oleh :
Abadi Edison
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Untag
Kabariku – Belakangan ini, masyarakat merasa marah dan kecewa. Di sejumlah daerah, beredar laporan mengenai bensin oplosan yang dijual di SPBU Pertamina, yang selama ini kita anggap sebagai penyedia bahan bakar resmi yang aman dan berkualitas.
Banyak pengguna kendaraan melaporkan masalah, seperti mesin mobil yang mogok, motor yang brebet, bahkan kerusakan yang parah.
Di tengah harga BBM yang tinggi, masyarakat justru menjadi korban dari praktik curang dalam sektor yang sangat penting ini.
Namun, masalah ini lebih kompleks daripada sekadar isu bisnis atau kriminalitas. Kasus bensin oplosan mencerminkan tanggung jawab negara, yaitu siapa yang seharusnya melindungi hak publik agar tidak dirugikan.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa sumber daya alam, termasuk bumi dan air, dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat.
BBM adalah bagian dari kekayaan alam tersebut, dan pengelolaannya dipercayakan kepada Pertamina, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah.
Artinya, ketika masyarakat membeli bensin di SPBU Pertamina, mereka sebenarnya mempercayakan kebutuhan dasar mereka kepada negara.
Namun, ketika bensin yang dijual ternyata oplosan, kepercayaan publik itu hancur. Ini adalah inti dari masalah yang lebih besar: negara gagal menjaga kepercayaan rakyatnya.
Dalam setiap skandal publik, sering kali muncul pembelaan yang menyatakan ‘itu ulah oknum’.
Namun, jika semua kesalahan selalu dialamatkan kepada oknum, lalu apa fungsi negara?
Pertamina bukanlah usaha kecil, melainkan BUMN besar yang diatur dan diawasi oleh berbagai lembaga, mulai dari Kementerian BUMN hingga BPK dan BPH Migas.
Jika bensin oplosan bisa lolos di SPBU resmi, jelas ada masalah dalam rantai pengawasan. Jika pengawasan itu gagal, pemerintah tidak bisa lepas tangan.
Dalam hukum administrasi, terdapat konsep tanggung gugat pemerintah (state liability). Ini berarti jika lembaga publik lalai dan merugikan masyarakat, negara wajib bertanggung jawab.
Ketika kendaraan masyarakat mengalami kerusakan akibat bensin oplosan di SPBU resmi, yang perlu diselidiki bukan hanya pelakunya, tetapi juga kelalaian sistemik dalam pengawasan pemerintah.
Sebagian orang beranggapan bahwa tanggung jawab dapat diselesaikan dengan ganti rugi. Namun, yang dibutuhkan publik bukan hanya kompensasi finansial, tetapi juga akuntabilitas publik.
Masyarakat berhak mengetahui: bagaimana bensin oplosan bisa lolos sampai ke pom? Siapa yang melakukan pemeriksaan? Di mana pengawasnya? Apakah sistem pengendalian mutu Pertamina berjalan dengan baik atau hanya sekadar formalitas?
Jika semua masalah hanya berhenti pada pelaku di lapangan, tanpa menyentuh sistem pengawasan yang lebih tinggi, maka masalah yang sama akan terus berulang.
Hari ini bensin oplosan, besok mungkin solar dicampur air. Pada akhirnya, rakyat akan selalu menjadi korban.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang tidak memenuhi standar mutu.
Jika kerugian terjadi akibat produk yang cacat, tanggung jawabnya bersifat mutlak (strict liability).
Dalam konteks ini, Pertamina tidak dapat bersembunyi di balik alasan ‘tidak tahu’. Di mata publik, SPBU adalah representasi dari Pertamina, dan Pertamina adalah wakil negara.
Oleh karena itu, ketika terjadi pelanggaran di SPBU, tanggung jawab tersebut otomatis jatuh kepada negara.
Pemerintah harus hadir, bukan hanya dalam bentuk tindakan pidana terhadap pelaku, tetapi juga melalui perbaikan sistem pengawasan dan tata kelola energi nasional.
Pengawasan distribusi BBM perlu diperkuat dengan digitalisasi, audit mutu independen, dan mekanisme pelaporan publik yang efektif.
Kejadian ini seharusnya menjadi peringatan serius bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola energi.
Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan total terhadap SPBU resmi, karena begitu kepercayaan publik hilang, reputasi negara juga akan runtuh.
Saatnya pemerintah melihat kasus bensin oplosan bukan hanya sebagai kejahatan ekonomi, tetapi juga sebagai indikator lemahnya tata kelola publik.
Pelayanan publik tanpa pengawasan yang ketat ibarat tangki bensin yang bocor, perlahan tapi pasti, kepercayaan rakyat akan menguap.
Kasus bensin oplosan tidak hanya merusak mesin kendaraan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap negara. Dalam pelayanan publik, kelalaian adalah bentuk pengkhianatan.
Negara tidak boleh diam dan hanya menyalahkan oknum. Dalam kontrak sosial antara rakyat dan negara, tanggung jawab tidak bisa didelegasikan.
Apa yang diinginkan rakyat sangat sederhana: bensin yang bersih, jujur, dan aman.
Jika negara tidak mampu menjamin hal yang seharusnya sederhana ini, maka pertanyaannya menjadi sangat mendalam: untuk siapa sebenarnya negara bekerja?.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com


















Discussion about this post