Jakarta, Kabariku – Komisi III DPR RI menggelar rapat dengan berbagai lembaga masyarakat untuk membahas Rancangan Undang-Undang Penyesuaian Pidana. Dalam forum itu, Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) menyuarakan kritik keras terhadap keberlakuan hukuman mati dalam tindak pidana narkotika.
“Kebijakan narkotika tidak layak atau tidak sepatutnya dapat dikenakan pidana mati kalau kita merujuk kepada norma instrumen hukum internasional yang juga kami pandang sebagai norma hukum nasional, karena kita telah meratifikasi,” kata perwakilan JRKN, Ma’ruf Bajamal, di ruang rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 2 Desember 2025.
Ma’ruf menegaskan bahwa pemberlakuan hukuman mati di kasus narkotika tidak sejalan dengan semangat pembaruan pidana dalam KUHP baru. Ia mengutip prinsip dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia, bahwa narkotika tidak termasuk kategori “the most serious crimes” atau kejahatan paling serius.
“Terkait pidana mati dalam kasus narkotika ini, bagi kami, tidak sejalan dengan semangat pembaruan pidana dalam KUHP baru,” ujarnya.
Kurir Menjadi Korban, Barang Bukti Minim
Ma’ruf juga mengingatkan bahwa penerapan hukuman mati justru membebani sistem pemasyarakatan. Banyak terpidana mati dalam kasus narkotika, kata dia, hanya bertindak sebagai kurir, bahkan sebagian merupakan korban tindak pidana perdagangan orang.
“Terpidana mati kasus narkotika yang bertindak sebagai kurir sering kali merupakan korban TPPO, dan kriteria penjatuhan hukuman mati bagi orang yang memberikan narkotika yang berakibat kematian atau kecacatan tidak memiliki batasan yang jelas dan semakin berpotensi mengkriminalisasi penggunaan narkotika,” katanya.
Ia menambahkan, eksekusi mati kerap dijatuhkan pada pelaku dengan barang bukti yang tidak signifikan.
Penjelasan Pemerintah: Hindari Kekosongan Hukum
Dalam rapat yang sama, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej menjelaskan alasan pemerintah memasukkan kembali pasal-pasal narkotika ke dalam RUU Penyesuaian Pidana. Hal itu dilakukan untuk mencegah kekosongan hukum setelah beberapa pasal terkait narkotika dicabut dari KUHP baru.
“Kami mengambil jalan pintas. Jalan pintasnya adalah mengembalikan pasal-pasal yang sudah dicabut dalam Undang-Undang KUHP itu ke dalam Undang-Undang Penyesuaian Pidana supaya tidak ada kekosongan hukum,” ujar Eddy.
Ia menegaskan bahwa seluruh masukan, termasuk dari JRKN, akan menjadi bahan penting dalam pembahasan ulang UU Narkotika yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2026.
“Masukan ini, Bapak-Ibu, nanti kita akan berbicara detail di dalam penyusunan Undang-Undang Narkotika. Karena dia masuk Prolegnas 2026. Ini akan memperkaya kita dalam penyusunan Undang-Undang Narkotika,” kata Eddy.
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com


















Discussion about this post