• Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
Jumat, Juli 4, 2025
Kabariku
Advertisement
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
Tidak ada hasil
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
Home Opini

Tujuh Tantangan Besar Indonesia 2023, Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda Nainggolan

Redaksi oleh Redaksi
27 Desember 2022
di Opini, Tokoh
A A
0
ShareSendShare ShareShare

Ketimpangan Sosial dan Kemiskinan

SERI ke 2

Sabang Merauke Circle – Desember 2022

Kabariku- Saya lanjutkan pembahasan kita tentang 7 tantangan ke depan. Kemarin sudah saya paparkan tantangan pertama, soal demokrasi. Hari ini soal ketimpangan sosial baik antar daerah maupun lapisan sosial kita.

Jokowi baru saja membanggakan perekonomian Maluku Utara yang tumbuh 27% pada kuartal ke-3/2022 dan inflasi rendah 3,3%, dihadapan peserta Rakornas Investasi, di Jakarta, 30 November 2022, yang lalu.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Menurut Jokowi ini adalah potret pertumbuhan terhebat di dunia. Indonesia harus mempertahankan postur ekonomi Maluku Utara seperti itu.

RelatedPosts

Angin Segar dari Pemerintah: Saatnya Industri Hotel Bangkit Kembali

Koruptor Berlari, Hukum Tertatih

Putusan MK dan Pertanyaan Besar yang Mengiringinya

Pertanyaannya apakah kebanggaan Jokowi itu mewakili kebanggaan rakyat Indonesia? Khususnya rakyat Maluku Utara? Apakah benar pertumbuhan itu bermanfaat buat rakyat di sana?

Bossman Mardigu, dalam Channel You Tube nya, 27/10/22, maupun dalam kutipan yang diberitakan inilah.com, (9/12/2022), dengan judul “Jor-joran Tambang Nikel di Maluku Utara, Cina Untung Rp50 Triliun Setahun”, menunjukkan omongan Jokowi itu hanya isapan jempol belaka.

Bossman yang mengunjungi Desa Lelilef, Halmahera Tengah, tempat beroperasinya tambang nikel milik Tsingshan Industry, pada awal Oktober lalu, menghitung setiap tahunnya kekayaan Maluku Utara itu dibawa ke China sebesar Rp35 Triliun – Rp50 Triliun. Dan itu sudah berlangsung setidaknya 3 tahun belakangan ini.

Sebaliknya, Bossman tidak melihat adanya kemajuan Desa Lelilef tersebut, dibandingkan ketika dia kesana sepuluh tahun lalu. Bahkan, menurutnya lingkungan disana akan rusak setelah kekayaan alamnya dikeruk habis nantinya.

Dr. Mochtar Adam, cendikiawan setempat, dalam Porostimur.com, (5/12/2022), di bawah judul “Jokowi Banggakan Ekonomi Malut 27 Persen, Tapi China Untung Besar”, juga membantah klaim Jokowi yang mengaitkan pertumbuhan dengan kesejahteraan rakyat disana. Menurutnya rakyat disana tetap saja miskin.

Terakhir sekali, kemarin, Gubernur Maluku Utara sendiri yang memberikan pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang dibanggakan Jokowi itu tidak dinikmati rakyat. Bahkan pemerintah disana tidak mampu memperbaiki lingkungan yang rusak. (CNN Indonesia.com, 22/12/2022).

Kekayaan alam yang dikeruk perusahaan China, Tsingshan, dan mitranya, secara besar besaran ini memang tidak menjadi bagian Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung koefisien gini dan inflasi yang berbasis pengeluaran.

Karena BPS tidak menghitung Gini ratio berbasis penghasilan dan juga BPS tidak menghitung uang yang dibawa keluar.

Coba kita lihat situs BPS Halmahera Barat, Maluku Utara membuat uraian sebagai berikut: “Distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah di Provinsi Maluku Utara pada Maret 2022 yaitu sebesar 23,04 persen dan termasuk pada kategori ketimpangan rendah”.

Benarkah ketimpangan rendah?

Bisakah ketimpangan itu diukur dari potensi kekayaan rakyat Malut jika uang hasil tambang itu dibagikan kepada mereka versus fakta saat ini?

Jika kita memotret Index Pembangunan Manusia, sejak tahun 2020 sampai 2022, semua Kabupaten di Maluku Utara, kecuali Ternate, jauh dibawah IPM rerata nasional.

Baca Juga  Sekilas Sejarah Korlantas Polri

Halmahera Tengah yang di potret Mardigu sebesar IPM-nya 66, sedangkan IPM nasional 72,9. Rata-rata lama Pendidikan/sekolah masyarakat Malut juga rendah, yakni 9 alias hanya tamat SMP, kecuali di Ternate mencapai 12, atau tamat SMA, bahkan selebihnya banyak yang hanya tamat SD.

Pengeluaran yang dirilis BPS perkapita juga tidak menunjukkan kesejahteraan yakni sebesar Rp8.212.000,- perkapita pertahun untuk Halmahera Tengah, begitu juga kabupaten lainnya diluar Ternate. Bahkan, mayoritas hanya dikisaran Rp6,5 Juta-Rp7,5 Juta saja.

Bukankah akan sangat timpang jika kita melihat puluhan triliun uang di bawa dari Maluku Utara sedangkan rakyatnya tidak bertambah kekayaannya?

Lalu bagaimana kita melihat ketimpangan di wilayah lainnya?

Fenomena kekayaan alam Indonesia yang dikeruk segelintir elit oligarki dan bersekongkol dengan penguasa, atau bahkan oligarki itu sendiri menjadi penguasa, telah menjadi pembicaraan umum hampir delapan tahun belakangan ini.

Penguasa tambang batubara, emas, bauksit dan tambang-tambang lainnya, lalu penguasa kebun sawit, tebu dan perkebunan-perkebunan berskala raksasa lainnya, serta oil dan gas, hutan dan perikanan, di luar bahasan Nikel di atas, juga merupakan pengekploitasi kekayaan alam nasional yang menguntungkan sebagian kecil orang, sehingga membuat ketimpangan ekonomi di Indonesia semakin lama semakin menjulang tinggi.

Potret ini mirip dengan potret perekonomian nasional ketika VOC (Verenigde Oostindsiche Compagnie) dan pemerintahan kolonial Belanda menjajah Indonesia dahulu, rakyat Cuma menjadi penonton.

Keluhan lainnya, selain dari Maluku Utara, baru-baru ini, telah kita saksikan dari Bupati Meranti, Riau, yang merasa bagi hasil eksplotasi minyak bumi tidak menguntungkan mereka.

Menurutnya, Kementerian Keuangan adalah sarang iblis dan setan, yang memiskinkan rakyat disana. Begitu juga dari Wakil Ketua DPRD Sintang, Kalbar, terkait penggunaan lahan sawit yang tidak menguntungkan rakyat disana.

Ketika krisis minyak goreng terjadi, awal tahun lalu, perusahaan-perusahaan sawit yang mengontrol kebutuhan pokok minyak goreng, terbukti menjual hampir semua produknya ke luar negeri, sehingga rakyat Indonesia menderita kesulitan mendapatkan minyak goreng.

Ini sebuah ironi ketika Indonesia merupakan produsen terbesar di dunia. Pengusaha-pengusaha itu hanya bermotif keuntungan pribadi semata, tidak ada idelisme maupun nasionalisme.

Pemerintah memang marah dan berjanji akan melakukan audit. Namun, ketika Kejaksaan Agung menangkapi mafia minyak goreng tersebut, semua terkaget-kaget, karena persoalan ini terhubung dengan petinggi negara. Setidaknya seorang pejabat tinggi selevel Dirjen ikut ditangkap.

Ketika Pemerintah berusaha melacak keberadaan perusahaan-perusahaan sawit, Pemerintah menyatakan kaget karena banyak sekali perusahaan itu berkantor pusat di luar negeri.

Dalam berita RMOL, (28/5/2022), dengan judul “Luhut Kaget Banyak Perusahaan Sawit Berkantor di Luar Negeri, Anthony Budiawan; Koq Baru Tahu?”.

Pemerintah menyatakan bahwa perusahaan ini mengambil keuntungan dari bumi Indonesia, tapi membayar pajak di negara lain.

Baca Juga  Soal Piala Dunia U20, Presiden Jokowi: Jangan Campur Aduk Olahraga dengan Politik

Namun, sampai saat ini perkembangan audit itu belum jelas hasilnya. Pada berita bpkb.go.id, 31/10/22, dengan judul “Kepala Perwakilan BPKP Provinsi Kalimantan Timur Hadiri Rapat Pansus Plasma di DPRD Kab Kutai Barat”, isu audit itu masih berlangsung.

Jika pemerintah gagal mengendalikan kelompok-kelompok pengusaha sawit yang selalu mementingkan bisnisnya ketimbang kesejahteraan rakyat, maka ini merupakan cermin bagi kelompok usaha atau oligarki lainnya, dimana pemerintah tidak mungkin mampu mengendalikan mereka untuk kepentingan nasional.

Pertanyaan lalu muncul, mengapa mereka gagal mengendalikan kelompok pengusaha yang mengkhianati rakyat??

Tantangan nasional berupa ketimpangan dan kemiskinan ini berakar pada sistem kapitalisme yang terus berkembang pesat di Indonesia. Sistem ini berpusat pada penggandaan uang alias Riba.

Pembangunan atau projek hanya bisa berkembang dalam pertimbangan hitungan “return to capital” atau dimana uang bisa diputar dengan untung yang lebih banyak. Sistem kapitalisme ini membuat negara menjadi “kuda troya” bagi keuntungan segelintir orang.

Berbagai UU, seperti Omnibus Law Ciptaker, dan kebijakan lainnya, seperti kontrol atas upah buruh murah, pemberian lahan-lahan secara obral terhadap investor asing, dan lainnya terus berlangsung.

Dalam sistem ini, tugas negara atau penyelenggara negara harus memastikan kemanjaan pemilik modal itu maksimal Jika ada yang mengalangi kemanjaan itu, maka mereka harus ditumpas.

Bedanya kapitalis barat di masa lalu versus kapitalis Peking saat ini, yang pertama menyandera bangsa-bangsa miskin lebih pada bunga uang yang tinggi, sedangkan kapitalis China membawa buruhnya dari RRC menjadi pekerja kasar ke Indonesia, yang menyisakan sedikit kerjaan bagi pekerja pribumi lokal.

Ketimpangan dan kemiskinan yang terus melebar semakin parah dengan adanya pandemi Covid-19 selama dua tahun ini. Akibat pandemi, jutaan orang kehilangan pekerjaan dan jutaan usaha mengalami kebangkrutan.

Namun, pandemi ini juga dapat menjadi refleksi jika pandemik itu sebuah keharusan bagi kita untuk belajar mencintai kehidupan dan solidaritas.

Belajar Mencintai Alam dan Tuhan Y.M.E

Refleksi pertama yang harus dilakukan adalah apakah bangsa ini bisa menghargai pasal 33 UUD 1945, yakni seluruh kekayaan alam adalah milik negara?

Refleksi kedua adalah apakah sila ke-5 Pancasila itu, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dapat kita mulai canangkan?

Refleksi pertama ini misalnya penting saya uraikan sebagai berikut. Beberapa waktu lalu saya ketemu dengan pimpinan perusahaan Batubara terbesar di Indonesia.

Kebetulan teman kuliah di ITB. Dengan santainya dia mengatakan telah mensubsidi perusahan listrik negara (PLN), karena memberikan harga batubara murah ke perusahaan itu. Dia menghitung subsisdi yang dia berikan triliunan rupiah.

Baca Juga  KPK Dalam Ancaman Politik Jelang Pemilu 2024

Tapi, menurut saya jika pasal 33 UUD 45 diberlakukan, maka semua tambang yang dia miliki adalah milik negara. Kepemilikan perusahaan dia ditambang itu hanya bersifat derevatif. Sehingga konsep DMO (Domestic Market Obligation) dengan harga Pemerintah itu adalah hak rakyat yang memang begitu adanya, bukan kebaikan ati pengusaha.

Seandainya negara benar-benar menguasai tambang batubara, misalnya, maka perusahaan pemilik tambang yang ada selama ini, dapat difungsikan hanya sebatas kontraktor saja, dan itupun untuk bisnis UMKM dan skala menengah. Konsep penguasaan negara ini harus tegas.

Belakangan ini “windfall” yang dibanggakan Sri Mulayani dari ekspor batubara tidak lah banyak diperoleh negara sebagai inkom.

Padahal Faisal Basri sudah menghitung penjualan batbara itu mencapai seribuan triliun rupiah. Refleksi ini berlakku juga untuk semua bisnis ekstraktif, yang tidak memerlukan sentuhan teknologi.

Refleksi kedua adalah konsep pembangunan ke depan. Professor Stiglitz, Amartya Sen dan Fittousi, Bersama puluhan professor lainnya, di Prancis, pada tahun 2008, telah mengkritik konsep pembangunan yang hanya berpusat pada ukuran GDP.

Mereka menekankan pentingnya ukuran kualitas hidup, yakni yang menekankan keseimbangan kesejahteraan (share prosperity) dan keberlanjutan (menyisakan kekayaan alam untuk generasi anak cucu) Mereka juga mengkritik BPS (Biro Pusat Statistik) negara-negara di dunia yang kurang memasukkan unsur kualitatif dalam memotret kesejahteraan.

Jika kita ingin kembali ke sila ke-5 Pancasila, maka kita harus meninggalkan praktek-praktek kapitalisme itu.

Namun, jika mampu. Jalan tengahnya adalah melakukan anjuran Sitglitz dkk. Itu bisa dilakukan dengan memilih dan memilih konsep pertumbuhan yang dibanga-banggakan Jokowi di atas.

Pertama, pertumbuhan lalu pemeratan (Growth than equity);
kedua, pertumbuhan dan pemerataan (Growth with equity); dan
ketiga, pertumbuhan melalui pemerataan (Growth through equity).

Untuk pembangunan berbasis ekstraktif, seperti batubara, bauksit, emas, kebun sawit, dll, dapat dilakukan dengan Growth through equity. Faham sosialisme ataupun socialistic Islamisme mulai diberlakukan.

Atau seperti anjuran Bung Hatta, mengutamakan koperasi. Jadi ke depan pemilik tambang emas, batubara, bauksit, nikel dll, diserahkan kepada koperasi saja.

Maka, kemiskinan dan ketimpangan akan segera menurun. Untuk bisnis atau pembangunan berbasis teknologi tinggi, bisa dilakukan dengan konsep “Growth than Equity”.

Konsep mobil listrik, misalkan, pemerintah dapat menyerahkan hal itu murni pada swasta. Diantara ekstrem ini dapat dipilih jalan Growth with equty.

Namun, refleksi ini susah dilakukan jika segelintir manusia rakus ingin mempertahankan kontrol kekayaannya di Indonesia.

Oleh karenanya, tugas rakyat adalah menjadikan orang-orang rakus sebagai musuh bersama rakyat Indonesia.

\Semua kekuatan rakyat harus bersatu padu mengatur ulang kepentingan rakyat Indonesia, keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Bernegara, sekali lagi, seharusnya memberi kesejahteraan Bersama (share properity) bukan semakin memperlebar kesenjangan sosial.***

Red/K.101

Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com

Tags: Catatan Akhir Tahun Dr. Syahganda NainggolanSeri ke 2Tujuh Tantangan Besar Indonesia 2023Warta Pemilu
ShareSendShareSharePinTweet
ADVERTISEMENT
Post Sebelumnya

Habib Syakur Minta Presiden Jokowi Lebih Keras Melawan Politisasi Identitas di Daerah

Post Selanjutnya

Jelang Tahun Politik, Pemkab Garut Bersiap Laksanakan Pilkades Serentak Gelombang II di 82 Desa pada Mei 2023

RelatedPosts

E.S. Hartono

Angin Segar dari Pemerintah: Saatnya Industri Hotel Bangkit Kembali

3 Juli 2025

Koruptor Berlari, Hukum Tertatih

1 Juli 2025
Muhammad Lukman Ihsanuddin

Putusan MK dan Pertanyaan Besar yang Mengiringinya

30 Juni 2025

Pentingnya Pemerataan Pembangunan, Jawa Selatan sebagai Solusi Jitu atau Masalah Baru?

16 Juni 2025
Kiri: Oki Muraza. Kanan: Oki Muraza di hadapan Presiden Prabowo Subianto dalam momen IPA Convex 2025 di Jakarta Mei 2025 lalu.

Profil Wadirut Pertamina Oki Muraza: Dosen dan Peneliti Terkemuka di Arab Saudi

14 Juni 2025

Strategi Prabowo Memerdekakan Palestina

31 Mei 2025
Post Selanjutnya

Jelang Tahun Politik, Pemkab Garut Bersiap Laksanakan Pilkades Serentak Gelombang II di 82 Desa pada Mei 2023

'Ekosy on Fire' Seminar Pendidikan STAI Persis Garut Siasati Resesi Global Tahun 2023

Discussion about this post

KabarTerbaru

Sekretaris Jenderal Pasbata Jokowi-Prabowo, Budiyanto Hadinagoro, menantang Roy Suryo bertinju atau MMA/Istimewa

Sekjen Pasbata Budiyanto Tantang Roy Suryo Tinju atau MMA, Terserah

4 Juli 2025
Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman

Istri Menteri UMKM Dituding Pakai Fasilitas Negara ke Eropa, Maman Abdurrahman Klarifikasi Langsung ke KPK

4 Juli 2025

Kajati Kepri Dorong Transparansi Dana Desa Melalui Program JAGA Desa di Kabupaten Lingga

4 Juli 2025
Gedung MPR RI

Mantan Sekjen MPR Diduga Terima Rp17 Miliar dari Commitment Fee Pengadaan Barang dan Jasa

4 Juli 2025
Tim SAR mengevakuasi korban KMP Tunu Pratama Jaya yang tenggelam di selat Bali, Kamis (3/7/2025). Dok. Kodam IX/Udayana

Identitas 6 Korban Tewas dan 29 Korban Selamat Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali: 30 Masih Hilang

4 Juli 2025

KPK Sita Total Rp33,3 Miliar dari Kasus Scandal Proyek EDC BRI Bernilai Rp2,1 Triliun

4 Juli 2025

MA Sunat Hukuman Setnov, Wakil Ketua KPK: Koruptor Harusnya Tak Diberi Ruang PK Ringan

3 Juli 2025
Presiden Prabowo Subianto melakukan pertemuan bilateral tingkat tinggi dengan Putra Mahkota sekaligus Perdana Menteri Arab Saudi, Mohammed bin Salman Al Saud, pada kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi di Istana Al-Salam, Jeddah, Rabu, 2 Juli 2025 (dok: BPMI Setpres)

Presiden Prabowo dan Pangeran MBS Sepakati Bentuk Dewan Koordinasi Tertinggi RI-Arab Saudi

3 Juli 2025
Presiden Prabowo mencium Hajar Aswad saat menunaikan ibadah Umrah di Arab Saudi, Kamis, 3 Juli 2025/Instagram @presidenrepublikindonesia

Presiden Prabowo Tunaikan Ibadah Umrah: Sempat Shalat Sunah di Depan Kabah dan Cium Hajar Aswad

3 Juli 2025

Kabar Terpopuler

  • Viral Pasien BPJS Meninggal Dunia di RSUD Cibabat, Diduga Lambatnya Penanganan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bu Guru Salsa yang Viral karena Video Syur, Kini Bahagia Dinikahi Duda PNS

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • HUT Bhayangkara ke-79 Digelar di Monas, Sederet Jalan Ini Akan Ditutup 1 Juli 2025 Mulai Pagi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Longsor di Cilawu, Lalu Lintas Garut-Tasik via Singaparna Dialihkan ke Jalur Malangbong

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • DNIKS Dukung Porturin Sukseskan Ajang Olahraga Tunarungu Asia Tenggara 2025 di Jakarta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saksi Sejarah dari Bandung: Seruan Melawan Lupa dan Penuntasan Tragedi Kemanusiaan Mei 1998

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KPK Dalami Kasus EDC Bank BRI Senilai Rp2,1 Triliun, 13 Orang Dicekal Usai Penggeledahan di Dua Tempat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
[sbtt-tiktok feed=1]
Kabariku

Kabariku adalah media online yang menyajikan berita-berita dan informasi yang beragam serta mendalam. Kabariku hadir memberi manfaat lebih

  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy

© 2024 Kabariku - partner by Sorot Merah Putih.

Tidak ada hasil
View All Result
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra

© 2024 Kabariku - partner by Sorot Merah Putih.