Garut, Kabariku- Penggiat Kajian Politik PP Santri Pasundan, Asep Lukman yang akrab disapa Asluk mengaku tertarik memperhatikan konstalasi politik di Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) serentak tahun 2024 ini.
“Sebagai aktivis yang berasal dari daerah saya memiliki ketertarikan memperhatikan konstalasi politik di Pemilukada serentak tahun 2024 ini, lebih khususnya di tempat kelahiran saya sendiri yaitu kabupaten Garut Jawa Barat,” kata Asluk. Jum’at (20/09/2024).
Berawal dari viralnya pemberitaan di sosial media tentang adanya dugaan pelanggaraan dari aparat desa yang melibatkan Kepala Desa dan penggunaan fasilitas desa demi mensukseskan salah satu pasangan calon bupati Garut, hingga memicu berbagai kecaman dari banyak pihak.
Bahkan, Asluk menyebut, ada yang meminta pemecatan bagi yang terlibat, beberapa pihak yang ingin melaporkan kejadian tersebut sebagai kegitan yang diduga tindak pidana seperti yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, “bahwa pelaksana tim kampanye dalam kegiatan kampanye peserta Pemilu dilarang mengikutsertakan kepala desa, perangkat desa, termasuk anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)”.
“Menilik kejadian diatas saya menimbang isu tersebut dalam sundut pandang yang berbeda. Jika kejadian tersebut memang benar adanya, maka dugaan saya mungkin lebih karena kelalain oknum tertentu saja,” ungkapnya.
“Artinya, tidak boleh digenalisir dan diabstraksikan secara emosional sebagai suatu pelanggaran yang masif dan terstruktur,” tambah Asluk.
Menurut penilainnya, Asluk menjelaskan, bahwa para Kepala Desa, perangkat desa dan asosiasinya bukan personal-personal yang tidak tahu aturan demikian.
“Mereka adalah individu terdidik bahkan lebih dari itu adalah tokoh-tokoh yang menjadi panutan bagi masyarkatnya. Dan sekali lagi, jika insiden itu ternyata benar adanya, sejauh ini saya masih menggap semua yang terlibat sangat mungkin menyesalinya dan saya berharap mereka tidak kembali mengulangi perbuatannya,” bebernya.
Karena, lanjut dia, katagorinya akan dicitrai “pemaksaan kehendak” jika ada oknum yang tega menggunakan Kepala Desa dan aparat desa sebagai alat kampanye dengan risiko sangsi pidana dan segaligus mencoreng nilai indepedensi desa hingga berpotensi menyulut konflik antra kepala desa dengan masyarakatnya sendiri.
“Tentu semua orang boleh berpraduga selama ada dasarnya. Namun kali ini saya yakin bahwa tidak ada satupun calon Bupati atau Wakil Bupati yang memilki niat jika mereka menang ingin menyengsarakan rakyatnya, semua calon pemimpin di negeri ini tak terkecuali calon bupati dan wakil bupati Garut sendiri akan senantiasa memilki visi yang baik,” terang Asluk.
Kendati demikian demi meraih kesempatan menang dalam kontestasi itu tentu harus diperjuangkan dengan segenap tenaga dan upaya.
“Namun para calon sangat menyadari sekalipun diperistilahkan “perebutan kursi kekuasan” tapi sama sekali tidak bisa persamakan semisal perebutan lahan teroterial antara hewan buas di hutan belantara,” tukasnya.
Asluk menegaskan, kekuasaan yang diperoleh harus total diambil dengan jalan yang konstitusional, bukan melalui cara memaksa, mengintimidasi serta membuat janji-janji manipulatif.
Sebagai manusia yang memiliki akal dan rasa semua calon pasti sangat ingin melakukan cara-cara sportif yang logis dan realistis dalam meraih kemenangan, agar apa yang mereka lakukan mendapat balasan simpati masyarakatnya hingga terpilih secara legitimit.
Sebaliknya, bagi mereka yang terpaksa memilih cara-cara tidak etis dalam mendapat kemenangan maka cepat atau lambat akan mendapat “karma” rasa anti pati dari masyarakat pemilihnya.
“Blunder diatas merupakan “kaosalitas” yang tercatat kuat secara alamiah yang pasti akan menimpa tanpa pandang bulu bagi siapapun yang mencoba melakukanya,” tandasnya.***
Red/K.101