Jakarta, Kabariku- Menyongsong Kementerian Kebudayaan, untuk ketiga kalinya Aliansi Budaya Rakyat (ABRA) yang berkolaborasi dengan Dewan Kesenian jakarta (DKJ) dan Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristekdikti, melakukan diskusi publik dengan tema “Hakikat Revitalisasi Ruang Kebudayaan”.
Kegiatan yang diselenggarakan di Gedung Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, pada Minggu (15/09/2024).

Diskusi kali ini mempertegas sikap konsisten ABRA untuk mengawal janji politik dari pemerintahan terpilih, Prabowo – Gibran yang akan mendirikan Kementerian Kebudayaan pada pemerintahan mendatang.
Dalam sambutannya, Minaria Christin S, selaku Ketua UMUM ABRA menyampaikan, kehadiran Kementerian Kebudayaan sangat penting untuk memperkuat kepribadian nasional.
“Pentingnya kehadiran Kementerian Kebudayaan, mengingat kebudayaan merupakan satu diantara tiga poin dalam Tri Sakti Bung Karno dapat dijadikan kekuatan nasional untuk menghadapi pergolakan internasional disamping kekuatan politik dan ekonomi,” ujar Minar.
Ia juga menegaskan, bahwa ABRA dan beberapa organisasi lintas kebudayaan yang terlibat dalam Kelompok Kerja (POKJA) Kebudayaan telah bersama-sama berupaya merangkum dan merumuskan segala gagasan untuk merealisasikan pembentukan kementerian kebudayaan.
“Hingga hari ini, realisasinya sudah mencapai 80 persen,” lanjut Minar.
Pada sambutan kedua, Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Bambang Prihadi menyatakan, dengan terbentuknya Kementerian Kebudayaan maka eksistensi struktural dalam meralisasikan poin-poin Pemajuan Kebudayaan sesuai dengan amanat Undang-Undang No 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan dapat dilaksanakan dengan mudah.
“Dengan terbentuknya kementerian kebudayaan, eksistensi struktural dalam meralisasikan poin-poin Pemajuan Kebudayaan sesuai amanat Undang-Undang No 5 Tahun 2017 dapat dilaksanakan dengan mudah,” kata Bambang

Ruang Kebudayaan Masyarakat Komunal Indonesia
Tatan Daniel, Pembina ABRA sekaligus penyair dan sastrawan menjadi salah satu pembicara pertama dalam diskusi kali ini.
Pada pemaparanya, ia menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan ruang kebudayaan. Menurutnya ruang kebudayaan sebenarnya adalah balai kampung di tepi jalan, di tepi sungai, seperti pasar pagi. tempat orang datang membawa sayur, buah-buahan lalu berbicara tentang hidup disana.
“Ruang kebudayaan juga merupakan pekarangan di halaman rumah panggung, dibawa sinar bulan dimana semua orang bisa menari dan bernyanyi bersama. Ruang kebudayaan adalah tempat bersenandung tentang alam,” terang Tatan.
Sirkularitas Program Kerja Kementerian Kebudayaan
Diskusi ini tidak hanya menguraikan dengan gamblang definisi dari ruang-ruang kebudayaan tetapi juga mengkaji konsep tata kelola (resourse) birokrasi yang akan menigisi kementerian kebudayaan pada pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang.
Trie Utami, Penyanyi sekaligus Dosen Luar biasa di Fakultas Pertanian Universsitas Brawijaya, dalam kesempatannya sebagai pembicara kedua, memaparkan, untuk mengurus kebudayaan berarti mengurus warisan, kata warisan jangan hanya dimaknai sebagai kata benda tetapi harus diubah menjadi kata kerja.
Oleh karennya, tata kelola kehidupan dalam tradisi-tradisi nusantara memiliki hubungan hingga bentang bisnis, inilah yang disebut sirkularitas.
“Sirkularitas yang dimaksud, pertama, lanskap ekologi terdiri dari bentang alam dan bentang hidup. Kedua, Lanskap budaya terdiri dari bentang budaya dan produk budaya. Ketiga, Lanskap bisnis terdiri dari bentang bisnis,” paparnya.
Kebudayaan sebagai Energi Kehidupan
Budaya dapat dianggap sebagai energi kehidupan karena memberikan arah, makna, dan identitas bagi individu dan masyarakat.
Diskusi ini juga menjadikan Prof. Melani Budianta MA, Ph.D., sang akademikus dan intelektual publik menjadi pembicara, ia memaparkan bahwa manusia memiliki kekhasan diantara spesies lainnya sebagai makhluk yang membangun kebudayaan bukan hanya untuk bertahan hidup tetapi juga untuk memaknainya.
Budaya selalu terkait dengan identitas karna begitu banyak kelompok masyarakat dengan budaya yang berbeda-beda masih mengembangkan kekhasannya.
“Disatu sisi, identitas (kebudayaan) adalah energi kreatif untuk mengelola lingkungan yang ada disekitar untuk kebutuhannya dan pada sisi yang lain, kebudayaan membangun identitas yang memberi landasan dan keliatannya untuk menyiasati perubahan zaman,” terang Prof. Melani.
Indonesia, sambung Prof. Melani, adalah rumah yang kaya dalam bidang kebudayaan hal tersebut terbangun melalui interaksi budaya yang kreatif dinamis dan lintas batas karna tidak ada kebudayaan yang asri seasri-asrinya.
“Hal itu terjadi disebabkan oleh daya hidup kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa dengan kekuatan yang melingkupinya seperti ekonomi, politik dan pengaturannya,” lanjut Prof. Melani
Kedudukan Kementerian Kebudayaan
Sujiwo Tejo, Budayawan Multi Talent sekaligus Dalang dan Sutradara, dalam menjawab pertanyaan dari audiens, mengutarakan bahwa fungsi dari Kementerian Kebudayaan seharusnya seperti Kementerian Sekretariat Kabinet (Menseskab) yang akan mengatur segala bentuk produk dari Kementerian lain untuk disinkronkan dengan program dari Kementerian Kebudayaan.
Selain itu, ia juga menyampaikan tugas dari Kementerian Kebudayaan adalah menjaga bahasa. Dalam penyampaiannya, ada 70.000 kata dalam kamus bahasa indonesia saat 2005 dan yang dipakai tak kurang hanya 10.000 kata.
“Kementerian Kebudayaan harus mengubah Tridharma Perguruan Tinggi yang semulanya berdasarkan pendidikan, pengabdian dan penelitian menjadi pengabdian, penelitian dan pendidikan sehingga tugas dari perguruan tinggi untuk mencatat, meneliti kemudian dijadikan sebagai dasar dari pendidikan yang berbasis budaya” tegas Sujiwo Tejo, Presiden Jancukers.
Produksivtas dan Revitalis Ruang Kebudayaan
Produktivitas dalam konteks ruang kebudayaan berarti bagaimana ruang tersebut digunakan secara efektif untuk memviralkan dan mendukung kegiatan kebudayaan. Sementara, Revitalisasi merujuk pada proses memperbarui dan menghidupkan kembali ruang kebudayaan yang mungkin telah terdegradasi.
Pada sesi terakhir diskusi, Okky Tirto selaku Akademisi dan Pembina ABRA, menyampaikan, ada tiga unsur fundamental dalam eksistensi ruang kebudayaan, diantaranya:
Pertama, Rungan yang dikonsepsikan oleh seluruh pihak yang memiliki kepentikan pada ruang tersebut.
Kedua, persepsi untuk praktek spasial agar dapat menyatukan setiap individu maupun kelompok yang ada didalamnya.
Dan, ketiga ruang representasi yang mewakili hegomon/kuasa atas ruang kebudayaan tersebut.
“Ruang budaya bukan hanya dipandang sebagai aset publik tetapi harus dijadikan sebagai ruang sosial, ruang budaya sesungguhnya. Revitalisasi sebenarnya memberi vitalitas kembali, baik dari segi kultural, ekonomi, sampai ke pembaharuang fisik atau gedung,” tutup Okky.***
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post