• Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
Senin, Agustus 18, 2025
Kabariku
Advertisement
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
Tidak ada hasil
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
Home Opini Artikel

Demokrasi dan Media Sosial

Redaksi oleh Redaksi
16 April 2022
di Artikel
A A
0
ShareSendShare ShareShare
oleh
Lukas Luwarso

Kabariku- Maraknya hoaks, berita palsu, kabar bohong, dan disinformasi di media sosial membuat platform digital ini dinilai sebagai ancaman demokrasi.

“Media sosial menjadi sarana para idiot untuk mencari perhatian. Dulu mereka cuma bisa berceloteh di warung kopi. Kini mereka memiliki medium opini yang sama dengan ilmuwan penerima Nobel. Media sosial adalah invasi para idiot”.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Ungkapan itu dilontarkan Umberto Eco, novelis dan filsuf semiotika dari Italia, yang geram dengan konten media sosial. Kemajuan teknologi digital tidak selaras dengan nalar manusia dalam memanfaatkannya dalam beropini atau berbagi informasi. Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), sebagai basis platform media sosial, ternyata tidak sejalan dengan kedunguan alamiah (natural stupidity) manusia.

RelatedPosts

Terdzalimi: Mendulang Hikmah di Balik Derita

Dasar Penyertaan Modal Pemerintahan Daerah Kepada BUMD Air Minum

Megatrust akan Terjadi di Jawa Barat?

Di era media sosial, demokrasi di berbagai wilayah di dunia justru memburuk, alih-alih membaik. Politikus buruk, dari Donald Trump hingga Duterte, populer karena berbagai lontaran kontroversialnya.

Ide banal sensasional lebih cepat dan lebih banyak mendapat perhatian. Prinsip demokrasi untuk menegakkan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan, tenggelam dalam banjir informasi irelevan.

Post-truth menjadi istilah yang identik dengan era media sosial. Khususnya setelah Donald Trump menang dalam pemilihan presiden di AS, dan Inggris memilih Brexit dari Uni Eropa dalam referendum. Dua peristiwa yang cukup mengagetkan, di tahun 2016, itu tak pernah terbayangkan bisa terjadi di dua negara kampiun demokrasi.

Para pengamat politik dan pakar media berupaya mencari penjelasan penyebabnya, dan mereka menemukan, media sosial lah “biang kesalahan”.

Media sosial dianggap menjadi kanal populernya politik identitas, politik populis dan politik tribalistik. Praktek politik untuk memenangkan pemilu dengan segala cara.

Selain Amerika dengan Donald Trump dan Inggris dengan Brexit (2016), sejumlah politikus kontroversial memenangi pemilu dengan memakai isu populisme. Perdana menteri Inggris Boris Johnson (2019); Presiden Brazil Jair Bolsonaro (2018); Presiden Philipina Rodrigo Duterte (2016); Presiden Turki Tayyip Erdogan (2014), Perdana Menteri India Narendra Modi (2014), Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban (2010), sekedar beberapa contoh.

Baca Juga  Marhaban Ya Ramadhan

Di Indonesia, dua pemilihan presiden terakhir yang dimenangi Jokowi, menjadi Pilpres yang dikenang sebagai pemilu “brutal”. Pemilu yang diwarnai banyak hujatan dan ekspresi kebencian. Temuan riset Dewan Pers, “Dialog Demokrasi dalam 140 Karakter” tentang pengunaan Twitter dalam pemilihan presiden 2014 menyimpulkan hal itu.

Twitter dipakai untuk mendukung secara fanatik atau menyerang secara kasar figur calon presiden. Di Twitter tidak terjadi dialog demokrasi, sebagai salah satu indikator kualitas partisipasi politik deliberatif publik.

Twitter dan media sosial lainnya menjadi saluran monolog, berisi olok-olok dan caci maki, alih-alih menjadi kanal untuk berbagi gagasan. Selama Pilpres 2014 dan 2019 Twitter mendorong netizen terpolarisasi dalam kubu-kubu pendukung fanatik capres (cebong, kampret, kadrun).

Media sosial dinilai efektif mengeskalasi penyebaran kebanalan yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah. Misinformasi, hoaks, atau berita palsu (fake news) sebenarnya bukan fenomena baru. Namun, era media sosial telah memfasilitasi bagaimana menyebarkan informasi manipulatif secara viral.

Lanskap media dan karakternya sebagai “Information clearing house” telah berubah drastis. Dunia maya (internet) justru menjadi gunungan sampah informasi, yang terus membesar, menyulitkan upaya mengais informasi yang bersih, bergizi, dan menyehatkan.

Media sosial mentransformasi publik dari konsumen menjadi produsen informasi, dari audiens pasif menjadi penyedia konten aktif. Keriuhan arus informasi di medsos ibarat percakapan di keramaian pasar, yang tidak jelas produsen dan konsumennya. Semua bersuara, beropini, tak soal betapa banalnya. Isu yang ramai di medsos, keriuhan percakapan di pasar, tidak jelas agenda dan gunanya bagi kepentingan publik.

Media sosial mengeskalasi gosip sebagai valuta informasi. Tidak ada agenda bersama yang perlu disuarakan. Agenda-setting, yang biasa diperankan oleh media massa tradisional, melalui proses kurasi kriteria layak muat atau tayang, serta berbasis sikap etika profesi tidak diperlukan atau tidak dipedulikan.

Baca Juga  ALMISBAT dan POJOK DESA Terus Mengawal Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial

Dengan tersingkirnya media mainstream tradisional (koran, majalah, radio, stasiun TV), bagaimana agenda publik disuarakan? Bagaimana mengajak publik fokus pada persoalan substansial, untuk menyuarakan kepentingan bersama? Bagaimana menyiasati situasi dunia media dan arus informasi yang sepertinya kacau balau ini? Melalui cara menerapkan demokrasi dan meritokrasi informasi. Inilah tantangan mengelola demokrasi di era media sosial.

Kebebasan berekspresi tetap harus diterapkan, sekalipun terancam atau tergerus kebisingan konten media sosial. Serbuan informasi viral media sosial adalah ibarat bukit gema (echo chamber) yang memekakkan, karena terus berdengung dan berulang. Dengungan pendengung informasi (buzzer) pada akhirnya cepat membuat lelah. Keletihan pada konten media sosial pada akhirnya akan memunculkan gejala “information fatigue” (letih informasi).

Dengungan kebisingan media sosial, segala pro-kontra, kontroversi, dan sensasi pada akhirnya akan surut. Publik pada umumnya, cepat atau lambat, akan letih pada “noise” dan kemudian memilih “voice”. Publik akan memilih informasi yang dibutuhkan, bukan sekedar yang diinginkan. Publik akan belajar mencari informasi dari sumber yang berkualitas.

Era informasi abad 20 sedang berlalu, sebagai ganti akan muncul era reputasi abad 21. Informasi hanya bernilai jika telah disaring, dievaluasi, dan diproduksi oleh figur atau lembaga kredibel. Di tengah-tengah banjir misinformasi dan disinformasi saat ini, akhirnya orientasi kuantitas informasi akan tergantikan oleh kualitas dan reputasi.

Pada akhirnya media sosial adalah alat, baik atau tidaknya tergantung pada penggunanya. Alat yang digunakan untuk kebaikan dan oleh orang-orang baik akan memenangkan simpati, minat, dan dukungan publik. Demokrasi menawarkan proses yang baik sebagai mekanisme swa-koreksi bagi publik untuk selalu bisa belajar memperbaiki diri dari kesalahan dan kelemahannya.

“Keriuhan” media sosial pada dekade awal keberadaannya dalam sistem demokrasi tidak selalu berarti buruk. Ini hanya soal proses bagaimana publik harus belajar memahami dan memakai teknologi media terbaru. Problem yang muncul dari situasi media sosial, pada dua dekade awal abad 21, adalah soal publik yang semula tidak memiliki media untuk bersuara, kini bisa bergabung dalam percakapan sosial dan politik.

Baca Juga  Lemahnya Pengawasan dan Pemahaman Pengupahan Ketenagakerjaan Penyebab Upah di Kabupaten Garut Buruk dan Eksploitatif

Di era informasi, percakapan sosial dan politik cenderung menjadi domain kekuasaan elit. Melalui media mainstream milik korporasi, yang kerap dipakai sebagai alat politik, publik tidak terlibat dalam percakapan. Situasi ini mulai berubah, pada 15 tahun terakhir, dan akan terus berubah. Media sosial “mendemokratisasi” percakapan politik, menjadi lebih terbuka, kolegial, dan non hirarkis. Pada awalnya media sosial memang membuat percakapan hiruk-pikuk bahkan terkesan kacau. Namun situasi ini cepat atau lambat akan berubah, keseimbangan atau kesadaran baru akan muncul. Percakapan yang lebih inklusif dan deliberatif akan berjalan seiring meningkatnya kesadaran publik.

Demokrasi, dengan segala kontradiksi dan kekurangannya, tetap merupakan sistem terbaik untuk mengatur politik. Prinsip kebebasan, kontrol publik, kolegialitas dan non-hirarkis membuat demokrasi selalu bisa memperbaiki diri. Demokrasi juga efektif untuk membangun masyarakat madani (civil society). Untuk memastikan tidak adanya kekuatan hegemonik dalam bentuk apapun. Termasuk kekuatan korporatis teknologi digital dan platform media sosial.

Transformasi teknologi informasi, pada dua dekade awal abad 21, belum ada presedennya dalam sejarah demokrasi. Berkembangnya korporasi teknologi raksasa global (seperti Amazon, Apple, Facebook, Google dan Twitter, juga berbagai start-up lokal), lima belas tahun terakhir, mendominasi dunia informasi. Bisnis utama mereka adalah menjerat atensi dan emosi penggunanya (users), untuk tujuan mengakumulasi data. Publik untuk sesaat bukan sekedar konsumen, melainkan produk media sosial.

Namun, dengan semakin meningkatnya literasi publik dalam bermedia-sosial dan demokratisasi akses komunikasi, media sosial bakal bisa menjadi sarana untuk “mengkoneksikan dunia untuk kebaikan bersama”. Relevan dengan ungkapan populer John Dewey: “the solution to the ills of Democracy is more Democracy”. Solusi bagi problem media sosial adalah meningkatkan kualitas bermedia sosial yang lebih baik.***

Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com

Tags: Demokrasi dan Media SosialLukas Luwarso
ShareSendShareSharePinTweet
ADVERTISEMENT
Post Sebelumnya

Perbanyak Istiqfar, Tidak Usah Ladeni Tantangan Duel di Ring Tinju Denny Siregar Bisa Innalillahi

Post Selanjutnya

Cerita Puan ‘Berkah Puasa Selamatkan Bung Karno dari Upaya Pembunuhan’

RelatedPosts

Terdzalimi: Mendulang Hikmah di Balik Derita

16 Juli 2025

Dasar Penyertaan Modal Pemerintahan Daerah Kepada BUMD Air Minum

18 Oktober 2024

Megatrust akan Terjadi di Jawa Barat?

20 Agustus 2024

Tahlil Pergerakan: Penghormatan untuk Muhammad Rafsanjani (30 Maret 1992 – 11 Maret 2024)

17 Maret 2024

Marhaban Ya Ramadhan

10 Maret 2024

Sebuah Resensi Buku dan Catatan Kritis

23 Oktober 2023
Post Selanjutnya

Cerita Puan 'Berkah Puasa Selamatkan Bung Karno dari Upaya Pembunuhan'

Korban Begal Jadi Tersangka, Polda NTB Terbitkan SP3 Terkait Kasus Amaq Sinta

Discussion about this post

KabarTerbaru

Setya Novanto Bebas Bersyarat, Dirjenpas Mashudi: Wajib Lapor hingga 2029 atau Status Dicabut

18 Agustus 2025
Setya Novanto mendapatkan bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin

Terpidana Korupsi e-KTP Rp2,6 Triliun: Setnov Bebas Bersyarat di Hari Kemerdekaan

18 Agustus 2025
Ketua KPK, Setyo Budiyanto Menyampaikan Amanatnya selaku Inspektur Upacara HUT ke-80 RI di halaman Gedung Merah Putih, Jakarta, Minggu (17/8/2025).

Peringati HUT ke-80 RI, Ketua KPK: Kemerdekaan Sejati adalah Bebas dari Korupsi

17 Agustus 2025
Momen Presiden Prabowo Ikut Joget Tabola Bale di HUT RI ke-80

Istana Merdeka Heboh Goyang “Tabola Bale”: Presiden Prabowo Ikut Joget di HUT RI ke-80

17 Agustus 2025
Masyarakat Sipil untuk merespon pidato Kenegaraan Presiden Prabowo pada hal-hal dalam satu jam siaran podcast untuk kanal youtube YLBHI

Pidato Kenegaraan Perdana Presiden Prabowo di HUT RI ke-80, Berikut Respon YLBHI dan Masyarakat Sipil

17 Agustus 2025

Kemenag Respons Penutupan Rumah Doa Imanuel di Garut: Siapkan Regulasi Baru Antisipasi Konflik

17 Agustus 2025

Kemerdekaan Hakiki dalam Sastra Indonesia: Minadzulumāti ilā Nūr

17 Agustus 2025
Pelantikan Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo di Markas Besar Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (16/8/2025).

Komjen Pol Dedi Prasetyo Resmi Dilantik jadi Wakapolri: Siap Dukung Program Asta Cita Presiden Prabowo

16 Agustus 2025

Pertemuan Bersejarah Trump-Putin Berakhir Tanpa Kesepakatan Konkret Soal Ukraina

16 Agustus 2025

Kabar Terpopuler

  • Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto meninjau langsung  pelaksanaan Geladi Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Lanud Suparlan, Pusdiklatpassus Kopassus, Batujajar, Bandung, Jawa Barat/.tni.mil.id***

    Mabes TNI Bentuk 6 Kodam Baru, Berikut Ini Daftarnya Serta Nama Pangdam yang akan Memimpin

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puluhan Guru Antusias Ikuti Workshop Deep Learning Pembelajaran Bahasa Indonesia Pascasarjana IPI Garut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Langkah Panjang Irjen Pol Asep Edi Suheri, Putra Tasik yang Kini Pimpin Polda Metro Jaya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • OTT KPK di Sektor Kehutanan: Tetapkan Tiga Tersangka, Kerugian Negara Rp15,9 Triliun per Tahun

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sosok di Balik Poliran, Irjen Pol Suyudi Ario Seto Dimutasi Jadi Pati Bareskrim untuk Penugasan Strategis di BNN

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bu Guru Salsa yang Viral karena Video Syur, Kini Bahagia Dinikahi Duda PNS

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Tujuh  Anak Try Sutrisno: Dari Jenderal, Dosen, hingga Psikolog di Amerika Serikat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
[sbtt-tiktok feed=1]
Kabariku

Kabariku adalah media online yang menyajikan berita-berita dan informasi yang beragam serta mendalam. Kabariku hadir memberi manfaat lebih

  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy

© 2024 Kabariku - partner by Sorot Merah Putih.

Tidak ada hasil
View All Result
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra

© 2024 Kabariku - partner by Sorot Merah Putih.