Jakarta, Kabariku – Koordinator SIAGA 98, Hasanuddin, menilai momentum menjelang pembentukan Tim Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi saat yang tepat untuk memulai pembenahan menyeluruh di sektor keamanan nasional.
Hasanuddin menekankan bahwa reformasi Polri semestinya juga dimaknai sebagai reformasi kamtibmas, yakni upaya menata ulang hubungan antara fungsi penegakan hukum dan ketertiban sipil agar lebih berkeadilan, terbuka, dan berjiwa sipil.
“Reformasi Polri sejatinya juga bermakna reformasi kamtibmas – proses menata kembali hubungan antara fungsi hukum dengan penataan ketertiban sipil, serta memperjelas peran Polri dan Satpol PP di tengah masyarakat,” ujar Hasanuddin di Jakarta, Senin (13/10/2025).
Akar Historis Relasi Polri dan Satpol PP
Hasanuddin memaparkan, sejak awal kemerdekaan, keamanan dan ketertiban merupakan kebutuhan pokok dalam penyelenggaraan negara. Polri lahir dari semangat revolusi 1945 sebagai kekuatan hukum nasional untuk menjaga keamanan rakyat dan negara.
Sementara Satpol PP dibentuk pada 3 Maret 1950 berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1950 untuk menegakkan peraturan daerah serta memelihara ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
“Keduanya punya akar sejarah dan fungsi berbeda, namun sama-sama berorientasi pada keteraturan sosial,” paparnya.
Dalam sejarahnya, lanjut Hasanuddin, Polri sempat berada di bawah Kementerian Dalam Negeri melalui Keputusan Presiden Nomor 290 Tahun 1960 guna memperkuat koordinasi antara keamanan dan pemerintahan sipil.
Namun sejak Keppres Nomor 52 Tahun 1969, Polri bergabung ke dalam struktur ABRI, menjadikan fungsi kepolisian lebih bercorak militer dan menjauh dari akar sipilnya.
Pasca Reformasi 1998, melalui Tap MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000, Polri dipisahkan dari TNI dan kembali menjadi lembaga sipil di bawah Presiden. Sejak itu, arah pembenahan Polri difokuskan pada penguatan profesionalisme, pelayanan publik, dan pendekatan humanis.
Sementara itu, posisi Satpol PP semakin kuat setelah era otonomi daerah melalui UU Nomor 23 Tahun 2014 dan PP Nomor 16 Tahun 2018.
Kini, fungsinya tak hanya penertiban, tetapi juga perlindungan masyarakat dan penegakan norma sosial di tingkat lokal.
Kolaborasi Kelembagaan, Bukan Subordinasi
Dalam konteks kamtibmas, Hasanuddin menilai bahwa menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat memang merupakan tugas pokok Polri, namun pelaksanaannya tidak dapat dijalankan secara tunggal.
Polri perlu bersinergi dengan Satpol PP sebagai perangkat daerah yang memelihara ketertiban sipil.
“Pelaksanaan kamtibmas seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara Polri dan Satpol PP, agar keseimbangan antara penegakan hukum dan wajah sipil pemerintahan tetap terjaga,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa reformasi kamtibmas harus memperkuat pola kerja kolaboratif, bukan subordinatif.
“Polri dengan mandat hukum dan pengayoman, serta Satpol PP dengan kewenangan penegakan perda dan ketertiban sosial, merupakan unsur penting dalam menjaga keseimbangan antara ketertiban, kebebasan, dan kemanusiaan,” terangnya.
Pendekatan Edukatif dan Humanis
Hasanuddin juga menyoroti pentingnya perubahan paradigma dalam penegakan ketertiban masyarakat.
Menurutnya, pendekatan edukatif dan partisipatif harus lebih dikedepankan dibanding tindakan represif yang menakutkan.
“Rasa aman sejati lahir dari keteraturan yang disepakati bersama, bukan dari tekanan aparat,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Hasanuddin menegaskan bahwa reformasi kamtibmas sejatinya adalah reformasi cara negara hadir di tengah rakyatnya – negara yang melindungi, bukan menekan; negara yang menegakkan hukum dengan nurani, bukan semata kekuasaan.
“Polri dan Satpol PP harus menjadi wajah negara yang berkeadaban, tertib, dan damai,” tandasnya.***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post