Oleh Marlin Dinamikanto (Aktivis Sosial)
(Tulisan ini dibuat untuk menyambut HUT Bhayangkara Polri 1 Juli 2020)
KABARIKU – Acap kali masyarakat menilai baik buruknya polisi itu dari perilaku polisi yang dilihatnya sehari-hari. Bukan dari slogan “Melayani dan Melindungi” yang tertulis di semua pos jaga kantor polisi. Kebetulan pula yang dilihatnya sehari-hari adalah polisi lalulintas (traffic police, traffic’s officer, traffic cop) yang setiap hari berada di persimpangan jalan, jalan protokol, atau sedang melakukan operasi penertiban secara rutin maupun berkala. Kalau polisi lalulintas berperilaku baik, profesional dan “tidak macam-macam” maka baik pula semua polisi yang ada di Indonesia. Dengan kata lain polisi lalulintas berada di kaca etalase yang dianggap mencerminkan semua perilaku polisi dalam penilaian masyarakat luas.
Meskipun berada di garda depan pelayanan masyarakat namun selama bertahun-tahun polisi lalulintas berada di wilayah pinggiran. Perannya dalam menertibkan lalu lintas, penegakan hukum Undang-undang Lalu lintas Angkutan Jalan, dan kewenangan lain yang terkait kelancaran mobilitas orang dan barang di jalan raya tidak terlalu dianggap penting dibandingkan dengan kinerja polisi lainnya yang langsung berhubungan dengan kejahatan. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Sebut saja dalam serial detektif, petugas polisi yang biasa terlibat dalam tim menangani kasus kejahatan akan menganggap sebagai “hukuman” apa bila dipindahtugaskan ke bagian patroli. Mungkin hanya serial televisi CHiPs yang tayang 1983 – 1985 dengan bintang Eric Estrada yang menempatkan polisi lalulintas dengan kebanggaan yang semestinya.
Kenyataan itu yang sepertinya dirasakan oleh Brigjen (Pol) Djoko Susilo saat menjabat Direktur Lalulintas (Dirlantas). Untuk melakukan pembenahan secara besar-besaran hampir tidak mungkin karena posisi Dirlantas bernaung di bawah institusi Badan Pembinaan Keamanan Polri atau disingkat Babinkam Polri yang lebih bersifat keamanan secara umum. Sedangkan pengguna lalulintas mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Selama 60 tahun terakhir hingga Joko Susilo menjabat Dirlantas, kondisi lalulintas sudah berubah secara luar biasa. Namun institusi yang bertanggung-jawab menanganinya masih belum banyak berubah.
Sebagai gambaran, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1949 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia baru mencapai 40.915 unit terdiri dari 17.626 mobil penumpang, 2756 bus, 15949 mobil barang dan 4584 sepeda motor. Namun di tahun 2009 sudah mencapai 67.336.644 unit terdiri dari 7.910.407 mobil penumpang, 2.160.973 bus, 4.984.171 mobil barang dan 52.767.093 sepeda motor. Untuk itu Joko Susilo memperjuangkan agar polisi lalu lintas sebagai institusi di tubuh kepolisian Republik Indonesia ditingkatkan perannya agar lebih tanggap dalam menghadapi perubahan zaman.
Saat memperjuangkan Dirlantantas menjadi Korlantas ada beberapa kolega di kepolisian yang menganggap hanya sebagai akal-akalan Joko Susilo untuk naik pangkat. “Kalau mau naik bintang dua kenapa tidak berjuang jadi Kapolda saja,” begitu kata sejumlah koleganya. Namun bukan sekedar pangkat yang dicari Joko Susilo, melainkan reformasi yang menyeluruh dan besar-besaran di tubuh polisi lalu lintas. Untuk itu Joko Susilo membawa gagasan National Traffic Management Center (NTMC) Polri yang mengatur lalu lintas di Indonesia. NTMC Polri mengintegrasikan sistem informasi ke lima pemangku kepentingan bidang lalu lintas (Polri, Kementerian Pekerjaan Umum, Perhubungan, Perindustrian, dan Riset Teknologi). NTMC ini menjadi point penting dalam Undang-Undang No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Sebagaimana dikutip dari Wikipedia:
NTMC Polri sendiri merupakan bagian atau subsistem dari Sistem Manajemen Teknologi Kepolisian (SIMTEKPOL). Seluruh informasi aktual tentang lalu lintas yang merupakan output dari NTMC dikumpulkan, diolah, dan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan dan dikoordinasikan sebagai bahan kendali penanganan masalah. Sebagaimana ditegaskan pada pasal 247 ayat 3 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Korps Lalu Lintas Polri adalah Pembina, Pengelola dan Penanggung jawab dari Pusat Kendali Sistem Informasi dan Komunikasi, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara Nasional. Kehadiran NTMC merupakan salah satu wujud Reformasi Birokrasi Polri dalam hal pelayanan kepada masyarakat yang memungkinkan personel Polantas dapat bekerja secara transparan, cepat dan akurat dalam merespons (quick respon) setiap permasalah yang ada di lapangan. NTMC merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran (kamseltibcar) lalu lintas. Untuk lebih mengoptimalkan diseminasi informasi lalu lintas, NTMC Polri bekerja sama dengan beberapa televisi nasional untuk ditayangkan secara siaran langsung agar menjadi panduan pengguna lalu lintas.
Dengan payung hukum UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), maka peran polisi lalu lintas bukan sekedar ornament untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Namun secara lebih spesifik diberikan tugas oleh negara – dalam hal ini Kapolri – turut menjadi bagian penting dalam Sistem Manajemen Teknologi Kepolisian (SIMTEKPOL) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari reformasi Polri yang meliputi perbaikan struktural, instrumental dan kultural yang terus berproses hingga sekarang. Sejak itu status Dirlantas ditingkatkan menjadi Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dengan payung hukum Peraturan Presiden No.52 Tahun 2010. Djoko Susilo yang memperjuangkan pendirian lembaga itu tetap diberikan peran selaku Kepala Korps Lalu Lintas Polri (Kakorlantas) yang bertanggung jawab langsung kepada Kapolri. Namun sebelum Djoko Susilo menuntaskan tugasnya membenahi lembaga yang dipimpinnya, sebagaimana banyak diberitakan, pada tahun 2012 Djoko Susilo harus menjalani proses hukum terkait korupsi simulator SIM oleh KPK. (Mungkin ini akan menjadi cerita tersendiri yang tidak cukup dituangkan dalam tulisan pendek). Namun yang jelas, Djoko Susilo memiliki peran penting berdirinya Korlantas sekaligus meningkatkan citra kepolisian secara keseluruhan.
Sejarah Polantas
Seiring dengan perkembangan zaman, Hindia Belanda sebagai negeri jajahan di kepulauan nusantara, menganggap perlu sebuah wadah untuk mengimbangi perkembangan lalu lintas yang semakin meningkat. Pada tanggal 15 Mei 1915 lahirlah organ lalu lintas yang disebut Voer Wesen, dan diperbaharui menjadi Verkeespolitie, yang artinya Polisi Lalu Lintas dalam bahasa asli Belanda. Namun peran polisi lalulintas Kembali dimandulkan pada era penjajahan Jepang. Berbagai tugas keamanan dan pengamanan – termasuk di jalan raya – diserahkan kepada Kempetai (Polisi Militer Jepang).
Setelah 10 tahun merdeka, tepatnya pada 22 September 1955, Kepala Jawatan Kepolisian Negara mengeluarkan Order No 20 / XVI / 1955 tanggal 22 September 1955, tentang Pembentukan Seksi Lalu Lintas Jalan, di bawah Kepala Kepolisian Negara. Tanggal 22 September inilah yang menjadi acuan dari ulang tahun berdirinya Polisi Lalu Lintas di Republik ini. Secara definisi, “Polisi lalu lintas atau petugas lalu lintas, [1] sering disebut bahasa sehari-hari sebagai polisi lalu lintas, adalah petugas polisi yang mengarahkan lalu lintas atau melayani di unit lalu lintas atau kepolisian jalan yang menegakkan aturan jalan. Polisi lalu lintas termasuk petugas yang berpatroli di jalan-jalan utama dan juga polisi yang menangani pelanggaran lalu lintas di jalan”
Patut pula dicatat, di belahan lain di dunia polisi lalu lintas dianggap periferial (terpinggirkan) dibandingkan dengan polisi yang lain. Karena yuridiksi polisi lalu lintas dalam penegakan hukum hanya sebatas terjadinya pelanggaran lalulintas di jalan umum. Padahal dengan kondisi jalan yang terbatas dan pertumbuhan pengguna yang terus meningkat, tugas polisi lalu lintas tidak sederhana. Selain diberikan tugas penegakan hukum, polisi lalu lintas karena membawa citra polisi secara keseluruhan mesti mampu berkomunikasi secara baik dengan masyarakat, dan mampu mendeteksi kemungkinan terjadinya kejahatan umum – atau dengan istilah lain detektif dan melakukan patrol untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan di jalan. Karena dianggap periferial maka kedudukan polisi lalu lintas dalam sejarah kepolisian di Indonesia acap kali disubordinasikan ke bidang lain yang kadang tidak berkaitan dengan lalu lintas.
Pada awal Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia dibentuk, polisi lalu lintas bergabung dalam Seksi Lalu Lintas. Bisa dibayangkan, kalau dianalogikan ke struktur birokrasi yang sekarang, Kepala Seksi itu dipimpin oleh pejabat eselon IV. Ketika itu institusi kepolisian memang sedang mencari bentuk. Setelah diinterupsi agresi Belanda pada 1946 – 1949, pengorganisasian Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lahir pada 1 Juli 1946 baru kembali bergulir paska penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia pada 29 Desember 1949. Sejak itu, pimpinan keamanan di daerah pendudukan yang dipegang personel Belanda diganti dengan kader-kader Kepolisian Indonesia. Pada 17 Agustus 1950, Jawatan Kepolisian diubah menjadi Jawatan Kepolisian Negara. Pengorganisasian terus berjalan, pada 9 Januari 1952 Kepala Kepolisian Negara (KKN) mengeluarkan perintah KKN No.6/IV?Sek 52 tentang pembentukan kesatuan-kesatuan khusus, di antaranya Polisi Perairan dan Udara dan Polantas.
Perombakan Kembali terjadi pada 23 Oktober 1959 dengan diterbitkannya Peraturan Sementara Menteri/KKN No. 2PRA/MK/1959 tentang Susunan dan Tugas Markas Besar Polisi Negara. Seksi Lalu Lintas diperluas menjadi Dinas Lalu Lintas dan Polisi Negara Urusan Kereta Api (PNUK). Namun pada 23 Nopember 1962 melalui peraturan 3M Menteri/KSK No.2PRT/KK/62, Dinas Lalu Lintas, dipisahkan dari PNUK yang masih tergabung dalam Polisi Tugas Umum. Pada 14 Februari 1964, Surat Keputusan 3M Menpangab No Pol. 11/SK/MK/64, kembali menegaskan perluasan Dinas Lalu Lintas. Statusnya diperkuat menjadi Direktorat Lalu Lintas.
Ketika kekuasaan beralih ke Orde Baru, pada 24 Agustus 1967, Presiden Soeharto menerbitkan SK Presiden No. 132/1967 yang meleburkan kepolisian ke dalam Departemen Pertahanan dan Keamanan bersama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Tentang polisi lalu lintas, baru pada 17 September 1970 diputuskan penyesuaian antara Organisasi Staf Umum dan Staf Khusus dan Badan–Badan Pelaksana Polri Bidang lalu lintas. Sementara untuk tingkat pusat, sudah dibentuk Pusat Kesatuan Operasi Lalu Lintas (Pusatop Lantasi).
Memasuki 1984, Dinas Lalu Lintas diperkecil menjadi Sub Direktorat Lalu Lintas Polri di bawah Direktorat Samapta. Meski pada 21 November 1991, dikembalikan lagi menjadi Direktorat Lalu Lintas. Ketika Polri dipisahkan dari ABRI melalui UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, kepolisian menjadi lembaga independen dengan kedudukan Kapolri langsung di bawah Presiden. Begitu juga Direktorat Lalu Lintas, institusi ini bernaung di dalam Badan Pembinaan Keamanan Polri alias Babinkam Polri. Jadi tidak bisa langsung berhubungan dengan Kapolri. Padahal kondisi lalu lintas sudah sedemikian berubah sehingga diperlukan pengorganisasian, teknologi dan sumber daya manusia yang lebih kompeten dan profesional untuk mengatasinya. Untuk itu pula Djoko Susilo memperjuangkan berdirinya Korlantas sejak 2008 dan berhasil meningkatkan status organisasi dari Dirlantas menjadi Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri berdasarkan Peraturan Presiden No.52 Tahun 2010. (*)
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post