_Sebuah Catatan Pendidikan Pembebasan_
Penulis :
Ketua Partai PRIMA Kota Bogor
Kabariku – Nama saya Lala Zhulaeha. Diantara udara lembab pegunungan dan jalan tanah yang tidak selalu mudah dilewati, saya berdiri sebagai seorang pengajar di SMA Terbuka Caringin, tepatnya di Tajur Halang.
Setiap langkah menuju ruang belajar sederhana itu selalu menghadirkan rasa yang sama-syukur, haru, dan keyakinan bahwa pendidikan bukan sekadar pekerjaan, tetapi sebuah perjuangan.
Di sini saya bertemu dengan anak-anak yang datang bukan karena fasilitas, bukan karena prestise, tetapi karena harapan.
Mereka datang dengan sepatu lusuh, baju yang barangkali sudah terlalu sering dicuci, dan buku tulis yang selembar demi selembar dijaga seolah-olah itu harta satu-satunya.
Namun, saya melihat sesuatu yang tak bisa dibeli oleh kekayaan manapun: kehendak untuk belajar dan bertahan.
Sebagian di antara mereka hampir menyerah pada keadaan-kemiskinan, keterbatasan keluarga, kerja serabutan, bahkan tekanan sosial.
Tetapi justru dari mereka saya memahami kalimat Paulo Freire, pendidik revolusioner dari Amerika Latin:
“Pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan, bukan yang menjinakkan.”
Sejak awal mengajar di sini, saya sadar: pendidikan tidak boleh hanya menjadi mesin seleksi. Pendidikan tidak boleh menyerah menjadi angka, ranking, atau administrasi dingin.
Pendidikan harus menjadi jalan pembebasan, ruang di mana anak-anak dapat menemukan dirinya, memahami kenyataan sosial yang membentuk hidupnya, dan menyiapkan keberanian untuk mengubahnya.
Minggu, 23 November 2025 – SMA Terbuka Tangkil
Hari ini saya berada di SMA Terbuka Tangkil, salah satu cabang dari sekolah induk SMA Terbuka Caringin di Cigombong, Kabupaten Bogor. Kami mengikuti kegiatan Monitoring dan Evaluasi (Monev) dari Provinsi Jawa Barat-sebuah pengingat bahwa negara hadir untuk memastikan pendidikan ini benar-benar berjalan.
Di depan saya, anak-anak duduk rapi. Kertas mereka tidak berlebih-kadang sobek, kadang dipakai bolak-balik-tapi kata-kata yang mereka tulis di atasnya adalah tanda bahwa mereka sedang melawan nasib.
Di wajah-wajah itu saya melihat semangat yang luar biasa. Mereka yang terbiasa menghadapi kekurangan justru memiliki keberlimpahan tekad.
Mereka adalah anak-anak yang mungkin terlupakan oleh sistem, tetapi tidak pernah kehilangan hak sebagai manusia.
Dan ketika saya mengajar, saya selalu ingat kata Freire: “Orang miskin bukan objek belas kasihan. Mereka adalah subjek sejarah”.
Maka tugas saya bukan sekadar memberi materi, bukan sekadar mencatat nilai. Tugas saya adalah menggugah kesadaran, agar mereka tahu bahwa dunia ini bukan sesuatu yang hanya dapat diterima-tetapi juga dapat diubah.
Harapan Saya
Saya merasa terhormat menjadi bagian dari perjalanan mereka. Mengajar di SMA Terbuka mengingatkan saya bahwa pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi tindakan cinta dan keberpihakan. Sebab pendidikan yang netral tidak pernah ada-ia selalu berpihak:
pada yang kuat atau pada yang lemah, pada status quo atau pada perubahan. Saya memilih berpihak pada mereka.
Saya percaya, di negara sebesar Indonesia, tidak semestinya ada anak yang tidak bisa membaca; tidak semestinya ada masa depan yang terhenti hanya karena biaya sekolah; tidak semestinya mimpi harus kalah dari keadaan.
SMA Terbuka adalah bukti bahwa negara dapat hadir untuk rakyat-bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai penjamin martabat warganya.
Selama masih ada anak yang menunduk bukan karena hormat tetapi karena malu tidak bisa membaca, maka perjuangan ini belum selesai.
Selama masih ada pendidikan yang hanya menjadi hak mereka yang mampu membayar, maka sejarah belum berpihak pada rakyat.
Dan selama masih ada ruang kelas kecil di pelosok desa, di mana guru dan murid belajar bersama dengan hati yang tulus-di situlah revolusi kecil pendidikan berjalan.
Saya, Lala Zhulaeha, akan terus mengajar, bukan hanya untuk mengisi kepala mereka dengan pelajaran, tetapi untuk menyalakan api kesadaran bahwa mereka adalah anak bangsa yang berhak maju, berhak bermimpi, dan berhak menentukan arah hidupnya.
Karena pendidikan-seperti yang diajarkan Paulo Freire bukanlah soal patuh, tetapi soal merdeka.***
Bogor, 23 November 2025
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com


















Discussion about this post