Jakarta, Kabariku – Koordinator SIAGA 98, Hasanuddin, melontarkan kritik terhadap Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR RI bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Menurut Hasanuddin, DPR melewatkan isu krusial terkait kekosongan sejumlah jabatan strategis di KPK yang sudah terjadi lebih dari empat bulan.
“Seharusnya Komisi III mempertanyakan mengapa posisi deputi penindakan, direktur penyelidikan, dan beberapa jabatan lain di KPK masih kosong sehingga harus diisi pelaksana tugas (Plt),” ucap Hasanuddin, Kamis (21/8/2025).
“Ini menyangkut keseriusan DPR mendukung pemberantasan korupsi,” tegasnya menambahkan.
Hasanuddin menilai kekosongan jabatan tersebut memang tidak sepenuhnya menghambat kinerja KPK karena lembaga antirasuah bekerja berbasis sistem, bukan instruksi individu.
“Penegakan hukum tetap berjalan sesuai prosedur. Tapi DPR harus tahu kendalanya dan segera mendorong penetapan pejabat definitif,” ujarnya.
Selain itu, Ketua IRC for Reform ini juga menyayangkan fokus rapat yang justru mengarah pada perdebatan terminologi operasi tangkap tangan (OTT) oleh pimpinan sidang.
“OTT sudah dipahami publik, tidak perlu dipersoalkan lagi. Media pun sudah familiar dengan istilah ini,” terangnya.
Raker KPK Bersama Komisi III
Sebelumnya, dalam raker tersebut, Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni mempertanyakan definisi OTT setelah KPK melakukan penangkapan di tiga lokasi berbeda: Jakarta, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan, terkait dugaan korupsi pembangunan RSUD di Kolaka Timur, Sultra.
“Yang kami pahami adalah tertangkap tangan di seketika waktu bersamaan, bukan pada pisah tangan antara tempat satu dengan tempat yang lain,” ujar Sahroni, merujuk penangkapan Abdul Azis di Makassar, sementara tersangka lain ditangkap di Kendari dan Jakarta.
Menanggapi hal itu, Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa istilah OTT merupakan terminologi yang berkembang di masyarakat, bukan istilah resmi yang digunakan KPK.
“Terminologi OTT itu tidak pernah kami sampaikan pimpinan. Ini adalah istilah yang menjadi kebiasaan atau budaya, masyarakat menganggap OTT sebagai operasi tertangkap tangan,” ujarnya.
Setyo menegaskan bahwa KPK berpegang pada ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 102 ayat (1) dan (2) KUHAP yang mengatur kewajiban penyelidik melakukan tindakan segera dalam hal tertangkap tangan.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post