Kemiskinan Rakyat Kita: Catatan untuk Muhammad Jumhur Hidayat

Potret kemiskinan. Bangunan ini bukan pondok di kebun untuk beristirahat sehabis mencangkul, tapi rumah keluarga miskin di Kecamatan Singajaya, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Foto diambil pada 20 Februari 2020. Kini rumah itu sudah diperbaiki dengan anggaran dari sumbangan warga dan donatur. (ISTIMEWA)

(Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle)

KABARIKU – Kamis, 5 Maret lalu, ketika diskusi “Mega Skandal Korupsi Indonesia”, di kantor Prof. Din Syamsudin, Mohammad Jumhur Hidayat mengetengahkan situasi kemiskinan kita yang sangat buruk saat ini. Dua puluh juta starving (rakyat kelaparan), 115 juta jiwa miskin dan dekat menjadi miskin (poor and near poor), fenomena masih banyaknya rakyat kurang gizi atau “stunting”, dan lain-lain, menurut Jumhur tantangan nyata. Sementara elit-elit negara sibuk korupsi.

Lalu Jumhur bertanya, “bagaimana pandangan saya (dan pemateri lainnya) atau sejauh apa sebenarnya kemiskinan ini akan terjadi?”.

Jumhur coba mengaitkan dengan pikiran Vladimir Lenin, 1917 dalam The Impending Catastrophe and How To Combat It? dan pikiran Lenin lainnya “What is to be done”.

Saya terpesona dengan pertanyaan Jumhur, yang sudah pasti menurut saya “yang bertanya mungkin lebih tahu dari yang ditanya”. Pertama, pertanyaan ini menyinggung kemiskinan dan elit-elit koruptor yang menggila.

Kedua, bagaimana melihat tantangan kemiskinan ke depan. Ketika Jumhur menyinggung buku Vladimir Lenin itu, Lenin telah memprediksi bencana kelaparan akan terjadi di Rusia. Dan memang empat tahun berselang, 1921-1922, Rusia mengalami kelaparan panjang, yang menewaskan 5 juta penduduk mereka.

Ketiga, “what is to be done”, yang Jumhur meminta adanya pandangan jalan keluar dari situasi kita ke depan.

Kemiskinan kita

Sepanjang Jokowi berkuasa, angka kemiskinan versi BPS turun satu persenan. Merujuk pada tim riset CNBC, 15/1/2020, dalam cnbcindonesian.com, era awal reformasi 1999-2004, angka kemiskinan turun 6,8%. Selama SBY 2004-2019, kemiskinan turun 5,7 persen, sedang masa Jokowi 2014 – 2019 hanya 1,04%.

Trend perlambatan penurunan angka kemiskinan dapat dimaknai pembiaran serius terhadap rakyat miskin dari masing-masing rejim. Pembiaran ini dapat diasosiasikan watak rejim yang berkuasa memang anti pada rakyat miskin ataupun pandangan lainnya, rakyat tidak mempunyai asosiasi yang kuat dalam posisi tawar menekan pemerintah agar mengarus-utamakan kepentingan orang-orang miskin (mainstreaming pro poor policy).

Jumlah kemiskinan kita secara mutlak saat ini sekitar 25 juta jiwa. Angka ini akan membengkak menjadi 115 juta jiwa jika inflasi tidak terkendali. Membengkak ini situasi yang rentan, mengapa? Karena dari garis kemiskinan kita Rp. 440.500 perkapita perbulan, 73% porsinya adalah makanan dan 10% adalah rokok. Jika terjadi kenaikan harga beras, telur dan rokok, misalnya, maka jumlah kemiskinan itu membengkak.

Yang miris sebenarnya adalah angka 20 juta jiwa kelaparan, yang dirilis Asia Development Bank, bersama Bappenas, tahun 2018.

Penyebaran rakyat kelaparan ini belum kita ketahui secara pasti. Namun, seperti dalam contoh berita Suyatmi dan Suyanti yang tinggal di kandang ayam, di Karang Anyer, Jateng (suarajawatengah.id, 6/3/2020), dipastikan tipe mereka adalah rakyat kita yang kelaparan itu. Atau juga rakyat kita yang tumbuh kerdil alias stunting, yang tersebar di beberapa daerah.

Kemiskinan kita saat ini ditenggarai sejalan dengan parahnya situasi pengangguran dan ketimpangan sosial. Parahnya pengangguran sejalan dengan kemampuan kita menciptakan lapangan kerja. Menurut Yanti Sukamdani, Kadin, 2018, kemampuan dunia usaha menciptakan lapangan kerja formal hanya 500.000 per tahun. Rizal Ramli, ekonom kenamaan, menyebutkan 1,25 juta. Tim riset CNBC. mengatakan tahun 2019 tenaga kerja formal hanya 42,7%. Namun, jika dibandingkan dengan kemunculan pencari kerja tiap tahunnya sebesar 2,5-3 juta jiwa, maka akumulasi pengangguran terus bertambah.

Kemampuan bisnis start up, khsusnya taxi online, seperti Gojek dan Grab, yang awalnya mampu secara akumulatif menciptakan lapangan kerja 2,5 juta selama 5 tahun belakangan, akhirnya mengalami kejenuhan. Ojek online bukan lagi peluang kerja yang menarik saat ini.

Dari segi ketimpangan, kekayaan yang saat ini identik dengan kekuasaan, dalam politik maupun pemerintahan, telah membuat pertumbuhan ekonomi secara proporsional semakin menguntungkan orang-orang kaya. Proporsi ini pasti lebih meningkat dibanding riset Bank Dunia beberapa tahun lalu yang memperlihatkan 50% hasil pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelitir persentase masyarakat kita.

Ketimpangan di Indonesia diperlihatkan dari struktur pemilikan rekening di bank sebagai berikut: (beritasatu.com, 28/8/19) dari jumlah uang tersimpan sebesar Rp, 5900 triliun pada Juli 2019, misalnya, dengan total pemilik rekening 291 juta, mayoritas rekening, atau 286.052.349 rekening dimiliki nasabah dengan simpanan di bawah Rp 100 juta. Porsi mereka sebesar Rp 848,67 T atau sekitar 1% saja dari Rp. 5900 T tadi. Sebaliknya, pemilik uang di atas 2-5 miliar mempunyai jumlah rekening 174.230 dengan porsi mereka Rp. 545,51 T (1%) dan pemilik di atas Rp 5 M hanya 98.947 rekening (0,03% pemilik rekening) dengan porsi mereka Rp 2.768,62 T (47%).

Sejalan dengan ketimpangan pemilikan rekening, kepemilikan tanah juga sangat timpang, di mana 2% orang menguasai hampir seluruh tanah produktif di Indonesia.

Bahkan, Oxfam, sebuah NGO terbesar di Inggris, mengatakan bahwa hanya 4 orang terkaya Indonesia, telah memiliki kekayaan setara dengan 100.000.000 orang termiskin..

Jadi, pertanyaan Mohammad Jumhur terkait “The Catastrophic on Poverty“, atau bencana kemiskinan, selalu menjadi ancaman bangsa kita, melihat kemiskinan riil, kelaparan, potensi “near poor“, pengangguran yang meluas serta kepincangan sosial kita.

Apa yang harus dilakukan?

Mohammad Jumhur Hidayat, melanjutkan pertanyaan dengan “what is to be done

Kemarin kita sudah melihat pernyataan Jokowi bahwa dia akan membuat kemiskinan di Indonesia menjadi 0%. Pernyataan Jokowi ini tentu harus mempunyai dasar. Jika Jokowi berhasil nenurunkan kemiskinan 1% plus selama 5 tahun, maka untuk menurunkan 9,4% kemiskinan yang ada, Jokowi perlu berkuasa 50 tahun.

Ini adalah kekurangan strategi penganut paham “Revolusi Mental”.

Apabila kita melihat skenario revolusi, seperti di Iran, misalkan, kemiskinan di pedesaan Iran sekitar 33% awal 80-an menjadi 4% tahun 2012-2013, kemiskinan perkotaan hampir 40% awal tahun 80-an menjadi 4% tahun 2012-2013 (sumber: Djavad Salehi-Isfahani dalam “Poverty and Income Inequality in the Islamic Republik of Iran, 2017).

Apa yang dilakukan Iran? Skenario revolusioner (bukan revolusi mental) dilakukan dengan memerangi kemiskinan via menggelontorkan berbagai sumberdaya kepada rakyat miskin, seperti gas gratis untuk rumah tangga, dan uang $45 dollar per kapita miskin)

Di Turki, Erdogan berhasil menguragi kemiskinan (inkam di bawah $4 per hari) dari 30% pada tahun 2002, menjadi 2,27% (2012) lalu menjadi 1,58% (2015). Skenario Erdogan juga seperti pemimpin populis negara lainnya, yakni fokus pada pemberantasan kemiskinan. Dan Erdogan sayang pada orang-orang miskin.

Di Brazilia, pemipin sosialis revolusioner Luiz Inacia Lula Da Silva, dengan program Bosla Familia, program transfer uang kepada 1 dari 4 orang Brazil, di samping 19 kebijakan lainnya, telah menurunkan kemiskinan dari 9 7% menjadi 4,3% selama dia berkuasa, 2003-2011. Dua belas prosen penerima subsidi berhasil keluar dari skema subsidi. Lula menjadikan kepentingan kaum buruh sebagai sentral kebijakannya selama 8 tahun.

Dari pelajaran tiga negara tersebut, terlihat bagaimana sesungguhnya menghancurkan kemiskinan itu gampang. Semuanya tergantung keberpihakan pemimpinya pada siapa? Jika berpihak pada rakyat miskin, maka pengentasan kemiskinan berjalan cepat.

Masalah di luar kemiskinan memang variatif sifatnya. Negara Islam berbeda dengan komunis atau sosialis. Kompetisi dan kepemilikan menjadi bagian penting dari ajaran Islam. Sebaliknya, ajaran komunis bertendensi merampok semua kekayaan orang kaya dan melarang pemilikan individu. Meskipun prinsip ini sudah berubah.

Dengan demikian, misalnya di Iran dan Turki meski kemiskinan turun drastis, tapi kesenjangan sosial tetap ada. Meski tentunya berbeda skala dengan Indonesia.

Untuk masalah lapangan kerja tentu perlu pembahasan strategik lebih dalam. Sebab, menentukan kadar fleksibilitas labor market dan welfare policy serta pilihan industri negara ala Indonesia, harus didesain ulang.

Namun, untuk sementara, pertanyaan Jumhur Hidayat “what is to be done” dapat dibayangkan dari contoh negara-negara di atas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan, setidaknya.

Penutup

Pertanyaan Mohammad Jumhur Hidayat, “The Catastrophic on Poverty” atau bencana kemiskinan yang sedang melanda semakin dalam, yang harus kita prediksi, kelihatannya akan segera datang.

Kenapa?

Karena kemiskinan kita saat ini berbarengan dengan situasi ekonomi memburuk, baik nasional maupun global. Apalagi korupsi trendnya meningkat terus. (Korupsi memperlihatkan kekacauan dalam mengurus negara.)

Keinginan Jokowi menjadikan kemiskinan turun jadi 0%, dengan belajar dari kemampuan Jokowi menurunkan cuma 1% plus, selama 5 tahun, maka Jokowi membutuhkan 50 tahun untuk niatnya itu.

Kemiskinan yang meluas dan akan segera datang mengiringi perlambatan ekonomi dunia saat ini, baik akibat perang dagang maupun efek virus corona, harus diantisipasi dengan berbagai terobosan besar.

Apa yang harus dilakukan?

Pemerintahan membutuhkan “shifting” alias perubahan “mindset” dari revolusi mental yang jelas jelas lambat mengatasi kemiskinan, menjadi revolusi serius, di mana semua usaha negara diarahkan untuk menolong keselamatan orang-orang miskin. (*)

Tinggalkan Balasan