Jakarta, Kabariku – Memperingati Hari Ulang Tahun ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merilis catatan terhadap peran TNI yang dinilai semakin jauh dari mandat konstitusionalnya.
Dalam pernyataan resminya bertajuk “Multifungsi TNI: Pengkhianatan Mandat Reformasi dan Pengingkaran terhadap Konstitusi, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia”, YLBHI menyebut TNI kini tengah memasuki era multi-fungsi yang berpotensi lebih kuat dan berbahaya dibanding masa Dwifungsi ABRI pada era Orde Baru.
TNI Menjauh dari Fungsi Konstitusionalnya
Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara tegas menyatakan bahwa TNI yang terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara adalah alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara.
Ketentuan tersebut diperkuat melalui TAP MPR No. VII/MPR/2000 yang mengoreksi peran ganda TNI dan Polri di masa lalu, serta UU No. 34/2004 yang membatasi keterlibatan TNI dalam urusan sipil, pemerintahan, dan bisnis.
Namun, YLBHI menilai seluruh mandat tersebut kini dikhianati. “Selama satu dekade terakhir, kami melihat keterlibatan TNI yang semakin dalam di ranah politik dan ekonomi. Peran yang seharusnya hanya berkutat pada pertahanan negara kini melebar ke bidang sipil dan bisnis,” tulis rilis Pengurus YLBHI. Sabtu (4/10/2025).
Revisi UU TNI dan Ekspansi Besar-Besaran
Menurut YLBHI, perluasan kewenangan TNI kian masif sejak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Salah satu langkah krusial yang disoroti adalah revisi cepat terhadap UU TNI yang memperluas definisi Operasi Militer Selain Perang (OMSP), membuka jalan bagi militer untuk masuk lebih dalam ke ranah sipil.
Selain itu, TNI – khususnya Angkatan Darat – melakukan ekspansi besar tanpa konsultasi publik maupun DPR RI. Di antaranya penambahan Komando Daerah Militer (Kodam), pembentukan 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) pada 2025, dan rencana menambah jumlah batalyon sesuai jumlah kabupaten/kota hingga 2029.
TNI juga membentuk Kompi Produksi di tingkat Kodim yang bergerak di sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan kesehatan.
“Langkah ini bukan hanya membebani keuangan negara, tetapi juga mengubah peta hubungan sipil-militer dan mengancam demokrasi,” tegas YLBHI.
Militerisasi Sektor Sipil dan Bisnis
YLBHI mengungkapkan keterlibatan TNI yang kian mendalam dalam berbagai program pemerintahan, seperti:
Program Makan Bergizi Gratis (MBG): TNI menyiapkan ratusan Kodim, Lantamal, dan Lanud untuk program ini serta mengoperasikan ratusan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Pembelian Gabah untuk Bulog: Babinsa dilibatkan dalam pembelian gabah dan pengawasan harga, langkah yang disebut YLBHI tidak tepat karena memasukkan militer ke dalam mekanisme ekonomi pangan.
Food Estate dan Satgas Swasembada Pangan: TNI dikerahkan untuk pembukaan lahan, terutama di Papua Selatan, dan mengawasi program cetak sawah, yang memicu konflik agraria dengan masyarakat adat.
Brigade Pangan dan Koperasi Merah Putih: Militer terlibat dalam produksi pertanian, pembentukan koperasi, hingga pengawasan distribusi sarana produksi dan pasokan obat-obatan.
Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH): Personel TNI menjadi tulang punggung satgas yang menyita jutaan hektare lahan perkebunan dan tambang, banyak di antaranya milik masyarakat kecil.
Keterlibatan militer ini juga menyentuh dunia usaha melalui PT Agrinas Palma Nusantara, BUMN baru yang dipimpin oleh purnawirawan jenderal dan mendapat pengelolaan lahan hasil sitaan.
Ancaman Impunitas dan Lemahnya Pengawasan
YLBHI menilai ekspansi peran TNI ini berlangsung diam-diam tanpa diskusi publik dan tanpa keputusan politik yang sahih. DPR pun dinilai tidak menjalankan fungsi pengawasan secara memadai.
Lebih jauh, peradilan militer yang tertutup dan diskriminatif masih menjadi ruang impunitas bagi prajurit yang melakukan pelanggaran hukum dan HAM.
“Jika kondisi ini dibiarkan, praktik korupsi atau pelanggaran hukum oleh militer akan sulit dimintai pertanggungjawaban,” tegas YLBHI.
Desakan YLBHI kepada Pemerintah dan DPR
Menanggapi situasi tersebut, YLBHI menyampaikan sejumlah tuntutan, antara lain:
Transparansi: Presiden Prabowo dan kabinetnya diminta membuka informasi secara jelas mengenai ekspansi organisasi TNI dan implikasinya terhadap hubungan sipil-militer serta keuangan negara.
Evaluasi MoU: Pemerintah diminta meninjau ulang semua nota kesepahaman antara lembaga sipil dan TNI yang menarik militer ke ranah non-pertahanan.
Penghentian Keterlibatan Sipil: Presiden diminta menghentikan peran TNI dalam urusan pangan, program MBG, dan Koperasi Merah Putih.
Pengawasan Legislatif: DPR, DPD, dan DPRD harus aktif mengawasi dan mempertanyakan pelibatan TNI dalam ranah sipil yang dianggap tidak demokratis.
Perlindungan Demokrasi: Elemen masyarakat sipil diminta terus melakukan pengawasan dan advokasi untuk menghentikan kembalinya praktik Dwifungsi ABRI.
Reformasi Hukum: Pemerintah dan DPR diminta merevisi UU Peradilan Militer demi memastikan penegakan hukum yang adil dan imparsial.
Struktur Militer: Presiden dan DPR diminta membatalkan pembangunan Kodam baru dan membubarkan komando teritorial yang tidak sesuai dengan fungsi pertahanan.
“Perluasan peran TNI ke sektor-sektor sipil dan ekonomi bukan hanya menyimpang dari konstitusi, tetapi juga mengancam sendi-sendi demokrasi yang diperjuangkan lewat Reformasi 1998,” tegas YLBHI.
Jika tidak dikoreksi, Indonesia berpotensi kembali ke masa ketika militer menjadi kekuatan dominan dalam politik dan pemerintahan.
“Multi-fungsi TNI bukan sekadar kemunduran, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap mandat reformasi,” menutup rilisnya.***
*Catatan kami untuk HUT TNI ini bisa dibaca secara lengkap: Multifungsi TNI: Pengkhianatan Mandat Reformasi dan Pengingkaran Terhadap Konstitusi, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post