oleh :
Pius Lustrilanang
Aktivis Reformasi 1998 – Korban Penculikan Orde Baru
Jakarta, Kabariku – Setiap kali wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto kembali dihembuskan, dada saya terasa sesak. Bukan karena trauma yang belum sembuh, tetapi karena pertanyaan yang tak pernah dijawab: jika Soeharto diangkat jadi pahlawan, lalu kami ini siapa? Kami yang dulu diculik, disiksa, dibungkam, dan dituduh makar hanya karena menuntut demokrasi – apakah kami harus menulis ulang sejarah kami sendiri sebagai pengkhianat republik?
Saya menulis ini bukan untuk membuka luka, tetapi untuk mengingatkan bangsa bahwa sejarah bukan sekadar daftar nama dan tanggal, melainkan juga jeritan yang pernah ditenggelamkan. Di bawah rezim Orde Baru, banyak anak muda berani bersuara karena cinta pada negeri ini. Kami ingin Indonesia yang lebih terbuka, lebih adil, lebih manusiawi. Namun cinta itu dibalas dengan kecurigaan, dan idealisme dibalas dengan borgol.
Luka yang Tidak Tercatat
Nama-nama kami tidak terukir di monumen, tapi terpatri di ingatan bangsa yang nyaris kehilangan keberaniannya. Sebagian dari kami tidak pernah kembali. Sebagian kembali tanpa suara. Kami tahu siapa yang memerintah saat itu. Kami tahu siapa yang menciptakan struktur ketakutan di mana perbedaan pendapat dianggap ancaman negara.
Ketika negara menculik warganya sendiri, siapa sebenarnya yang melawan republik? Kami yang menuntut demokrasi, atau mereka yang menutup ruang kebebasan? Jika kini pelaku kekuasaan itu diangkat menjadi pahlawan, apakah artinya perjuangan kami dianggap kesalahan sejarah?
Dalam laporan Komnas HAM tahun 2006, kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998 dinyatakan memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Laporan itu bukan narasi balas dendam, melainkan fakta hukum yang belum dituntaskan.
Namun hingga kini, tidak ada satu pun permintaan maaf resmi dari negara. Luka itu dibiarkan menggantung – dan sekarang kita disuruh melupakan dengan dalih rekonsiliasi.
Antara Lupa dan Ampun
Saya tidak menolak rekonsiliasi. Tapi rekonsiliasi sejati hanya mungkin lahir dari kejujuran.
Yang saya tolak adalah rekonsiliasi yang dimulai dengan penghapusan dosa tanpa pengakuan kesalahan. Bangsa ini tidak bisa sembuh kalau terus menabur bunga di atas luka yang masih terbuka.
Jika Soeharto disebut pahlawan karena pembangunan dan stabilitasnya, maka siapa yang akan disebut korban dari stabilitas itu?
Mereka yang disingkirkan karena berpikir berbeda, yang ditahan tanpa pengadilan, yang keluarganya tidak pernah tahu di mana jasad anak-anaknya?
Stabilitas tanpa kebebasan bukan kedamaian, tapi pembekuan jiwa bangsa. Pembangunan tanpa keadilan hanya menghasilkan kemewahan bagi segelintir, dan ketakutan bagi banyak. Inilah paradoks besar yang ditinggalkan Orde Baru.
Antara Tokoh Besar dan Teladan Moral
Saya tidak menafikan bahwa Soeharto adalah tokoh besar. Ia punya jasa dalam menjaga keutuhan negara, membangun infrastruktur, dan menata ekonomi nasional. Tapi tokoh besar tidak selalu identik dengan pahlawan.
Tokoh besar bisa menjadi bagian sejarah yang harus dipelajari; pahlawan adalah teladan moral yang harus ditiru.
Dalam pandangan saya, pahlawan adalah mereka yang memberi ruang bagi kebebasan berpikir, bukan yang menakutinya. Pahlawan adalah mereka yang mengorbankan kekuasaan demi kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Bila Soeharto diangkat menjadi pahlawan nasional tanpa evaluasi moral, bangsa ini sedang memutihkan kekuasaan dengan tinta amnesia.
Dari Penjara ke Sejarah
Sebagai salah satu yang diculik, saya tahu rasanya menjadi angka di balik laporan.
Saya tahu rasa dingin lantai ruang sempit itu. Saya tahu suara langkah yang menandakan siksaan akan dimulai. Tapi yang paling saya tahu: ketakutan hanya bisa dikalahkan oleh keyakinan bahwa kebenaran tidak bisa dibungkam selamanya.
Kami tidak menuntut balas, hanya kebenaran. Kami tidak ingin gelar, hanya pengakuan bahwa apa yang kami perjuangkan bukan kesalahan. Karena jika orang yang memerintahkan penindasan diangkat jadi pahlawan, maka sejarah bangsa ini akan berubah menjadi ironi:
Para korban dianggap pemberontak, dan para penindas disebut penyelamat.
Apakah begitu cara bangsa ini ingin mengajarkan generasi mudanya tentang makna keadilan?
Pertanyaan untuk Masa Depan
Saya tidak ingin menulis dengan amarah.
Saya hanya ingin bertanya – dengan tenang, dengan suara hati yang jujur:
Jika Soeharto diangkat menjadi pahlawan, lalu kami ini siapa?
Apakah korban menjadi pengkhianat?
Apakah perjuangan menjadi kesalahan?
Apakah demokrasi yang kini kita nikmati lahir dari pengkhianatan, bukan pengorbanan?
Bangsa yang sehat tidak takut menghadapi masa lalunya.
Bangsa yang besar bukan yang melupakan luka, tapi yang berani menyembuhkannya dengan kejujuran.
Kita tidak sedang menolak menghormati tokoh masa lalu, kita hanya menolak menistakan makna kepahlawanan. Karena pahlawan sejati tidak pernah lahir dari kekuasaan yang membungkam, melainkan dari keberanian yang memerdekakan.
Penutup
Bagi sebagian orang, mungkin sudah waktunya melupakan. Tapi bagi kami yang pernah merasakan bau gelap ruang interogasi, sejarah tidak pernah benar-benar usai.
Kami tidak hidup di masa lalu, tapi kami juga tidak bisa berpura-pura masa lalu itu tak pernah ada.
Jika bangsa ini ingin menghormati pahlawannya, maka hormatilah juga ingatan para korban.
Soeharto mungkin tokoh besar. Tapi sampai bangsa ini berani menatap sejarah dengan jujur, gelar “pahlawan” akan terdengar lebih seperti ironi daripada penghargaan.***
Jakarta, 11 November 2025
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com



















Discussion about this post