Jakarta, Kabariku- Ratusan tokoh nasional dan aktifis lintas angkatan hadir di Teater Wahyu Sihombing Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 16 Januari 2022.
Kehadiran para tokoh dan aktfis ini tersebut dalam rangka memperingati 49 tahun Malari atau peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 dan peringatan 23 tahun INDEMO (Indonesian Democracy Monitor).


Peringatan Peristiwa Malari kali ini mengangkat tema “Menolak Lupa: Pertahankan Demokrasi”.
“Jadi kita pilih Menolak Lupa Pertahanan Demokrasi karena isu besar tadi, kok ada orang yang pikirannya tiga periode, ada orang pikirannya tunda pemilu, ada orang pikirannya mau perpanjang tanpa alasan yang kuat,” kata Hariman.
Terkait isu tiga periode Presiden Jokowi, Hariman mengatakan, kekuasaan harus dibatasi, mengingat salah satu kutipan yang menyebut bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup.
Peristiwa Malari 1974
Mengulas demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14–17 Januari 1974).
Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil untuk menerobos masuk pangkalan udara.
Pada 17 Januari 1974 pukul delapan pagi, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974 disertai demonstrasi dan kerusuhan.
Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan yang menyebabkan Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban dan langsung mengambil alih jabatan itu.
Hariman Siregar Aktivis Lintas Zaman
Pada acara peringatan 49 tahun Malari ini dihadir tampak hadir di antara rantusan tokoh nasional tersebut Asri Hadi dan aktivis reformasi dr. Hariman Siregar.

Dr. Hariman Siregar lahir 1 Mei 1950 merupakan seorang aktivis reformasi Indonesia. Ia juga merupakan pendiri dan Direktur Indonesian Democracy Monitor (Indemo).
Bersama tokoh mahasiswa lainnya, seperti Syahrir, Muhammad Aini Chalid, Judilherry Justam, dan lainnya, Hariman merupakan tokoh utama peristiwa Malari pada 15 Januari 1974.
Sebelum peristiwa bersejarah tersebut, ia merupakan Ketua Dewan Mahasiswa (DM) Universitas Indonesia (UI) setelah terpilih melalui pemilihan yang diintervensi pemerintahan Orde Baru melalui Ali Murtopo.
Karena peristiwa Malari, Hariman bersama beberapa tokoh mahasiswa lainnya itu kemudian dipenjara oleh rezim penguasa masa itu.
Hariman Siregar ‘Malari’
Hariman Siregar pada peristiwa Malari, pikiran-pikirannya tentang demokrasi dan demokratisasi di Indonesia. Kabariku merangkum dari berbagai sumber catatan sejarah perjuangannya.
Hariman lahir di Padangsidempuan, Sumatera Utara, 1 Mei 1950. Hariman merupakan putera keempat dari pasangan Kalisati Siregar dan ibunya yang bermarga Hutagalung.

Sejak SD sampai Kuliah ia selesaikan di Jakarta. Putera pensiunan pegawai Departemen Perdagangan ini pada tahun 1973 terpilih sebagai Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DEMA UI), di saat aksi di berbagai kampus meningkat.
Pada tahun 1973, tercatat pula kegiatan demonstrasi memprotes kebijakan Orde Baru, yang dilakukan oleh salah satu tokoh mahasiswa, bernama Arif Budiman, dan kawan-kawan, dalam kasus pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Pembangunan ini menurut kelompok Arif Budiman tidak sesuai dengan situasi di Indonesia. Bagi mereka ini hanya proyek ambisius belaka. Gerakan mahasiswa yang dilancarkan Sejak Agustus 1973 tak lain untuk mengkritik strategi pembangunan yang sudah menyimpang dengan “cita-cita Orde Baru.”
Sekitar pertengahan 1973, bisa dikatakan pula sebagai tumbuhnya berbagai diskusi dan kelompok diskusi yang mengkritik strategi pembangunan pemerintah (Orde Baru), yang dianggap lebih banyak mengurusi angka pertumbuhan ekonomi ketimbang pemerataan sosial.
Suatu Kebijakan pembangunan yang dianggap tidak populis dan hanya menguntungkan orang kaya/konglomerat saat itu. Suatu kritik yang memang sedang populer kala itu. Ekonom kondang Mahbubul Haq, asal Pakistan, yang memuji konsep pemerataan di RRC, bahkan menjadi buah bibir para mahasiswa dan ekonom di Indonesia.
Pada 24 Oktober 1973, di kampus Salemba ada lagi diskusi yang menghadirkan tokoh dari berbagai angkatan. Ada bekas Wali Kota Jakarta Sudiro, ada Menlu Adam Malik, tokoh pers B.M. Diah, tokoh ’66 Cosmas Batubara, sampai Ketua DMUI Hariman Siregar. Hasil diskusi inilah yang kemudian dibacakan di TMP Kalibata, lalu dikenal sebagai Petisi 24 Oktober.
Antara 1972–1973, Hariman Siregar sering mengikuti kegiatan mahasiswa seperti seminar dan kongres di dalam maupun di luar negeri. Sejak 1972, Hariman sudah diangkat sebagai Sekjen Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia (IMKI) lewat kongres di Makassar.
IMKI pada waktu itu adalah organisasi kemahasiswaan yang dekat dengan Golkar. Lewat jalur IMKI inilah Hubungan Hariman dengan Ali Moertopo terjalin. Dia juga sering tampil di berbagai forum yang dikunjungi Ali Moertopo.
“Saya diperkenalkan sebagai pemimpin masa depan,” kata Hariman.
Tapi riwayat hubungan Hariman dengan Ali Moertopo tidak berlangsung lama.
Ketika terpilih sebagai Ketua Dema, ia menolak permintaan agar Dema UI tidak lagi menyerang soal strategi pembangunan yang merupakan produk Bappenas. Namun, Ada kelompok aktivis yang justru meminta Bappenas sebagai sasaran gerakan.
“Menjelang Oktober, sudah begitu banyak gerakan di luar. Saya pikir, saya harus konsolidasi dulu ke dalam kampus. Saya buat diskusi-diskusi,” ujar Hariman, yang saat itu baru berusia 23 tahun.
Dengan dukungan konsep GDUI, Hariman berangkat ke berbagai kampus untuk menggalang massa. Akhirnya, Dema UI membuat kesepakatan dengan 10 kampus untuk bertemu Presiden Soeharto pada 26 Desember 1973. Mereka ingin menanyakan tentang strategi pembangunan RI yang dianggap timpang itu.
27 Desember 1973, Presiden ternyata bersedia menerima pimpinan mahasiswa dari berbagai kampus. Diluar dugaan, dalam pertemuan tertutup yang dihadiri Mensesneg Sudharmono, terlontar beberapa pertanyaan yang kasar dan menuding-nuding.
“Saya jadi bingung,” kata Hariman.
Pak Harto, yang ketika itu tampak kalem, menutup pertemuan singkat itu dengan menyerahkan Buku RAPBN kepada mahasiswa. Tak berhenti sampai disitu, para mahasiswa pun ingin menyambut rencana kunjungan PM Tanaka dengan demonstrasi besar. Sebenarnya, ketika itu tuntutan DEMA UI untuk berdialog dengan PM Tanaka sudah diterima, dan dijadwalkan pada 15 Januari.
“Saya ditekan teman-teman dari seluruh Indonesia itu. Kalau datang, berarti pengkhianat. Akhirnya, dialog diganti demonstrasi jalanan,” kisah Hariman.
Dia mengaku sangat bingung menerima desakan ini. “Saya stres,” kata Hariman.
Pada pagi 15 Januari itu, dia sampai membuka bajunya yang dibasahi keringat. Dan, meledaklah malapetaka itu.
Demokrasi Pandangan Hariman Siregar
Bagi Hariman, demokrasi adalah bagaimana membangun partisipasi yang lebih luas dengan meruntuhkan oligarki dan feodalisme yang telah menginfiltrasi partai-partai politik sebagai instrumen pelanggeng kekuasaannya.
Menurutnya, demokrasi jangan hanya sekedar prosedural seperti pemilu lima tahunan. Dengan kata lain, Hariman ingin mengatakan bahwa demokrasi harus substansial.
“Dengan demikian, demokrasi memiliki dua tujuan. Pertama, menggerakkan partisiapasi yang lebih luas kepada rakyat untuk terlibat aktif dalam urusan bersama (publik),” ujar Hariman.
Bukan saja berpartisipasi untuk memilih pemimpin, melainkan juga berpartisipasi untuk dipilih menjadi calon pemimpin.
“Kedua, adalah bagaimana memecahkan persoalan bersama (publik), termasuk suksesi kepemimpinan tanpa kekerasan,” lanjutnya.
Beragam kepentingan yang ada dirembugkan, sejak rembug ditingkat kampung hingga ke level yang lebih tinggi. Jika rembugkan itu gagal mencapai konsensus baru dilakukan pemungutan suara.
“Bahwa demokrasi kita adalah musyawarah mufakat,” tegas Hariman.
Gerakan Cabut Mandat SBY-JK
Pada 15 Januari 2007, tokoh peristiwa Malari 1974, Hariman Siregar menggalang massa turun ke jalan. Aksi yang bertajuk “Pawai Rakyat Cabut Mandat” ini merupakan simbol ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah.

Aksi tersebut diikuti sejumlah tokoh yang tergabung dalam Indonesian Democracy Monitor (Indemo) (organisasi yang ia dirikan bersama kawan-kawannya) serta 52 elemen antara lain aktivis tahun 1974, aktivis mahasiswa, buruh, nelayan, etnis Tionghoa. 124 Mobil pick up ikut dalam pawai tersebut.
“Kita sengaja gelar dialog jalanan karena kami tetap memegang tradisi bahwa kalau saluran resmi kita anggap tidak berfungsi, masyarakat harus berani menyatakan keinginannya,” kata Hariman Siregar dalam jumpa pers di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat, (12/1/2007).
Menurutnya, pemerintah tidak bisa menjalankan mandat yang diberikan rakyat.
“Kita merasa tidak puas dan kecewa. Maka mandat itu harus dicabut,” tegas dia.
Konsisten Tegakkan Demokrasi
Sebagai tokoh aktivis yang dikenal dan disegani baik berbagai kalangan, tak hanya dikenal aktivis pergerakan. Hariman Siregar sosok yang juga dikenal di kalangan penguasa, di masa lalu hingga sekarang, tak lantas membuat Hariman berbangga hati.

Apalagi sampai lupa diri dan melupakan perjuangannya dikala banyak aktivis mulai surut semangat perlawanannya, ketika perjuangan dianggap usai.
Ketika godaan kekuaasaan menyeringai mereka, lalu masuk ke dalam labirin lingkaran sistem kekuasaan, maka tokoh aktivis satu ini tidak tergoda. Ia tetap mimilih konsisten menegakkan demokrasi yang ”terbajak” itu. Meski harus berjuang diluar kekuasaan.
Meski usianya sudah tidak lagi muda, namun semangatnya tetap membara dan menyala. Gerakan Cabut Mandat adalah salah satu buktinya. Ketika orang-orang seusianya sudah banyak yang duduk di kursi pemerintahan baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, Hariman masih terus saja berjuang.
Pilihannya berjuang meski tanpa harus masuk lingkaran sistem kekuasaan. Itu dilakukan bukan karena ia tidak pantas duduk di situ. Sebab, ia sempat mendapat tawaran untuk duduk di lingkaran kekuasaan.
Banyak tawaran untuk masuk ke situ, mulai dari posisi menteri sampai menjadi orang yang bebas ”mondar-mandir” istana tanpa harus disulitkan urusan protokoler. Namun, ia menolaknya.***
*INDEMO
Red/K.000
Berita Terkait :
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post