Jakarta, Kabariku- Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong, sebagai tersangka dugaan korupsi impor gula. Tom Lembong saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan (Mendag).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), Dr. Harli Siregar, SH., M.Hum., mengatakan, pada Selasa 29 Oktober 2024, Kejagung melalui Tim Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) telah menetapkan 2 orang Tersangka di Kementerian Perdagangan tahun 2015-2016.

Penetaan tersangka tersebut berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan JAM PIDSUS Nomor: Prin-54/F.2/Fd.2/10/2023 tanggal 03 Oktober 2023.
Sebagai Mendag, Tom Lembong selaku pemberi izin impor gula kepada Direktur Pengembangan Bisnis, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Charles Sitorus (CS) yang juga merupakan tersangka dalam kasus dugaan korupsi impor gula ini.
Dalam kasus ini, Kejagung melibatkan ahli untuk memastikan jumlah pasti kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), Harli Siregar, menyatakan bahwa angka kerugian negara sementara sebesar Rp400 Miliar masih akan dihitung lebih lanjut agar mendapat angka pasti.
“Kita akan menggandeng ahli untuk memastikan berapa kerugian negara. Saat ini perhitungan masih berlangsung,” ujar Harli di Kejagung Jakarta. Kamis (31/10/2023).
Harli menjelaskan, estimasi kerugian negara sementara dihitung berdasarkan selisih harga jual gula di pasar, yaitu Rp 16.000 per kilogram, dibandingkan dengan harga acuan tertinggi sebesar Rp 13.000. Selisih ini, dikalikan dengan kuota impor gula yang diberikan, menghasilkan nilai dugaan kerugian sebesar Rp400 Miliar.
Lebih lanjut, Harli menegaskan bahwa impor seharusnya tidak diperlukan apabila ada surplus gula dalam negeri.
Namun, izin impor tetap diberikan oleh Thomas Lembong kala itu tanpa mempertimbangkan stok yang ada, yang menurut Kejaksaan Agung menyalahi prosedur.
“Kalaupun harus diimpor, seharusnya ada persetujuan dari lembaga terkait, tetapi yang bersangkutan langsung memberikan izin,” tambahnya.
Harli menjelaskan, dalam menetapkan alat bukti, Kejaksaan Agung merujuk pada Pasal 184 KUHP, yang mencakup keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, serta keterangan tersangka atau terdakwa.
“Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, diperlukan bukti permulaan yang cukup, yang terdiri dari setidaknya dua alat bukti,” ujar Harli.
“Saat ini, terdapat 90 saksi yang telah diperiksa, dilengkapi dengan bukti berupa surat dan keterangan ahli, yang semuanya akan disampaikan di persidangan,” lanjutnya.
Harli berharap masyarakat memberi ruang bagi penyidikan untuk berjalan dengan baik dan menghindari anggapan adanya politisasi dalam kasus ini.
“Tidak ada politisasi di sini dan ini murni penegakan hukum,” tegas Harli.

Sementara itu, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menjelaskan, kasus posisi dalam perkara ini yaitu, pada tahun 2015 berdasarkan Rapat Koordinasi (Rakor) antar Kementerian tanggal 12 Mei 2015 telah disimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor gula.
Akan tetapi, pada tahun 2015 Menteri Perdagangan Tersangka TTL memberikan izin Persetujuan Impor (Pl) gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP untuk mengolah Gula Kristal Mentah (GKM) menjadi Gula Kristal Putih (GKP).
Sesuai dengan Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 tahun 2004, yang diperbolehkan impor GKP adalah BUMN. Tetapi berdasarkan Persetujuan Impor yang dikeluarkan oleh Tersangka TTL dilakukan oleh PT AP dan Impor GKM tersebut tidak melalui Rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan gula dalam negeri.
Selanjutnya pada 28 Desember 2015, dilakukan Rakor Bidang Perekonomian yang dihadiri oleh Kementerian dibawah Kemenko Perekonomian.
“Salah satu pembahasannya adalah bahwa Indonesia pada tahun 2016 kekurangan GKP sebanyak 200.000 ton dalam rangka stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional,” ungkap Qohar.
Kemudian, bulan November-Desember 2015, Tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan Staf Senior Manager Bahan Pokok PT PPI untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan gula swasta, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI di Gedung Equity Tower SCBD sebanyak empat kali.
Pertemuan guna membahas rencana kerja sama impor GKM menjadi GKP antara PT PPI dan delapan perusahaan gula swasta, yang juga atas sepengetahuan dan Direktur Utama PT PPI saat itu.
Pada bulan Januari 2016, Tersangka TTL menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI yang berisi penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula, melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah GKM impor menjadi GKP sebanyak 300.000 ton.
Selanjutnya, PT PPI membuat perjanjian kerja sama dengan delapan perusahaan gula swasta ditambah satu perusahaan swasta lainnya yaitu PT KTM, meskipun seharusnya dalam rangka pemenuhan stok gula dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung, dan yang dapat melakukan impor tersebut hanya BUMN (PT PPI).
“Atas sepengetahuan dan persetujuan Tersangka TTL, Persetujuan Impor GKM ditandatangani untuk sembilan perusahaan swasta. Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor adalah GKP secara langsung,” paparnya.
Selain itu, Persetujuan Impor dari Kementerian Perdagangan diterbitkan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi dengan instansi terkait.
Kedelapan perusahaan swasta yang mengolah GKM menjadi GKP memiliki izin industri sebagai produsen Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang diperuntukkan bagi industri makanan, minuman, dan farmasi.
Setelah kedelapan perusahaan swasta tersebut mengimpor dan mengolah GKM menjadi GKP, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi yang sebesar Rp 13.000/kg, dan tidak dilakukan melalui operasi pasar.
Dari pengadaan dan penjualan GKM yang diolah menjadi GKP, PT PPI mendapatkan fee dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengolah GKM sebesar Rp105/kg.
Kerugian negara yang timbul akibat perbuatan tersebut senilai Rp400 miliar, yaitu nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik negara/BUMN (PT PPI).

Selanjutnya, kedua Tersangka dilakukan penahanan Rumah Tahanan Negara (Rutan) selama 20 hari ke depan yaitu Tersangka TTL di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: 50/ F.2/Fd.2/10/2024 tanggal 29 Oktober 2024.
Sedangkan Tersangka CS ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: 51/ F.2/Fd.2/10/2024 tanggal 29 Oktober 2024.
Para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.***
*Siaran Pers Nomor: PR-910/073/K.3/Kph.3/10/2024
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post