan umat menjadi penuh welas asih (rahmah) adalah dakwah melalui sastra. Paus sastra Indonesia, HB. Yasin mengatakan, “selain seorang mubalig, Hamka juga merupakan seorang sastrawan. Karya-karya sastra Hamka memberi pengaruh menginspirasi orang lain. Tulisannya tidak hanya cerita yang indah, tetapi juga membawa amanat. Kebanyakan buku-buku Hamka memang bernuansa sedih, namun menggugah perasaan orang untuk terharu.” Nuansa sedih dan menggugah rasa haru merupakan teknik untuk melembutkan hati. Hati yang lembut itulah yang menjadi tanah subur bagi tumbuhnya sikap rahmah, welas asih pada makhluk Allah.
Inilah thariqah buya Hamka. Menjadi manusia pembelajar-religius yang menunjukan kedalaman ilmunya dengan karya dan komitmen moral seraya membuktikan bahwa semakin seseorang religius, ia akan semakin penuh welas-asih (rahmah). Hamka adalah Hamka. Tak terdefinisikan. Namun, mampukah kita menjejaki langkah atau sekedar meniatkan untuk meneladani satu sisi buya Hamka?
Dalam runduk takzim dan kasih…
Kami para cucu keluarga besar Buya Hamka