Penulis :
Appe Hutauruk,
Dosen Universitas MPU Tantular, Advokat, dan Konsultan Hukum
Kabariku – Kejahatan kini tidak lagi beroperasi di ruang gelap. Ia tampil terang-terangan, bahkan seolah sah dan berdaulat. Dalam banyak kasus, kejahatan bukan hanya melawan hukum, tetapi memengaruhi kebijakan, menentukan arah kekuasaan, dan menantang legitimasi negara.
Ketika hukum kehilangan keberanian untuk menegakkan keadilan, yang terjadi bukanlah ketertiban, melainkan kompromi. Pertanyaan yang mendesak hari ini bukan lagi siapa yang melanggar hukum, melainkan apakah hukum masih berani menegakkan keadilan secara objektif.
Kebijakan Pidana sebagai Cerminan Kemauan Politik
Kebijakan pidana adalah cerminan nyata dari kemauan politik negara dalam menjaga ketertiban dan menjamin keadilan. Ia bukan sekadar produk legislasi, melainkan bagian integral dari politik hukum yang menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap perlindungan masyarakat.
Roeslan Saleh menegaskan bahwa terdapat dua poros utama dalam hukum pidana: prevensi dan pembalasan. Prevensi memposisikan hukum sebagai alat pencegahan kejahatan demi kelestarian hidup bersama, sementara pembalasan berfungsi sebagai koreksi terhadap perilaku yang melanggar norma hukum.
Pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 menjadi contoh pergeseran dari pendekatan retributif menuju pendekatan restoratif.
Diakomodasinya pidana pengawasan sebagai alternatif pidana penjara merupakan langkah progresif yang membuka ruang bagi pemulihan sosial yang lebih manusiawi. Namun, substansi regulasi tidak akan berdampak signifikan tanpa keberanian dalam pelaksanaan.
Ketika hukum dijalankan secara tidak konsisten, atau dimanipulasi demi kepentingan politik dan ekonomi, maka keadilan hanya menjadi slogan kosong.
Dalam praktiknya, hukum masih sering digunakan sebagai alat kriminalisasi terhadap kelompok tertentu atau sebagai legitimasi bagi proyek-proyek yang sarat ambisi tersembunyi.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Roeslan Saleh, kejahatan adalah masalah sosial yang telah lama ada dan terus berkembang.
Oleh karena itu, kebijakan pidana harus diformulasikan sebagai kebijakan publik yang menyeluruh, guna memperkuat sistem hukum yang berpihak pada perlindungan masyarakat dan nilai-nilai keadilan.
Kejahatan Berdaulat dan Budaya Transisi
Fenomena kejahatan berdaulat tumbuh dalam situasi budaya transisi, ketika nilai-nilai lama dan baru saling bertabrakan dan menciptakan ruang bagi penyimpangan. Dalam kondisi semacam ini, kejahatan tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menantang legitimasi hukum itu sendiri.
Kamus Lexicon Webster Dictionary mendefinisikan “sovereign” sebagai bebas dari pengaruh luar dan mampu menimbulkan dampak besar. Artinya, kejahatan berdaulat adalah kejahatan yang mengendalikan ruang publik, memengaruhi kebijakan, dan bahkan membungkam hukum.
Mark Findlay menggunakan istilah culture in transition untuk menjelaskan bagaimana globalisasi melemahkan struktur sosial yang selama ini menopang kontrol hukum.
Sementara Tb. Ronny Rahman Nitibaskara mengaitkan kejahatan berdaulat dengan tekanan penyimpangan sosial dalam masyarakat transisi. Meski pendekatan keduanya berbeda, keduanya sepakat bahwa kejahatan berdaulat tumbuh dalam kekosongan kontrol sosial dan hukum.
Dalam konteks Indonesia, budaya transisi membuka celah bagi proyek pembangunan yang merusak lingkungan, kebijakan yang mengabaikan hak masyarakat, dan korupsi yang dilegitimasi oleh struktur kekuasaan.
Ketika negara gagal menjangkau pelanggaran hukum oleh aktor-aktor kuat, kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan terkikis.
Untuk merespons hal ini, pemerintah perlu menerapkan kebijakan pidana yang tegas dan tidak kompromistis. Hukum harus kembali menegaskan fungsinya sebagai pelindung publik, bukan sebagai instrumen kekuasaan.
Fakta yang Tidak Bisa Diabaikan
Berbagai data menunjukkan bahwa kejahatan berdaulat bukan sekadar teori akademik, melainkan kenyataan yang menggerogoti sistem hukum dan demokrasi.
Transparency International mencatat bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2024 berada di angka 37, menempatkan Indonesia pada peringkat 99 dari 180 negara. Angka ini mencerminkan lemahnya integritas dan efektivitas penegakan hukum.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam Catatan Akhir Tahun 2024 mencatat lebih dari dua ribu kasus dugaan pelanggaran HAM. Sebagian besar aduan ditujukan kepada institusi kepolisian, pemerintah daerah, dan korporasi.
Komnas HAM juga menyoroti lemahnya penanganan konflik agraria, kekerasan aparat, serta kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia.
Indonesia Corruption Watch dalam laporan tahunannya mengungkap bahwa penegakan hukum terhadap korupsi masih timpang.
Banyak kasus yang melibatkan elite politik atau pejabat tinggi tidak ditindak secara tegas, sementara pelaku korupsi skala kecil lebih mudah dijerat.
Intervensi politik dan kepentingan ekonomi menjadi penghalang utama dalam proses hukum yang adil.
Ketika hukum tidak lagi tegak lurus terhadap semua pelanggaran, negara hukum berisiko berubah menjadi negara kompromi.
Hukum Harus Berani, Bukan Tunduk
Di tengah kompleksitas tantangan penegakan hukum saat ini, hukum pidana di Indonesia harus berdiri tegak sebagai penjaga keadilan, bukan sebagai alat kekuasaan.
Keberanian hukum tidak diukur dari kerasnya hukuman, melainkan dari kemampuannya menolak menjadi instrumen pembenaran bagi kekuasaan yang menyimpang.
Kebijakan pidana harus dibangun di atas keberanian politik, integritas moral, dan komitmen terhadap keadilan substantif.
Roeslan Saleh menekankan bahwa kebijakan pidana harus diformulasikan secara sungguh-sungguh sebagai bagian dari politik hukum negara yang menyatu dengan cita-cita perlindungan masyarakat.
Regulasi seperti KUHP, KUHAP, dan tindakan aparat penegak hukum harus menunjukkan konsistensi terhadap prinsip legalitas dan keadilan.
Pemerintah tidak boleh lagi bermain-main dalam menjalankan hukum dengan karakter ambigu.
Penegakan hukum harus bebas dari intervensi kekuasaan dan tidak boleh digunakan untuk membungkam suara berbeda atau melegalisasi proyek-proyek yang sarat kepentingan.
Jika praktik manipulasi hukum terus dibiarkan, bangsa ini hanya akan mewarisi sistem hukum yang rapuh, penuh kompromi, dan kehilangan legitimasi. Untuk mencegah kehancuran prinsip negara hukum, kebijakan pidana harus diarahkan untuk membangun sistem yang adil dan berpihak pada rakyat.
Negara harus menjadikan hukum sebagai fondasi moral dan politik dalam melindungi seluruh warga negara.
Masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh banyaknya peraturan yang ditetapkan, tetapi oleh keberanian menegakkan hukum secara objektif dan adil.
Ketika kejahatan tampil berdaulat, hukum tidak boleh ragu. Ia harus menjadi kekuatan yang berani menghadapi ketidakadilan dan menjadi benteng terakhir bagi rakyat yang tidak memiliki kuasa.***
Jakarta, 2 Oktober 2025
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post