Jakarta, Kabariku – Alih-alih menutup lembaran, abolisi yang diberikan Presiden Prabowo Subianto justru membuka babak baru dalam perjalanan hukum Thomas Trikasih Lembong. Mantan Menteri Perdagangan yang akrab disapa Tom Lembong itu kini melangkah ke arah yang tak lazim: menggunakan kebebasannya untuk menguji balik sistem yang pernah memenjarakannya.
Tom Lembong sebelumnya dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi impor gula. Ia dianggap merugikan keuangan negara berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyebut angka fantastis: Rp578,1 miliar.
Namun setelah resmi menerima abolisi, Tom tak tinggal diam. Ia dan tim hukumnya melaporkan tiga hakim Pengadilan Tipikor Jakarta ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Ketiga hakim yang dilaporkan Tom Lembong tersebut adalah Dennie Arsan Fatrika, Purwanto S Abdullah, dan Alfis Setyawan.
Pihak Tom Lembong menyebut ketiga hakim itu melakukan pelanggaran kode etik dan ketidakprofesionalan selama proses persidangan.
Langkah serupa juga diarahkan ke tim auditor BPKP yang menangani kasusnya. Audit yang dijadikan dasar pemidanaan itu kini tengah dipersoalkan ke internal BPKP dan Ombudsman RI.
Tim auditor yang diketuai Husnul Khotimah itu dituding menyusun laporan yang cacat secara metodologis dan berpotensi menyesatkan putusan hukum.
Mendorong Koreksi, Bukan Balas Dendam
Zaid Mushafi, pengacara Tom Lembong, menegaskan bahwa laporan ini bukan untuk menjatuhkan personal.
“Tujuan kami adalah mendorong koreksi terhadap sistem. Bukan soal balas dendam, ini soal tanggung jawab publik agar kesalahan yang sama tidak terulang,” ujarnya dikutip Selasa (5/8).
Semangat itu juga digaungkan langsung oleh Tom Lembong. Menurutnya, abolisi bukan berarti segala persoalan hukum selesai. Justru dari titik inilah ia merasa perlu berbicara—bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk sistem yang lebih adil ke depan.
“Saya tidak dalam semangat dendam,” ujar Tom.
“Saya ingin memastikan bahwa mekanisme pemeriksaan pengadilan dan audit dilakukan dengan standar profesional yang adil. Karena siapapun bisa saja mengalami apa yang saya alami.”
Langkah Tom membuka diskusi yang lebih besar: sejauh mana audit keuangan negara bisa diuji objektivitasnya, terutama ketika dijadikan dasar pemidanaan?
Selama ini, audit lembaga negara kerap dianggap mutlak dan tak terbantahkan di pengadilan. Kini, narasi itu mulai ditantang.
Di sisi lain, pelaporan terhadap hakim menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap perilaku pengadil. Bahwa vonis bukan hanya soal tafsir hukum, tapi juga etika dan integritas dalam memproses fakta.
Tom Lembong, dengan segala privilese dan visibilitasnya, memang punya ruang untuk bersuara. Tapi pertanyaannya kemudian: bagaimana nasib orang-orang tanpa nama besar, yang mungkin menghadapi sistem hukum dan audit yang sama—tanpa perlindungan, tanpa sorotan, tanpa abolisi?***
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post