Penelitian Dosen Universitas Garut Ungkap Makna Humanistik dan Ekologis di Balik Motif Batik Kawung Garutan
Garut, Kabariku – Batik Kawung Garutan bukan sekadar kain bermotif indah. Di balik pola geometris dan warna lembutnya, tersimpan filosofi hidup masyarakat Sunda yang sarat dengan nilai kemanusiaan dan kearifan ekologis. Hal inilah yang terungkap dalam penelitian kolaboratif antara para dosen Universitas Garut (UNIGA) dan Presiden Kawung Areniss Garut, Mr. Jo Santosa.
Penelitian berjudul “Humanity Values in Batik Motive Kawung Garutan: A Sociolinguistic Study” ini digagas oleh tim akademisi UNIGA: Desi Qoriah, SE., M.Hum., Mutiana Nurmalasari, M.Pd., dan M. Hilman Firmansyah, M.Pd.
Melalui pendekatan sosiolinguistik dan semiotik, mereka menelusuri makna filosofis di balik setiap elemen tanaman kawung (aren) yang menjadi inspirasi utama motif batik tersebut.

Makna Kemanusiaan dalam Motif Kawung Garutan
Menurut Desi Qoriah, dosen Universitas Garut sekaligus peneliti utama, setiap bagian dari tanaman kawung memiliki nilai simbolik yang mencerminkan falsafah hidup masyarakat Sunda.
“Mulai dari akar, batang, nira, buah, hingga daun, semuanya mengandung makna tentang ketulusan, keseimbangan, kesabaran, dan kebermanfaatan. Nilai-nilai ini menjadi refleksi moralitas ekologis yang diwariskan turun-temurun,” ungkap Desi. Kamis (16/10/2025)
Ia menambahkan, filosofi hidup itu tersirat pula dalam pepatah Sunda “Hirup kudu kawung, sakabeh bagian aya mangpaatna” – hidup harus seperti pohon kawung, setiap bagian membawa manfaat.
“Artinya, manusia ideal adalah mereka yang berguna bagi sesama dan alam sekitarnya,” ujar Desi.
Etika Ekologis dan Filosofi Humanistik
Temuan riset ini juga mengungkap bahwa motif empat elips simetris dalam Batik Kawung Garutan bukan sekadar hiasan visual, melainkan simbol keseimbangan antara tubuh, pikiran, jiwa, dan alam.
Simbol tersebut merepresentasikan etika kemanusiaan berbasis ekologi – gagasan bahwa kehidupan manusia tak terpisahkan dari keseimbangan lingkungan.
Jika pada versi Jawa motif kawung sering dikaitkan dengan spiritualitas individual dan kesucian batin, maka versi Garutan menekankan etika komunal yang berlandaskan prinsip silih asah, silih asih, silih asuh (saling mengasah, mengasihi, dan mengasuh).
“Ini menunjukkan bahwa masyarakat Garut menempatkan kemanusiaan dalam konteks kebersamaan dan kepedulian sosial,” jelas Desi.

Batik sebagai Teks Budaya dan Media Edukasi
Penelitian ini menegaskan bahwa Batik Kawung Garutan bukan hanya karya seni, tetapi juga teks budaya hidup yang sarat dengan pesan moral dan pendidikan karakter.
Melalui motif dan filosofi yang terkandung di dalamnya, batik ini menjadi media pembelajaran tentang kesederhanaan, kesetiaan, dan tanggung jawab sosial.
“Ketika seseorang mengenakan Batik Kawung Garutan, sejatinya ia sedang membawa pesan kemanusiaan dan filosofi hidup yang telah dijaga leluhur kita,” tutur Desi Qoriah.
Ia menilai, hasil riset ini juga relevan untuk memperkuat pendidikan budaya di sekolah dan kampus, sekaligus membangun kesadaran ekologis generasi muda melalui kearifan lokal.
Kolaborasi Akademisi dan Pelaku Batik
Kolaborasi antara akademisi UNIGA dan Presiden Kawung Areniss menjadi tonggak penting dalam pengembangan ekonomi kreatif berbasis nilai kemanusiaan.
Selain memperkaya literasi budaya, riset ini juga memperkuat citra Batik Garut sebagai warisan yang tidak hanya menonjolkan estetika, tetapi juga nilai moral, ekologis, dan edukatif.
“Harapan kami, penelitian ini dapat menginspirasi pengrajin batik, pendidik, dan masyarakat luas untuk melihat batik bukan sekadar busana, tapi simbol harmoni antara manusia dan alam,” pungkas Desi.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post