Jakarta, Kabariku- Peristiwa penyiksaan seorang anak berinisial IK yang berusia 16 tahun, setelah ditangkap di rumah saudaranya di Perum BTN Rindra, Paenre Lampoe, Gantarang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh Satuan Reserse Narkoba Polres Bulukumba terhadap IK.
“Berdasarkan informasi yang kami peroleh, diketahui bahwa penyiksaan terhadap korban IK (16) dilatar belakangi oleh tuduhan yang tidak berdasarkan pada dua alat bukti yang cukup dengan mengejar pengakuan,” ucap Dimas Bagus Arya, S.H., Badan Pekerja KontraS. Kamis (16/05/2024).
Diungkap Dimas, korban dipaksa mengaku sebagai kurir narkoba. Mulanya korban didatangi sejumlah orang yang mengaku sebagai Polisi, lalu dimasukkan ke dalam mobil dan diajak berkeliling di Kabupaten Bulukumba.
Penyiksaan bermula ketika Polisi terus mengeluarkan pernyataan bahwa Om IK (16) merupakan seorang bandar narkoba.
Polisi terus memaksakan korban untuk mengakui bahwa ia telah bertindak sebagai kurir yang mendistribusikan narkoba-narkoba tersebut. Untuk mendapatkan pengakuan, korban terus mendapatkan kekerasan seperti pukulan, penjambakan rambut hingga ditodong senjata api.
Walaupun mendapat tindak penyiksaan, korban IK (16) tetap pada pendiriannya karena tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan.
Karena tidak ditemukanya alat bukti ataupun pengakuan, Polisi pun kemudian melepaskan IK (16).
Atas penyiksaan keji yang dialami, IK (16) bersama keluarganya menggunakan haknya sebagai warga negara yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan ke Unit Propam Polres Bulukumba.
Dalam kasus ini, KontraS melihat penyiksaan ini merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan telah melanggar berbagai ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU 5/1998 tentang Pengesahan Kovenan Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta UU 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
:Selain itu, kami menyoroti perihal pelanggaran terhadap hak anak, sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Hak Anak dan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak pasal 16 ayat (1) yang telah secara tegas menyebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi,” terang Dimas.
Dalam peristiwa ini, Dimas menyebut telah ditunjukkan bagaimana gagalnya peran negara untuk memberikan perlindungan, penghormatan dan jaminan hak asasi setiap anak.
“Polisi yang terlibat dalam peristiwa tersebut kami nilai sangat tidak profesional karena telah melakukan pelanggaran berat, hingga menjadi institusi aparat penegak hukum yang gagal memutus rantai penyiksaan,” ujar Dimas.
Menurutnya, peristiwa ini juga menambah rapor merah bagi institusi kepolisian. Tindakan penyiksaan telah menjadi siklus yang terjadi terus-menerus dan berulang dilakukan oleh Kepolisian akibat dari kultur kekerasan dan penyiksaan yang selalu dinormalisasi.
Selain itu, faktor tidak adanya penegakan hukum yang adil dan minimnya pengawasan dari institusi yang berwenang membuat kultur kekerasan ini pun terus berkelanjutan.
“Peristiwa ini kembali memperlihatkan arogansi, kesewenangan, dan kultur kekerasan yang masih melekat di dalam institusi Kepolisian,” kata Dimas.
Lebih lanjut, KontraS menilai bahwa kasus penyiksaan yang terjadi kepada korban IK (16) harus segera ditindak dan pelaku penyiksaan harus diadili agar hukum dapat berjalan secara adil, objektif dan transparan.
“Kami juga meminta agar pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Sulawesi Selatan dapat menyeret pelaku ke dalam proses hukum guna mempertanggungjawabkan perbuatannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,” tandasnya.
Atas hal tersebut diatas, KontraS mendesak agar:
Pertama, Kapolri memerintahkan Kapolda Sulawesi Selatan segera melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap para pelaku yang merupakan anggota polri aktif, serta memberikan akses dan informasi berkala perihal penangannya kepada korban termasuk keluarganya dan publik secara luas;
Kedua, Komnas HAM melakukan investigasi lebih lanjut atas pelanggaran HAM yang terjadi;
Ketiga, LPSK segera memberikan perlindungan kepada korban dan pemulihan terhadap korban dan keluarganya;
Keempat, KPAI segera memberikan perlindungan kepada korban anak termasuk menjamin pemberian layanan yang diperlukan selama proses penghukuman terhadap pelaku berlangsung.***
*Badan Pekerja KontraS
Red/K.101