Jakarta, Kabariku – Komisi III DPR RI kembali menelaah secara mendalam draf Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)i. Pembahasan ulang ini dilakukan karena ditemukan sedikitnya 27 klaster persoalan yang dinilai krusial dan perlu dikaji lebih lanjut di tingkat panitia kerja (panja).
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa puluhan isu tersebut muncul setelah lembaganya menggelar serangkaian rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan berbagai kalangan, termasuk akademisi, praktisi hukum, lembaga masyarakat sipil, dan perwakilan pemerintah.
“Setelah kita mendengar pandangan dari 93 pihak, baik individu maupun lembaga, kami menemukan banyak hal yang perlu dikaji kembali. Hari ini kita bahas satu per satu agar pembahasan RUU KUHAP ini benar-benar komprehensif,” ujar Habiburokhman dalam rapat panja bersama perwakilan pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Menurut dia, Komisi III DPR tidak hanya menyerap masukan dari pusat, tetapi juga turun langsung ke berbagai daerah untuk memastikan suara publik turut mewarnai proses penyusunan beleid tersebut.
“Kami melakukan kunjungan kerja ke sejumlah daerah, mulai dari Jawa Barat, Yogyakarta, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Jawa Timur, Gorontalo, Sumatera Barat, Lampung, hingga Banten,” kata Habiburokhman.
Selain itu, Komisi III juga menerima sebanyak 250 masukan tertulis dari berbagai elemen masyarakat selama empat bulan terakhir, terhitung sejak 8 Juli 2025. Masukan tersebut menjadi bahan evaluasi penting untuk memperkuat substansi RUU KUHAP yang sedang digodok.
27 Isu Krusial yang Dibahas
Habiburokhman mengungkapkan, 27 isu utama yang menjadi perhatian Komisi III DPR meliputi aspek fundamental dalam sistem peradilan pidana, mulai dari mekanisme penyelidikan hingga perlindungan terhadap korban dan kelompok rentan.
Beberapa isu yang disorot antara lain menyangkut pemblokiran dan pencabutan blokir, penghapusan istilah “penyidik utama”, kewenangan penuntut umum tertinggi, mekanisme keadilan restoratif, dan kewenangan penuntut umum untuk menghentikan penuntutan melalui perdamaian.
Selain itu, terdapat pula pembahasan mengenai perlindungan bagi penyandang disabilitas, kelompok rentan, serta penegasan mekanisme pengawasan dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
Isu lain yang dianggap penting meliputi mekanisme penahanan terhadap hakim yang diduga melanggar hukum, kewenangan Ketua Mahkamah Agung dalam pemberian izin penahanan di tingkat kasasi, serta pengelolaan rumah tahanan dan penyitaan hak korban.
Tak hanya itu, perluasan pra peradilan, perluasan alat bukti, penegasan pedoman pemidanaan bagi hakim, pelaksanaan pidana denda korporasi, hingga restitusi bagi korban juga menjadi bagian penting dari pembahasan.
“Seluruh poin ini kami bahas dengan sangat hati-hati karena berkaitan langsung dengan prinsip keadilan dan perlindungan hak asasi manusia,” tegas Habiburokhman.
Menuju Sistem Hukum yang Lebih Humanis
Habiburokhman menilai, pembaruan RUU KUHAP bukan hanya sekadar revisi teknis terhadap hukum acara pidana, melainkan langkah besar menuju pembaruan sistem hukum nasional yang lebih adaptif, transparan, dan berorientasi pada keadilan sosial.
“RUU KUHAP ini bukan sekadar memperbaiki tata prosedur hukum pidana, tapi juga memastikan hukum hadir dengan wajah yang lebih manusiawi,” ujarnya.
Ia menambahkan, Komisi III DPR berkomitmen untuk melibatkan publik secara luas dalam setiap tahap pembahasan agar rancangan undang-undang ini benar-benar merefleksikan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman.
“Kami tidak ingin produk hukum ini lahir dalam ruang tertutup. Semua masukan, kritik, dan pandangan publik akan kami dengar agar RUU KUHAP menjadi payung hukum yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutupnya.
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
















Discussion about this post