oleh:
Hasanuddin
Direktur IRC for Reform
Kabariku – Pasca tidak lagi menjabat, sosok Jenderal (Purn) Budi Gunawan memilih diam. Tidak membuat pernyataan politik, tidak pula menampakkan gestur publik yang menimbulkan tafsir.
Diamnya bukan tanda kehilangan pengaruh, melainkan bentuk kedewasaan dan ketenangan seorang negarawan.
Ia menunjukkan bahwa kekuasaan sejati tidak selalu ditandai dengan jabatan dan sorotan, melainkan oleh kendali atas penghormatan pada situasi negara.
Mantan pejabat semestinya belajar dari sikap itu. Bahwa ketika jabatan telah berakhir, pengabdian tidak berhenti-tetapi berubah bentuk menjaga stabilitas dan wibawa pemerintahan, bukan sebaliknya, setelah berhenti, malah sibuk kiritik kanan kiri atau membuat kegaduhan yang tak diperlukan.
Budi Gunawan memahami batas antara pribadi dan institusi, antara pengaruh dan tanggung jawab.
Demikian pula, andai saja, disituasi krisis Agustus tersebut, Budi Gunawan mundur bukan karena tekanan, melainkan karena pilihan sadar untuk meredakan ketegangan politik dan keamanan, (yang kemudian digantikan Menteri Polkam baru) sehingga perannya sebagai Menpolkam diambil alih oleh Menhan saat itu; karena situasional terbaik.
Menariknya, kemunculan Jenderal. (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Menteri Pertahanan di tengah situasi itu justru membawa efek menenangkan bagi stabilitas kamtibmas.
Meskipun isu keamanan dan ketertiban sejatinya bukan wewenang langsung Kementerian Pertahanan, kehadirannya membangun soliditas POLRI-TNI untuk berkerja bersama dan bersama-sama bekerja mengamankan situasi.
Dalam kondisi politik yang sensitif, tampilnya figur militer senior seperti Sjafrie menjadi pesan kuat bahwa negara hadir dan situasi terkendali.
Memang, sempat muncul rumor dan isu tentang “darurat sipil” atau bahkan “darurat militer”. Namun situasi itu akhirnya reda karena kedua tokoh-Budi Gunawan dan Sjafrie Sjamsoeddin-menunjukkan sikap kenegarawanan: satu dengan diam yang menenangkan, satu dengan tampil yang menyejukkan.
Dalam dunia politik yang sering gaduh, keduanya menghadirkan keseimbangan baru: kekuasaan tidak harus selalu terlihat, dan ketegasan tidak selalu berarti keras.
Dari mereka, publik belajar bahwa menjaga negara tidak selalu dengan bicara, kadang justru dengan tahu kapan harus diam.
Kini, setelah “krisis agustus”, muncul gagasan “Reformasi Polri”; yang ditunggu banyak pihak.***
Jakarta, Senin, 27 Oktober 2025
#tegakmerahputih
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com


















Discussion about this post