• Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
Senin, November 17, 2025
Kabariku
Advertisement
  • Home
  • News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Catatan Komisaris
  • Kabar Istana
  • Kabar Kabinet
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Politik
  • Seni Budaya
  • Opini
  • Lainnya
    • Artikel
    • Kabar Peristiwa
    • Pendidikan
    • Teknologi
    • Ekonomi
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Hiburan
    • Pariwisata
    • Bisnis
    • Profile
    • Pembangunan
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
  • Home
  • News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Catatan Komisaris
  • Kabar Istana
  • Kabar Kabinet
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Politik
  • Seni Budaya
  • Opini
  • Lainnya
    • Artikel
    • Kabar Peristiwa
    • Pendidikan
    • Teknologi
    • Ekonomi
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Hiburan
    • Pariwisata
    • Bisnis
    • Profile
    • Pembangunan
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
Tidak ada hasil
View All Result
  • Home
  • News
  • Dwi Warna
  • Kabar Peristiwa
  • Hukum
  • Kabar Istana
  • Politik
  • Profile
  • Opini
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Kesehatan
  • Seni Budaya
  • Pariwisata
  • Hiburan
  • Teknologi
Home Opini Artikel

Demokrasi dan Media Sosial

Redaksi oleh Redaksi
16 April 2022
di Artikel
A A
0
ShareSendShare ShareShare
oleh
Lukas Luwarso

Kabariku- Maraknya hoaks, berita palsu, kabar bohong, dan disinformasi di media sosial membuat platform digital ini dinilai sebagai ancaman demokrasi.

“Media sosial menjadi sarana para idiot untuk mencari perhatian. Dulu mereka cuma bisa berceloteh di warung kopi. Kini mereka memiliki medium opini yang sama dengan ilmuwan penerima Nobel. Media sosial adalah invasi para idiot”.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Ungkapan itu dilontarkan Umberto Eco, novelis dan filsuf semiotika dari Italia, yang geram dengan konten media sosial. Kemajuan teknologi digital tidak selaras dengan nalar manusia dalam memanfaatkannya dalam beropini atau berbagi informasi. Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), sebagai basis platform media sosial, ternyata tidak sejalan dengan kedunguan alamiah (natural stupidity) manusia.

RelatedPosts

KADIN Jawa Barat Terpecah, Dunia Usaha Tercuncang: Saatnya Kita Bersatu Kembali!

Dalam Perspektif Islam, Hoaks Bukan Hanya Informasi Palsu Melainkan Dosa Sosial dan Pelanggaran Moral

Dari Polemik ke Pengakuan: Gunung Padang dan Jalan Terang Sains untuk Rekonsiliasi Ilmiah

Di era media sosial, demokrasi di berbagai wilayah di dunia justru memburuk, alih-alih membaik. Politikus buruk, dari Donald Trump hingga Duterte, populer karena berbagai lontaran kontroversialnya.

Ide banal sensasional lebih cepat dan lebih banyak mendapat perhatian. Prinsip demokrasi untuk menegakkan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan, tenggelam dalam banjir informasi irelevan.

Post-truth menjadi istilah yang identik dengan era media sosial. Khususnya setelah Donald Trump menang dalam pemilihan presiden di AS, dan Inggris memilih Brexit dari Uni Eropa dalam referendum. Dua peristiwa yang cukup mengagetkan, di tahun 2016, itu tak pernah terbayangkan bisa terjadi di dua negara kampiun demokrasi.

Para pengamat politik dan pakar media berupaya mencari penjelasan penyebabnya, dan mereka menemukan, media sosial lah “biang kesalahan”.

Media sosial dianggap menjadi kanal populernya politik identitas, politik populis dan politik tribalistik. Praktek politik untuk memenangkan pemilu dengan segala cara.

Selain Amerika dengan Donald Trump dan Inggris dengan Brexit (2016), sejumlah politikus kontroversial memenangi pemilu dengan memakai isu populisme. Perdana menteri Inggris Boris Johnson (2019); Presiden Brazil Jair Bolsonaro (2018); Presiden Philipina Rodrigo Duterte (2016); Presiden Turki Tayyip Erdogan (2014), Perdana Menteri India Narendra Modi (2014), Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban (2010), sekedar beberapa contoh.

Baca Juga  Demokratisasi Polisi (Reformasi Kultural) Bukan Struktural

Di Indonesia, dua pemilihan presiden terakhir yang dimenangi Jokowi, menjadi Pilpres yang dikenang sebagai pemilu “brutal”. Pemilu yang diwarnai banyak hujatan dan ekspresi kebencian. Temuan riset Dewan Pers, “Dialog Demokrasi dalam 140 Karakter” tentang pengunaan Twitter dalam pemilihan presiden 2014 menyimpulkan hal itu.

Twitter dipakai untuk mendukung secara fanatik atau menyerang secara kasar figur calon presiden. Di Twitter tidak terjadi dialog demokrasi, sebagai salah satu indikator kualitas partisipasi politik deliberatif publik.

Twitter dan media sosial lainnya menjadi saluran monolog, berisi olok-olok dan caci maki, alih-alih menjadi kanal untuk berbagi gagasan. Selama Pilpres 2014 dan 2019 Twitter mendorong netizen terpolarisasi dalam kubu-kubu pendukung fanatik capres (cebong, kampret, kadrun).

Media sosial dinilai efektif mengeskalasi penyebaran kebanalan yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah. Misinformasi, hoaks, atau berita palsu (fake news) sebenarnya bukan fenomena baru. Namun, era media sosial telah memfasilitasi bagaimana menyebarkan informasi manipulatif secara viral.

Lanskap media dan karakternya sebagai “Information clearing house” telah berubah drastis. Dunia maya (internet) justru menjadi gunungan sampah informasi, yang terus membesar, menyulitkan upaya mengais informasi yang bersih, bergizi, dan menyehatkan.

Media sosial mentransformasi publik dari konsumen menjadi produsen informasi, dari audiens pasif menjadi penyedia konten aktif. Keriuhan arus informasi di medsos ibarat percakapan di keramaian pasar, yang tidak jelas produsen dan konsumennya. Semua bersuara, beropini, tak soal betapa banalnya. Isu yang ramai di medsos, keriuhan percakapan di pasar, tidak jelas agenda dan gunanya bagi kepentingan publik.

Media sosial mengeskalasi gosip sebagai valuta informasi. Tidak ada agenda bersama yang perlu disuarakan. Agenda-setting, yang biasa diperankan oleh media massa tradisional, melalui proses kurasi kriteria layak muat atau tayang, serta berbasis sikap etika profesi tidak diperlukan atau tidak dipedulikan.

Baca Juga  Memperingati Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober

Dengan tersingkirnya media mainstream tradisional (koran, majalah, radio, stasiun TV), bagaimana agenda publik disuarakan? Bagaimana mengajak publik fokus pada persoalan substansial, untuk menyuarakan kepentingan bersama? Bagaimana menyiasati situasi dunia media dan arus informasi yang sepertinya kacau balau ini? Melalui cara menerapkan demokrasi dan meritokrasi informasi. Inilah tantangan mengelola demokrasi di era media sosial.

Kebebasan berekspresi tetap harus diterapkan, sekalipun terancam atau tergerus kebisingan konten media sosial. Serbuan informasi viral media sosial adalah ibarat bukit gema (echo chamber) yang memekakkan, karena terus berdengung dan berulang. Dengungan pendengung informasi (buzzer) pada akhirnya cepat membuat lelah. Keletihan pada konten media sosial pada akhirnya akan memunculkan gejala “information fatigue” (letih informasi).

Dengungan kebisingan media sosial, segala pro-kontra, kontroversi, dan sensasi pada akhirnya akan surut. Publik pada umumnya, cepat atau lambat, akan letih pada “noise” dan kemudian memilih “voice”. Publik akan memilih informasi yang dibutuhkan, bukan sekedar yang diinginkan. Publik akan belajar mencari informasi dari sumber yang berkualitas.

Era informasi abad 20 sedang berlalu, sebagai ganti akan muncul era reputasi abad 21. Informasi hanya bernilai jika telah disaring, dievaluasi, dan diproduksi oleh figur atau lembaga kredibel. Di tengah-tengah banjir misinformasi dan disinformasi saat ini, akhirnya orientasi kuantitas informasi akan tergantikan oleh kualitas dan reputasi.

Pada akhirnya media sosial adalah alat, baik atau tidaknya tergantung pada penggunanya. Alat yang digunakan untuk kebaikan dan oleh orang-orang baik akan memenangkan simpati, minat, dan dukungan publik. Demokrasi menawarkan proses yang baik sebagai mekanisme swa-koreksi bagi publik untuk selalu bisa belajar memperbaiki diri dari kesalahan dan kelemahannya.

“Keriuhan” media sosial pada dekade awal keberadaannya dalam sistem demokrasi tidak selalu berarti buruk. Ini hanya soal proses bagaimana publik harus belajar memahami dan memakai teknologi media terbaru. Problem yang muncul dari situasi media sosial, pada dua dekade awal abad 21, adalah soal publik yang semula tidak memiliki media untuk bersuara, kini bisa bergabung dalam percakapan sosial dan politik.

Baca Juga  Negara, Pajak dan Revolusi Mental Jokowi

Di era informasi, percakapan sosial dan politik cenderung menjadi domain kekuasaan elit. Melalui media mainstream milik korporasi, yang kerap dipakai sebagai alat politik, publik tidak terlibat dalam percakapan. Situasi ini mulai berubah, pada 15 tahun terakhir, dan akan terus berubah. Media sosial “mendemokratisasi” percakapan politik, menjadi lebih terbuka, kolegial, dan non hirarkis. Pada awalnya media sosial memang membuat percakapan hiruk-pikuk bahkan terkesan kacau. Namun situasi ini cepat atau lambat akan berubah, keseimbangan atau kesadaran baru akan muncul. Percakapan yang lebih inklusif dan deliberatif akan berjalan seiring meningkatnya kesadaran publik.

Demokrasi, dengan segala kontradiksi dan kekurangannya, tetap merupakan sistem terbaik untuk mengatur politik. Prinsip kebebasan, kontrol publik, kolegialitas dan non-hirarkis membuat demokrasi selalu bisa memperbaiki diri. Demokrasi juga efektif untuk membangun masyarakat madani (civil society). Untuk memastikan tidak adanya kekuatan hegemonik dalam bentuk apapun. Termasuk kekuatan korporatis teknologi digital dan platform media sosial.

Transformasi teknologi informasi, pada dua dekade awal abad 21, belum ada presedennya dalam sejarah demokrasi. Berkembangnya korporasi teknologi raksasa global (seperti Amazon, Apple, Facebook, Google dan Twitter, juga berbagai start-up lokal), lima belas tahun terakhir, mendominasi dunia informasi. Bisnis utama mereka adalah menjerat atensi dan emosi penggunanya (users), untuk tujuan mengakumulasi data. Publik untuk sesaat bukan sekedar konsumen, melainkan produk media sosial.

Namun, dengan semakin meningkatnya literasi publik dalam bermedia-sosial dan demokratisasi akses komunikasi, media sosial bakal bisa menjadi sarana untuk “mengkoneksikan dunia untuk kebaikan bersama”. Relevan dengan ungkapan populer John Dewey: “the solution to the ills of Democracy is more Democracy”. Solusi bagi problem media sosial adalah meningkatkan kualitas bermedia sosial yang lebih baik.***

Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com

Tags: Demokrasi dan Media SosialLukas Luwarso
ShareSendShareSharePinTweet
ADVERTISEMENT
Post Sebelumnya

Perbanyak Istiqfar, Tidak Usah Ladeni Tantangan Duel di Ring Tinju Denny Siregar Bisa Innalillahi

Post Selanjutnya

Cerita Puan ‘Berkah Puasa Selamatkan Bung Karno dari Upaya Pembunuhan’

RelatedPosts

KADIN Jawa Barat Terpecah, Dunia Usaha Tercuncang: Saatnya Kita Bersatu Kembali!

28 Oktober 2025

Dalam Perspektif Islam, Hoaks Bukan Hanya Informasi Palsu Melainkan Dosa Sosial dan Pelanggaran Moral

13 September 2025
Gunung Padang, sebuah situs di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Indonesia, telah menjadi pusat perdebatan dan spekulasi sejak penemuannya pada tahun 1914

Dari Polemik ke Pengakuan: Gunung Padang dan Jalan Terang Sains untuk Rekonsiliasi Ilmiah

7 September 2025

Terdzalimi: Mendulang Hikmah di Balik Derita

16 Juli 2025

Dasar Penyertaan Modal Pemerintahan Daerah Kepada BUMD Air Minum

18 Oktober 2024

Megatrust akan Terjadi di Jawa Barat?

20 Agustus 2024
Post Selanjutnya

Cerita Puan 'Berkah Puasa Selamatkan Bung Karno dari Upaya Pembunuhan'

Korban Begal Jadi Tersangka, Polda NTB Terbitkan SP3 Terkait Kasus Amaq Sinta

Discussion about this post

KabarTerbaru

Gubernur Sumatera Utara (Sumut) - kader Partai Gerindra, Bobby Nasution

Bobby Nasution Ikuti Sikap DPD Sumut Menolak Budi Arie Gabung Partai Gerindra

17 November 2025
Oplus_131072

Putusan MK Soal Polisi di Jabatan Sipil, FHUI: Perlu Diselaraskan dengan Regulasi Lain

17 November 2025

Omzet Panen Padi Cahyo Capai Rp15,6 Juta, Berkat Bantuan BAZNAS RI

17 November 2025
Petugas melakukan pengecekan rumah warga yang ambruk dampak cuaca ekstrem di Desa Hujungtiwu, Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (15/11/2025). ANTARA/HO-BPBD Ciamis

BPBD Ciamis Asesmen Sejumlah Rumah dan Fasilitas Pendidikan Ambruk Akibat Cuaca Ekstrem

16 November 2025
Pemkab Cirebon saat meresmikan kampung donor darah di Desa Babakangebang, Cirebon, Jawa Barat. ANTARA/HO-Pemkab Cirebon.

Pemkab Cirebon Perluas Kampung Donor Darah untuk Perkuat Stok PMI

16 November 2025
Alfira Anandika, atlet renang asal Garut yang meraih emas di Popnas 2025, bersiap mewakili Indonesia pada Asean School Games di Brunei Darussalam/Kabariku

Atlet Renang Garut Alfira Anandika Siap Harumkan Indonesia di Asean School Games

16 November 2025
Wakil Bupati Garut Putri Karlina/Kabariku

Warga Hibahkan Tanah untuk Jalan Umum, Wabup Garut: “Gerakan Dimulai dari Masyarakat”

16 November 2025
Forum Pemerhati Bangsa soroti lemahnya penerapan Pancasila yang memicu radikalisme dan intoleransi.(Foto:Ist)

Forum Pemerhati Bangsa: Lemahnya Pemahaman Pancasila Dorong Intoleransi di Masyarakat

16 November 2025

Struktur Ditjen Pesantren, Ini Penjelasan Menko PMK

16 November 2025

Kabar Terpopuler

  • Adian Napitupulu, Wakil Ketua BAM DPR RI, ketika melakukan kunjungan kerja ke PT Indofarma Tbk Selasa (11/11/2025)

    FSP BUMN IRA Dukung BAM DPR RI Kawal Pembayaran Pesangon Eks Karyawan Indofarma Global Medika

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seminar Nasional FH UI, Irjen Andry Wibowo: “Reformasi Polri Tak Boleh Berhenti, Polisi adalah Wajah Negara”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kejagung Telusuri Investasi Telkomsel di GoTo: Dari Obligasi Rp2,1 Triliun hingga Saham Rp6 Triliun

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KPK Umumkan Hasil Seleksi Administrasi, Berikut Daftar Lolos dari Direktur Penyelidikan hingga Kabiro Hukum

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Tujuh  Anak Try Sutrisno: Dari Jenderal, Dosen, hingga Psikolog di Amerika Serikat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jika Soeharto Jadi Pahlawan, Lalu Kami Ini Siapa?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kapolri Anugerahkan Bintang Bhayangkara Pratama kepada Kepala BNN RI Komjen Suyudi Ario Seto

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Kabariku

Kabariku adalah media online yang menyajikan berita-berita dan informasi yang beragam serta mendalam. Kabariku hadir memberi manfaat lebih

Kabariku.com Terverifikasi Faktual Dewan Pers dan telah mendapatkan Sertifikat dengan nomor: 1400/DP-Verifikasi/K/VIII/2025

Kabariku

SOROTMERAHPUTIH.COM BERITAGEOTHERMAL.COM

  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy

© 2025 Kabariku.com

Tidak ada hasil
View All Result
  • Home
  • News
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Catatan Komisaris
  • Kabar Istana
  • Kabar Kabinet
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Politik
  • Seni Budaya
  • Opini
  • Lainnya
    • Artikel
    • Kabar Peristiwa
    • Pendidikan
    • Teknologi
    • Ekonomi
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Hiburan
    • Pariwisata
    • Bisnis
    • Profile
    • Pembangunan

© 2025 Kabariku.com