HASANUDDIN
Koordnator SIAGA 98 dan Ketua Indonesia Raya Club for Reform
Jakarta, Kabariku – Presiden Prabowo Subianto tampak gesit di panggung internasional. Baru beberapa bulan menjabat, ia sudah menjalin hubungan erat dengan berbagai pemimpin dunia, menyuarakan perdamaian global, dan menawarkan Indonesia sebagai kekuatan stabil di tengah ketegangan geopolitik.
Namun di dalam negeri, konsolidasi belum sepenuhnya utuh. Proses pengangkatan Wakapolri belum selesai. Sorotan publik soal rangkap jabatan aparat dan tarik-ulur elite dalam koalisi terus muncul. Ada kesan bahwa persatuan dunia lebih mudah dibangun ketimbang persatuan nasional.
Apakah ini semata soal gaya kepemimpinan? Tidak sepenuhnya. Dunia internasional bergerak dalam kerangka kepentingan strategis yang lebih rasional: stabilitas, ekonomi, pertahanan. Diplomasi militeristik ala Prabowo justru dinilai efektif. Tapi politik dalam negeri adalah soal emosi kolektif, warisan sejarah, dan relasi kuasa yang kompleks.
Relasi kuasa di dalam negeri setidaknya masih dalam bayang-bayang 3 Mantan Presiden ini; Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ke-6, Soesilo Bambang Yudhoyono dan Presiden RI ke-7, Joko Widodo.
Yang terakhir, penuh hiruk pikuk, bahkan terkesan merawat kehadirannya day to day dalam berbagai dinamika pemerintahan saat ini, setidaknya banyak pihak mengaitkannya.
Diluar kekuatan ini, partai politik seolah menjadi instrumen semata, menjadi feriferial.
Hemat kami saatnya Presiden Prabowo keluar dari situasi ini, karena ini bisa jadi jebakan bagi kontestasi politik kedepan, yang berpotensi mengabaikan persatuan nasional bagi kepentingan kesejahteraan dan menuju bangsa yang besar.
Saatnya Presiden Merangkul masyarakat sipil secara aktif, bukan hanya elite politik atau koalisi pendukung.
Merangkul dan bekerjasama dengan Perguruan Tinggi, civitas akademika untuk urun rembug soal ekonomi nasional, penegakan hukum, pertahanan nasional, dlsb.
Saatnya, dilakukan Reformasi institusional nyata, terutama di tubuh Polri, Kejaksaan, dan lembaga penegak hukum. Konsolidasi butuh kredibilitas, bukan hanya loyalitas. Bertujuan membangun sistem yang kuat.
Diperlukan narasi keberpihakan sosial, bukan keberpihakan pada elit-elit tersebut, yang hanya sekadar stabilitas politik mereka. Rakyat ingin bukti bahwa negara hadir, adil, dan mendengar.
Presiden Prabowo punya kekuatan, tetapi untuk memperkuat persatuan nasional, ia perlu menambahkan kebijaksanaan dan sensitivitas sosial yang ditujukan pada rakyat.
Persatuan nasional bukanlah semata bersatunya para elit, melainkan rakyat secara nasional, dan ini diperlukan kepercayaan dari rakyat, bukan semata elit.
Jika diplomasi luar negeri adalah etalase, maka konsolidasi dalam negeri adalah fondasi. Tidak cukup Indonesia dipuji di forum internasional jika di dalam negeri, kepercayaan rakyat masih retak.
Memang tidak mudah, namun kami optimis dengan sikap negarawan dan kemampuan kepemimpinan dan kesetiaan mati dari Prabowo terhadap bangsa dan negara, kerikil penghambat persatuan satu persatu akan terlalui.***
Salam Indonesia Raya.
#tegakmerahputih
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post