Surabaya, Kabariku- Majelis Hakim Pengadilan Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan dua dari lima Polisi terdakwa tragedi Kanjuruhan, pada sidang yang di gelar Kamis (16/3/2023).
Vonis bebas itu dinilai gagal memberikan keadilan bagi 135 korban tewas dalam peristiwa stadion Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+Institute dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras hasil putusan sidang Tragedi Kanjuruhan kepada lima (5) terdakwa atas nama AKP Has Darmawan (Danki III Brimob Polda Jawa Timur), Kompol Wahyu Setyo Pranoto (Kabag Ops Polres Malang), AKP Bambang Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang), Abdul Haris (Ketua Panpel Pertandingan Arema FC), dan Suko Sutrisno (Security Officer).

Mewakili Koalisi Masyarakat Sipil, Andi Muhammad Rezaldy dari KontraS mengatakan, berdasarkan pemantauan Koalisi Masyarakat Sipil, kelima terdakwa tersebut dijatuhi vonis hukuman ringan; dimana AKP Has Darmawan divonis 1 tahun 6 bulan penjara; Kompol Wahyu Setyo Pranoto divonis bebas; AKP Bambang Sidik Achmadi divonis bebas; Abdul Haris divonis 1 tahun 6 bulan; dan Suko Sutrisno divonis hanya 1 tahun penjara.
“Kami menilai bahwa vonis tersebut jauh dari harapan keluarga korban yang menginginkan para terdakwa dapat diputus pidana seberat-beratnya juga seadil-adilnya serta dapat mengungkap aktor high level dibalik tragedi ini,” kata Andi dalam keterangannya diterima Kabariku, Sabtu (18/3/2023).
Andi mengungkap, sejak awal pihaknya telah mencurigai proses hukum ini yang tampak tidak secara sungguh-sungguh mengungkap kasus ini.
“Kami menduga proses hukum ini dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail) serta melindungi pelaku kejahatan dalam Tragedi Kanjuruhan,” ungkapnya.
Selain itu Koalisi Masyarakat Sipil juga turut melihat bahwa proses persidangan tersebut merupakan bagian dari proses peradilan yang sesat (malicious trial process).
“Dugaan kami turut didorong dengan berbagai keganjilan selama persidangan yang kami temukan,” lanjut dia.
Disebutkan, keganjilan-keganjilan dimaksud antara lain; aktor yang diproses secara hukum hanyalah aktor lapangan, terbatasnya akses terhadap pengunjung atau pemantau persidangan diawal-awal siding.
“Bahkan terdakwa sempat hanya dihadirkan secara daring, keganjilan lainnya yaitu diterimanya anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan,” jelasnya.
Lanjut Andi, Hakim dan Jaksa Penuntut Umum cenderung pasif dalam menggali kebenaran materil, minimnya keterlibatan saksi korban dan keluarga korban sebagai saksi dalam persidangan.
“Komposisi saksi didominasi oleh aparat Kepolisian, intimidasi anggota Polri dengan membuat kegaduhan dalam proses persidangan, adanya pengaburan fakta penembakan gas air mata kebagian tribun penonton, hingga peristiwa kekerasan dan penderitaan suporter baik di dalam maupun di luar stadion yang tidak diungkap secara utuh,” bebernya.
Koalisi Masyarakat Sipil menilai proses persidangan ini telah menunjukan bahwa potret penegakan hukum di Indonesia tidak benar-benar berpihak kepada korban dan keluarga korban kejahatan.
Dijatuhkannya vonis yang jauh dari rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban telah menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.
“Selain itu, proses peradilan ini juga memalukan Indonesia di mata dunia Internasional yang menunjukan potret buruk dan hancurnya negara hukum Indonesia karena hukum dipermainkan sedemikian rupa,” cetusnya.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil diwakili Daniel Siagian, LBH Pos Malang; Jauhar Kurniawan, LBH Surabaya; Muhammad Isnur, YLBHI; Andi Muhammad Rezaldy, KontraS; dan Fachrizal Afandi, LPBH NU Kota Malang, mendesak:
Pertama, Kapolri untuk memastikan proses hukum berjalan dengan baik, transparan dan independen;
Kedua, Dirkrimum Polda Jatim melakukan penyelidikan dan penyidikan kembali untuk menemukan tersangka baru khususnya bagi pelaku penembakan gas air mata;
Ketiga, Komnas HAM RI menetapkan Tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat;
Keempat, Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung memeriksa Majelis Hakim yang mengadili perkara Tragedi Kanjuruhan atas dugaan pelanggaran kode etik.***
Red/K.000
Berita Terkait:
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post