Jakarta, Kabariku – Program Makan Bergizi Gratis yang digadang-gadang pemerintah sebagai terobosan untuk meningkatkan kualitas gizi sekaligus pendidikan anak bangsa dinilai belum berjalan optimal.
Indonesia Raya Club for Reform (IRC for Reform) menilai, di lapangan justru muncul berbagai persoalan serius yang berpotensi merusak tujuan mulia program tersebut.
Direktur IRC for Reform, Hasanuddin, menyebutkan setidaknya terdapat empat masalah krusial yang mengemuka: distribusi tidak merata, risiko penyalahgunaan anggaran, kasus keracunan siswa akibat kualitas makanan yang buruk, serta lemahnya sistem pengawasan.
“Program makan bergizi gratis adalah ide besar, tapi praktiknya di banyak daerah jauh dari ideal. Tanpa perbaikan serius dalam pengelolaan, manfaatnya tidak akan dirasakan siswa, justru bisa berubah menjadi beban baru,” tegas Hasanuddin, Senin (23/9/2025).
Rawan Penyalahgunaan dan Inefisiensi
Hasanuddin menyoroti adanya indikasi potensi mark-up anggaran, distribusi logistik yang terhambat, hingga penyediaan makanan yang tidak sesuai kebutuhan lokal siswa.
Kondisi ini, menurutnya, membuat program yang seharusnya mendukung gizi anak justru rawan menimbulkan pemborosan dan penyimpangan.
“Kasus keracunan yang menimpa siswa di sejumlah daerah harus menjadi alarm. Ini bukan sekadar soal teknis distribusi, tapi soal sistem pengelolaan yang terlalu jauh dari lingkungan sekolah,” lanjut Hasanuddin.
Usul Solusi: Komite Sekolah sebagai Solusi
IRC for Reform mengusulkan agar pengelolaan dialihkan langsung ke Komite Sekolah melalui Kantin Sekolah.
Dengan model ini, proses penyediaan makanan bisa lebih dekat dengan siswa, diawasi langsung oleh pihak sekolah, dan menyesuaikan kebutuhan serta selera lokal.
IRC for Reform menilai ada tiga keuntungan utama:
Pertama, pengawasan Lebih Ketat – Komite dan pihak sekolah bisa langsung mengontrol kualitas makanan serta anggaran.
Kedua, efisiensi Distribusi – Proses penyediaan makanan lebih cepat, tepat sasaran, dan minim pemborosan.
Ketiga, keterlibatan Komunitas Sekolah – Orang tua, guru, dan pihak sekolah ikut bertanggung jawab, menciptakan pengelolaan yang lebih transparan.
Peran Pemerintah: Regulator Bukan Operator
Meski demikian, Hasanuddin yang juga Koordinator SIAGA 98 menegaskan peran Badan Gizi Nasional (BGN) tetap vital dalam menetapkan standar gizi, melakukan pengawasan berkala, dan memastikan realisasi anggaran berjalan akuntabel.
“Pemerintah jangan terlalu jauh masuk ke teknis distribusi. Biarkan sekolah yang mengelola, sementara negara memastikan standar gizi, regulasi, dan audit berjalan ketat,” ujar Hasanuddin.
Dasar Hukum Kuat
Hasanuddin juga mengingatkan bahwa model ini selaras dengan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, yang menempatkan komite sebagai penasihat, pendukung, pengawas, dan penghubung dalam tata kelola pendidikan.
Dengan pendekatan tersebut, program makan bergizi gratis diharapkan benar-benar menyentuh kebutuhan siswa, bukan sekadar proyek besar yang rawan penyalahgunaan.
“Jika tidak ada reformasi dalam sistem pengelolaan, program makan bergizi gratis akan terjebak dalam pola lama: niat baik di pusat, tapi bermasalah di lapangan,” pungkas Hasanuddin.***
*Salinan Permendikbud tentang KomiteSekolah
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post