Jakarta, Kabariku – Di perairan biru yang membentang tenang antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, terdapat empat pulau kecil yang selama ini terombang-ambing dalam ketidakpastian administratif. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek—empat nama yang tak sekadar gugusan daratan, melainkan simbol identitas bagi masyarakat pesisir yang hidup berdampingan dengan ombak dan sejarah panjang perbatasan.
Selama bertahun-tahun, masyarakat di sekitar Pulau Banyak, Aceh Singkil, menyebut keempat pulau itu sebagai bagian dari tanah adat mereka. Para nelayan Aceh menambatkan perahu di pantainya, anak-anak mereka tumbuh dengan cerita tentang pulau-pulau itu sebagai warisan leluhur. Namun sebuah keputusan administratif dari pusat sempat mengaburkan batas itu, mencatat pulau-pulau tersebut sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Ketegangan pun merebak—bukan hanya di peta, tapi juga di hati. Pemerintah daerah dari dua provinsi bersikukuh mempertahankan wilayah yang mereka yakini sah. Saat Kementerian Dalam Negeri menerbitkan keputusan yang menempatkan keempat pulau ke wilayah Sumut, kekecewaan warga Aceh membuncah. Mereka merasa kehilangan bukan hanya tanah, tapi juga marwah, akar, dan identitas.
“Empat pulau itu harga mati untuk Aceh!”
— Teriakan tegas seorang warga saat aksi massa mengepung Pulau Panjang, 3 Juni 2025.
(nukilan.id)
“Kami memiliki bukti otentik dan fakta lapangan. Keempat pulau itu milik Pemerintah Aceh.”
— Muhammad Ishak, Koordinator AGAMM, dalam orasi di Pulau Panjang.
(acehtrend.com)
Di tengah tekanan itu, Presiden Prabowo Subianto memilih turun tangan langsung. Tak sekadar sebagai kepala negara, melainkan sebagai penengah yang ingin mendengar dari semua sisi. Ia memimpin rapat terbatas secara daring, menyimak laporan para menteri, menelaah peta dan dokumen lama yang menjadi saksi diam atas perdebatan panjang.
Akhirnya, pada Selasa, 17 Juni, lahirlah keputusan penting.
“Berdasarkan data administratif pemerintah, keempat pulau itu masuk wilayah Aceh.” kata Prasetyo Hadi, Menteri Sekretaris Negara menjelaskan keputusan Presiden Prabowo Subianto.
Keputusan itu bukan sekadar penetapan administratif. Ia menjadi pengakuan atas sejarah, kehidupan, dan ikatan batin warga Aceh terhadap empat pulau tersebut. Presiden tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga mengobati luka kolektif masyarakat pesisir yang selama ini merasa dipinggirkan.
Gema Syukur dan Haru dari Ujung Barat Nusantara
Saat keputusan dibacakan, riuh haru langsung membuncah di Aceh Singkil. Warga berkumpul di pelabuhan, membawa spanduk bertuliskan “4 Pulau Tetap Milik Kami!” dan “Empat Pulau Harga Mati!” Mereka melakukan konvoi laut, mengelilingi keempat pulau sambil melantunkan yel-yel perjuangan.
“Itu empat pulau milik kami rakyat Aceh…!” kata camat setempat dari atas kapal motor saat konvoi. (tipikorinvestigasinews.id)
Suasana semakin emosional saat doa dipanjatkan bersama. Di tepi laut, di bawah matahari sore yang menyentuh gelombang tenang, para tokoh agama, nelayan, dan ibu-ibu rumah tangga melafalkan syukur sambil meneteskan air mata.
“Kehilangan sejengkal tanah yang merupakan hak kita… itu luka. Tapi hari ini, luka itu dijahit kembali,” kata Safriadi Oyon, Bupati Aceh Singkil.
“Hari ini, kami bisa menyebut nama Pulau Lipan dan Mangkir Gadang dengan dada tegak,” kata seorang nelayan tua, sambil menggenggam pasir dari pantai Pulau Panjang.
Di ujung barat negeri ini, empat pulau kecil akhirnya menemukan rumahnya kembali—bukan hanya di peta, tapi di hati jutaan orang. Semua dimulai ketika seorang presiden memilih mendengar suara dari pinggiran, dan bertindak dengan nurani.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post