Jakarta, Kabariku – Perdebatan soal tata cara pembayaran manfaat pensiun kembali mengemuka di Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah pekerja dan pensiunan dari berbagai perusahaan besar menggugat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) karena dinilai membatasi hak peserta untuk menerima manfaat pensiun secara lump sum atau sekaligus.
Namun, di sisi lain, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai pembatasan tersebut bukan tanpa alasan. Anggota Komisi III DPR RI, Soedeson Tandra, menegaskan bahwa ketentuan ini justru merupakan bentuk perlindungan sosial yang dirancang agar manfaat pensiun tetap berfungsi sesuai tujuannya: menjaga kesejahteraan di masa tua.
“Pembayaran manfaat pensiun pada prinsipnya dilakukan secara berkala. Pembayaran sekaligus hanya dimungkinkan dalam kondisi tertentu yang telah diatur secara tegas dalam undang-undang,” ujar Soedeson dalam keterangan resmi di Gedung Setjen DPR RI, Rabu (22/10/2025).
Menurutnya, kondisi yang memungkinkan pembayaran secara sekaligus antara lain jika peserta meninggal dunia sebelum mencapai usia pensiun, nilai manfaat pensiun tergolong kecil, atau pembayaran dilakukan kepada pihak yang ditunjuk. Ketentuan ini juga dapat berlaku dalam keadaan lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ketentuan tersebut, kata Soedeson, sejalan dengan putusan MK Nomor 152/PUU-XXII/2024, yang menegaskan bahwa mekanisme pembayaran manfaat pensiun bukanlah bentuk kesepakatan bebas antara peserta dan lembaga dana pensiun.
“Ini bukan soal fleksibilitas, tapi soal tanggung jawab menjaga prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan dana pensiun,” tegas politisi Partai Golkar itu.
Soedeson menilai bahwa jika pembayaran manfaat pensiun dilakukan sepenuhnya tanpa batasan, maka esensi dana pensiun sebagai instrumen perlindungan sosial akan hilang.
“Tanpa pembatasan, risiko penyalahgunaan meningkat, dan peserta justru bisa menghadapi kerentanan ekonomi di masa tua,” ujarnya.
Para Pekerja Gugat Aturan UU P2SK
Gugatan terhadap UU P2SK ini diajukan oleh delapan pekerja dan pensiunan melalui perkara Nomor 164/PUU-XXIII/2025. Mereka berasal dari berbagai perusahaan besar, seperti PT Freeport Indonesia, PT Kuala Pelabuhan Indonesia, dan PT Unilever Indonesia.
Para pemohon mempersoalkan pasal 161 ayat (2), pasal 164 ayat (1) huruf d, dan pasal 164 ayat (2) UU P2SK yang dianggap membatasi hak peserta dana pensiun swasta untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus.
Kuasa hukum para pemohon, Zen Mutowali, menilai ketentuan tersebut tidak adil karena menyamakan antara program jaminan pensiun publik yang bersifat wajib (mandatory) dengan dana pensiun swasta yang bersifat pelengkap (complementary).
“Peserta dana pensiun swasta seharusnya diberi ruang untuk menentukan sendiri bentuk penerimaan manfaatnya. Pembatasan ini membuat mereka dirugikan, terutama yang membutuhkan dana segera setelah pensiun,” kata Zen.
Keseimbangan Antara Perlindungan dan Kebebasan
Meski gugatan tersebut mendapat dukungan dari sebagian kalangan pekerja, DPR dan pemerintah menilai aturan dalam UU P2SK sudah mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dan perlindungan jangka panjang.
Dalam konteks tata kelola keuangan nasional, Soedeson menjelaskan, pembatasan ini bukan untuk membatasi hak pekerja, melainkan memastikan keberlanjutan sistem dana pensiun yang sehat dan berkeadilan.
“Tujuan kami adalah melindungi peserta dari risiko kehilangan manfaat dalam jangka panjang. Dana pensiun bukan tabungan pribadi semata, melainkan sistem perlindungan sosial,” kata dia.
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post