Jakarta, Kabariku – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tengah menuai sorotan terkait pelaksanaan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pembelajaran Mendalam, Koding/KA, dan Penguatan Karakter Region Jawa Tengah 2 yang dijadwalkan berlangsung di Solo pada 20–24 Agustus 2025.
Dokumen undangan itu, yang ditandatangani oleh Direktur Sekolah Menengah Pertama Kemendikdasmen, Maulani Mega Hapsari, S.IP., M.A., kemudian viral dan memunculkan perdebatan mengenai prinsip inklusivitas dalam kebijakan pendidikan.
Dalam dokumen, tercatat 200 guru yang diundang seluruhnya berasal dari sekolah Muhammadiyah. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik mengenai asas keadilan dalam kebijakan pendidikan.
Surat Perintah Tugas Sebelumnya
Sebelumnya, pada 5 Agustus 2025, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IV telah mengeluarkan Surat Perintah Tugas Nomor: 400.3.8.1/10/2025.
Dapun isi surat tersebut memerintahkan pelaksanaan Diklat Pembelajaran Mendalam, Koding AI, dan Penguatan Karakter khusus bagi guru-guru sekolah Muhammadiyah di Hotel MG Setos, Semarang, pada 6-10 Agustus 2025.
Surat tersebut diteken oleh Budhi Eviani Herliyanto, SP., MP., selaku Kepala Seksi SMK Cabdin Wilayah IV atas nama Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IV.
Dasar hukumnya tercantum pada poin kelima surat, yakni Surat Ketua Majelis Pendidikan Dasar Menengah dan Pendidikan Nonformal PP Muhammadiyah Nomor 395/I.4/F/2025 tertanggal 4 Agustus 2025.
Adapun sepuluh peserta kegiatan tersebut antara lain berasal dari berbagai SMK dan SMA Muhammadiyah di Blora, Randublatung, Cepu, dan Todanan.
“Kemerdekaan Tercoreng Kebijakan Partisan”
Menanggapi polemik ini, Nurul Ghufron, Anggota Dewan Pakar PB IKAPMII, menyebut bahwa kebijakan yang terkesan partisan tersebut telah mencoreng makna kemerdekaan.
“Hari kemerdekaan tercoreng kebijakan partisan. Urusan publik seharusnya dikelola secara adil untuk kepentingan seluruh bangsa, bukan untuk sebagian kelompok,” ujar Ghufron dalam keterangannya, Senin (18/8/2025).
Ghufron menegaskan, setiap pejabat negara wajib memastikan kebijakan yang diambil bebas dari diskriminasi.
Jika terjadi kekeliruan, kata dia, pejabat bersangkutan tidak hanya wajib membatalkan kebijakan, tetapi juga menyampaikan permohonan maaf kepada publik serta menjamin tidak akan mengulanginya.
“Di negara yang telah menerapkan keadilan restoratif, pejabat bahkan harus mengembalikan kerugian dan dapat dimintai pertanggungjawaban hukum,” tambahnya.
Kasus ini kini memicu perdebatan lebih luas terkait arah kebijakan pendidikan di bawah kepemimpinan Menteri Abdul Mu’ti. Kritik tajam muncul karena pendidikan dianggap sebagai ranah publik yang harus dijalankan secara inklusif, bukan sektoral.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post