Jakarta, Kabariku – Jaringan Katong Basudara Melanesia Satu mendesak pemerintah segera memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh asal Maluku, Abdul Muthalib Sangadji (AM Sangadji). Mereka menilai, perjuangan Sangadji dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia telah lama diabaikan negara, meski jasanya besar bagi republik ini.
Koordinator Nasional Katong Basudara Melanesia Satu, Sandri Rumanama, mengatakan perjuangan untuk mengusulkan AM Sangadji sebagai Pahlawan Nasional telah dilakukan sejak tahun 2020. Namun, hingga kini upaya itu belum mendapatkan tanggapan serius dari pemerintah.
“Kami merasa pahlawan dari timur seperti dikriminalisasi sejarahnya. Abdul Muthalib Sangadji ikut memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, bahkan diasingkan ke beberapa daerah seperti Sumatera dan akhirnya dimakamkan di Yogyakarta. Tapi jasanya seakan diabaikan,” ujar Sandri saat menyampaikan keterangan di Jakarta, Rabu (12/11).
AM Sangadji adalah tokoh perintis kemerdekaan asal Pulau Haruku, Maluku Tengah, yang dikenal dengan julukan “Jago Tua”. Lahir pada 3 Juni 1889, ia semula berprofesi sebagai panitera pengadilan sebelum memutuskan untuk aktif dalam pergerakan nasional.
AM Sangadji dikenal sebagai anggota Sarekat Islam dan tokoh yang berjuang bersama HOS Cokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Muis. Ia turut terlibat dalam rapat perumusan Sumpah Pemuda 1928 dan menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain berjuang di bidang politik, ia juga mendirikan Balai Pendidikan dan Pengajaran Rakyat Indonesia (BPPRI) di Tenggarong, serta koperasi dan persatuan pedagang pasar untuk memperkuat ekonomi rakyat kecil.
Pada masa revolusi, Sangadji berjalan kaki dari Samarinda ke Banjarmasin untuk mengumumkan kemerdekaan dan mengibarkan bendera Merah Putih. Ia kemudian ditangkap oleh Belanda, dipenjara, dan setelah bebas, bergabung dengan Laskar Hisbullah di Yogyakarta. Ia gugur pada tahun 1947 dalam Agresi Militer Belanda I dan dimakamkan di Yogyakarta.
Meski memiliki jasa besar dalam perjuangan nasional, hingga kini AM Sangadji belum diakui secara resmi sebagai Pahlawan Nasional. Namanya telah diabadikan sebagai nama jalan utama di Ambon dan Universitas Islam Negeri (UIN) Ambon.
“Kami menilai pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka mekanisme penetapan pahlawan nasional agar tidak menimbulkan kesan diskriminatif. Dari Jawa Timur saja bisa sampai tiga tokoh ditetapkan pada tahun ini. Kami hanya ingin tahu, apakah perjuangan dari timur dianggap kurang berarti?” ujar Sandri.
Ia menegaskan, perjuangan pihaknya bukan semata-mata menuntut gelar kehormatan, melainkan memperjuangkan harga diri dan keadilan sejarah bagi masyarakat Maluku dan wilayah timur Indonesia.
“Kami menekankan agar jangan sampai ada praktik diskriminasi di negeri ini. Kami meminta Presiden Prabowo mendengar suara ini, karena kami sedang konsolidasi untuk turun ke jalan menuntut hak dan harga diri masyarakat Maluku. Kami punya kontribusi besar bagi bangsa ini, tapi kami terlalu sabar selama ini, dan kesabaran kami sudah hampir habis,” tegasnya.
Sandri menambahkan, pengakuan terhadap tokoh seperti AM Sangadji penting bukan hanya sebagai penghormatan, tetapi juga sebagai pengingat bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia lahir dari seluruh penjuru nusantara.
“Kami ingin anak-anak di Maluku tahu bahwa leluhur mereka juga bagian dari perjuangan bangsa yang besar. Jangan sampai sejarah Indonesia hanya ditulis dari satu arah,” ujarnya menutup pernyataan.
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com

















Discussion about this post