Jakarta, Kabariku – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mendesak Presiden menghentikan dan menarik RUU KUHAP dari agenda paripurna DPR.
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai, proses penyusunan KUHAP baru ini “penuh masalah, mengandung banyak pasal berbahaya, dan dipaksakan secara tergesa-gesa”.
Seperti diketahui, Komisi III DPR bersama pemerintah menuntaskan pembahasan tingkat I RUU KUHAP dalam waktu hanya dua hari sejak Kamis (13/11/2025).
“Kecepatan ini bukan prestasi, tapi alarm bahaya. Tidak ada urgensi untuk memaksakan pengesahan KUHAP baru tanpa kajian mendalam,” ujar Isnur. Jumat (14/11/2025).
Pembahasan Kilat, Masukan Publik Diabaikan
Menurut Isnur, Koalisi Masyarakat Sipil sejak awal memberikan masukan dalam RDPU dan melalui dokumen tertulis yang telah diserahkan langsung. Namun, tidak satu pun direspons maupun dipertimbangkan.
“Masukan kami hilang begitu saja. Ini menunjukkan sikap tidak menghargai proses partisipatif,” tegasnya.
Ia menilai DPR dan pemerintah memang sengaja mengejar target pemberlakuan KUHAP baru pada Januari 2026.
“Ini langkah ceroboh karena hukum acara pidana adalah jantung penegakan hukum,” imbuh dia.
Daftar Pasal yang Dinilai Bermasalah
Koalisi merinci sederet pasal yang dinilai membuka ruang penyalahgunaan, memperluas kewenangan aparat tanpa pengawasan hakim, dan melemahkan posisi warga di hadapan hukum. Berikut temuan lengkapnya:
1. Potensi Penjebakan oleh Aparat (Pasal 16)
RUU KUHAP memasukkan undercover buy dan controlled delivery sebagai metode penyelidikan untuk semua tindak pidana.
Isnur menegaskan, “Ini berbahaya. Aparat bisa menciptakan tindak pidana, menjebak warga, dan semua itu tanpa izin hakim”.
2. Semua Bisa Ditangkap dan Ditahan di Tahap Penyelidikan (Pasal 5)
Padahal di tahap penyelidikan belum ada kepastian bahwa tindak pidana terjadi.
“Belum tentu ada kejahatan, tapi warga sudah bisa diamankan, ditangkap, bahkan ditahan. Ini bentuk perluasan yang tidak masuk akal,” kata Isnur.
3. Penangkapan-Tahanan Tanpa Pengawasan Hakim (Pasal 90, 93)
Tidak ada mekanisme habeas corpus untuk memastikan penahanan dilakukan secara sah.
“Ini membuat ruang penyalahgunaan makin lebar. Aparat bisa menahan lebih lama, tanpa kontrol pengadilan,” jelas Isnur.
4. Geledah, Sita, Sadap, Blokir Tanpa Izin Hakim (Pasal 105, 112A, 132A, 124)
Sejumlah tindakan intrusif dapat dilakukan berdasarkan penilaian subjektif penyidik.
“Penggeledahan, penyitaan, hingga penyadapan tanpa izin hakim jelas membuka ruang kesewenang-wenangan,” tegasnya.
5. Restorative Justice Bisa Jadi Alat Pemaksaan (Pasal 74a, 78, 79)
RUU KUHAP memungkinkan kesepakatan damai dilakukan bahkan pada tahap penyelidikan.
“Bagaimana mungkin belum ada tindak pidana tapi sudah ada pelaku dan korban?” ujar Isnur.
Ia menilai ketentuan ini rawan menjadi alat pemerasan aparat di ruang gelap penyelidikan.
6. Polri Jadi Superpower, PPNS di Bawah Komando Polisi (Pasal 7, 8)
Koalisi mengingatkan bahwa konsentrasi kewenangan di Polri akan menimbulkan ketimpangan.
“Seluruh PPNS ditempatkan di bawah koordinasi Polri. Ini membuat polisi semakin dominan dan tidak sehat dalam sistem penegakan hukum,” katanya.
7. Penyandang Disabilitas Tanpa Perlindungan Memadai (Pasal 137A)
Menurut koalisi, sejumlah pasal masih bersifat ableistik. Pasal 137A bahkan berpotensi melegitimasi penghukuman tanpa batas waktu bagi penyandang disabilitas mental.
“Pasal ini membuka peluang pengurungan sewenang-wenang. Ini bentuk pelanggaran HAM berat,” ujar Isnur.
Risiko Kekacauan di Lapangan: Berlaku Tanpa Masa Transisi
RUU KUHAP direncanakan berlaku pada 2 Januari 2026 tanpa masa transisi. Padahal lebih dari 10 peraturan pemerintah pelaksana belum disiapkan.
“Ini resep kekacauan. Jutaan aparat harus menerapkan aturan baru yang belum punya panduan lengkap. Tahun pertama akan penuh masalah,” tegas Isnur.
Koalisi Layangkan Tiga Seruan ke Presiden dan DPR
Koalisi Masyarakat Sipil meminta tiga langkah konkret:
Pertama, Presiden menarik draf RUU KUHAP per 13 November 2025 untuk tidak dilanjutkan dalam pembahasan Tingkat II sidang paripurna
Kedua, Pemerintah dan DPR merombak substansi draf RUU KUHAP per 13 November 2025 dan membahas ulang arah konsep perubahan KUHAP untuk memperkuat judicial scrutiny dan mekanisme check and balances, sebagaimana usulan konsep-konsep dalam Draf Tandingan RUU KUHAP versi Masyarakat Sipil; dan
Ketiga, Pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan yang menyesatkan publik terkait pemberlakuan KUHP Baru semata-mata untuk memburu-buru pengesahan RUU KUHAP yang masih sangat bermasalah.
Isnur menegaskan bahwa RUU KUHAP yang dibahas hari ini terlalu berbahaya untuk disahkan tanpa perbaikan menyeluruh.
“Semua bisa kena, semua bisa jadi korban, semua bisa direkayasa jadi tersangka, dan semua itu terjadi karena RKUHAP dipaksakan secara tergesa-gesa,” tandasnya.***
Baca juga :
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com



















Discussion about this post