• Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
Rabu, Juli 2, 2025
Kabariku
Advertisement
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra
Tidak ada hasil
View All Result
Kabariku
Tidak ada hasil
View All Result
  • Beranda
  • Berita
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
Home Berita

Tafsir Serampangan, Inkonsistensi Logika, dan Konflik Kepentingan MK Dalam Putusan No.90/PUU-XXI/2023

Redaksi oleh Redaksi
17 Oktober 2023
di Berita, Kabar Terkini
A A
0
Gambar dok KontraS

Gambar dok KontraS

ShareSendShare ShareShare

Pernyataan Sikap Perludem, ICW, Netgrit, Pusako dan KontraS Terhadap Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023

Jakarta, 17 Oktober 2023

Jakarta, Kabariku- Pada Senin, 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan sebelas putusan pengujian undang-undang sekaligus. Beberapa putusan yang dibacakan tersebut, berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas ketentuan Pasal 169 huruf q. UU 7/2017 tentang Pemilu, yang memberikan batasan usia 40 tahun kepada Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden.

Salah satunya adalah Perkara No. 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh pemohon PSI dkk. Dalam permohonan ini, para Pemohon meminta agar syarat usia dikembalikan menjadi 35 Tahun seperti yang diatur dalam UU Pilpres sebelumnya. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q. tersebut diskrimintatif, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan original intent pembentukan UUD 1945.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Selain itu, terdapat permohonan dari Partai Garuda pada Perkara No. 51/PUU-XXI/2023 yang mendalilkan alasan yang sama. Dalam permohonan ini, Pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni “pernah menjadi penyelenggara negara” untuk dapat menyimpangi batas usia minimal 40 tahun.

RelatedPosts

Gemira Dukung Penuh Pengesahan RUU Perampasan Aset, Jalan Keadilan untuk Rakyat

UGM Berduka, Dua Mahasiswa KKN Tewas di Maluku Tenggara, Ini Unggahannya

Penjelasan Soal ODOL dan Akar Masalah Demo Sopir Truk di  Kemenhub Hari Ini

Semuanya ditolak oleh MK. Namun, yang menggemparkan justru Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Perkara yang meminta agar syarat usia 40 tahun bagi Capres dan Cawapres dapat dikesampingkan, jika pernah menjabat sebagai kepala daerah. Secara serampangan dan penuh dengan inkonsistensi, Mahkamah mengabulkan permohonan ini.

Persoalan Legal Standing

Legal Standing pemohon sangat lemah, namun dikabulkan oleh MK. Pemohon yang merupakan mahasiswa, hanya menyandarkan kedudukan hukum pada keinginan pemohon menjadi presiden dan terinspirasi pada Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming. Keterangan legal standing Pemohon juga hanya dimuat dalam 3 halaman saja.

Pemohon tidak menjelaskan kerugian konstitusional yang jelas. Basis kerugiannya hanya dilandaskan pada kekaguman Pemohon kepada Gibran Rakabuming sebagai Walikota Solo, yang tidak bisa menjadi Capres/Cawapres akibat keberlakuan ketentuan Pasal 169 huruf q. UU Pemilu.

Dalil tersebut tentu tidak memiliki hubungan langsung dengan Pemohon. Bila permohonan ini diajukan oleh Gibran, kerugian konstitusionalnya jelas karena dialami secara langsung sebagai pemohon.

Baca Juga  Terkait Penempatan Brigjen Pol Endar, SIAGA 98 Menduga Kapolri Mendapat Masukan Keliru dari Bawahan

Penjelasan soal kerugian konstitusional juga tidak menyentuh petitum tentang syarat alternatif terkait pejabat terpilih atau elected official yang diajukan pemohon.

Artinya, kerugian tidak terkoneksi dengan petitum dan alasan permohonan, sehingga legal standing-nya menjadi lemah. Namun, MK yang biasanya ketat dalam memeriksa legal standing, justru seolah melunak dengan menerima kedudukan hukum pemohon.

Hal ini tentu inkonsisten dengan Putusan MK No. 006/PUU-III/2005, yang menegaskan kerugian konstitusional harus dialami langsung, serta bersifat spesifik dan aktual.

Pemohon bukanlah orang yang sudah berusia cukup untuk menjadi calon Kepala Daerah. Ia juga bukan seorang Kepala Daerah, anggota legislatif, bahkan untuk jadi calon pun tidak. Tapi MK dengan mudah memberi jalan lapang baginya untuk memenuhi syarat jadi pemohon. Sungguh pertimbangan yang sangat memalukan dan melecehkan akal sehat.

Tentang Open Legal Policy

Sebelum memutus permohonan No. No.90/PUU-XXI/2023, MK menegaskan ketentuan batas usia Capres dan Cawapres merupakan open legal policy. MK kembali mengutip beberapa putusan terdahulu tentang ketentuan syarat usia dalam jabatan publik.

Dalam beberapa putusan tersebut, MK menyatakan bahwa UUD 1945 memberikan keleluasaan kepada para pembentuk undang-undang untuk menentukan syarat batas usia minimum dalam undang-undang yang mengaturnya.

Namun, di hari yang sama, MK langsung mengubah pendiriannya. Hal ini terlihat dalam Perkara No. 90/PUU-XXI/2023, dimana pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni ”pernah /sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk Pilkada”.

Dalam perkara ini, Makamah mempersoalkan kembali konsep open legal policy yang sebelumnya diterapkan pada Putusan No. 29/PUU-XXI/2023. MK secara sporadis mengesampingkan open legal policy untuk menilai dalil yang sama dengan putusan tersebut, dengan alasan menghindari judicial avoidance.

Lebih parahnya, MK menyatakan bahwa Presiden dan DPR telah menyerahkan sepenuhnya penentuan batas usia dalam Pasal 169 huruf q. UU Pemilu, dengan mengutip fakta persidangan dalam Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, Perkara No. 50/ PUU-XXI/2023 dan Perkara No. 51/ PUU-XXI/2023.

Padahal, fakta persidangan tersebut sudah diabaikan MK ketika memutus ketiga perkara di atas.

Inkonsistensi dalam Menilai Dalil

Sikap tentang open legal policy, mempertontonkan inkonsistensi MK dalam memutus suatu perkara. Hal ini juga terlihat pada komparasi batas usia minimal calon presiden di berbagai negara, dengan kesimpulan bahwa kepala negara yang berusia 40 tahun dapat menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu.

Baca Juga  Dari Sidang MK, Jumhur Hidayat: MK Harus Hentikan Petualangan Presiden

Konyolnya, komparasi ini sebelumnya digunakan oleh Pemohon dalam Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, yang dalilnya ditolak oleh MK.

Keserampangan penafsiran juga terlihat ketika MK menyebutkan batas usia minimal 40 tahun bagi Capres dan Cawapres adalah perlakuan yang tidak proporsional dan intolerable. Hal ini persis dengan dalil pemohon pada Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, yang mendapatkan perlakuan berbeda, walapun pengucapan putusannya dilakukan pada hari yang sama.

Inkonsistensi juga terlihat dari perbedaan petitum yang dimintakan pemohon, dengan petitum yang dibuat sendiri oleh MK. Pemohon sendiri meminta syarat alternatif usia berupa “….Berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”. Namun, MK membuat sendiri amar putusannya dengan nomenklatur,…. Pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan Kepala Daerah”, tanpa legal reasoning yang jelas dan seolah hanya untuk memperbaiki permohonan yang cacat secara substansi.

Sungguh sikap lembaga peradilan yang sangat memalukan. Sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman, Hakim MK yang memilih mengabulkan permohonan ini, mestinya punya sedikit kesadaran, bahwa apa yang mereka putus akan mengandung cacat akademik sepanjang masa.

Mengetatkan Syarat bagi Elected Official

Logika umum mengetatkan syarat elected official juga hilang dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Logika ini merujuk pada Putusan MK No. 56/PUU-XVII/2019, yang menjadi landmark putusan MK terkait persyaratan pejabat yang dipilih melalui Pemilu (elected official).

MK memiliki logika, syarat yang ketat harus dihadirkan bagi elected official untuk mencegah demokrasi kearah mobocracy atau pemerintahan masa yang berdasarkan populisme semata. MK menegaskan seseorang harus melewati kualifikasi yang ketat agar layak dikontestasikan dan ujungnya ditentukan oleh pemilih.

Anehnya, dalam Perkara No. 90/PUU-XXI/2023, MK justru menggunakan logika yang berlawanan. Logika yang digunakan adalah “to give opportunity and abolish restriction” atau singkatnya menghilangkan pembatasan. Sayangnya, perubahan pendirian Mahkamah dilalui tanpa penjelasan yang kuat.

Fakta dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)

Inkonsistensi Mahkamah juga diakui oleh Hakim Konstitusi, YM Prof. Saldi Isra, dalam keterangan dissenting opinion yang ia sebut sebagai peristiwa “aneh” yang “luar biasa”.

Sebab, dalam Putusan No. 29-51-55/PUU-XXI/2023, Mahkamah secara eksplisit menegaskan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q. UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Namun, sikap ini dapat berubah hanya dalam hitungan hitungan dengan alasan yang tak masuk akal.

Baca Juga  Koalisi Masyarakat Sipil Minta Usut Tuntas Putusan Ringan Mahkamah Agung Terhadap Pelaku Tragedi Kanjuruhan

Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan, pada RPH Putusan No. 29-51-55/PUU-XXI/2023, dihadiri oleh seluruh Hakim MK kecuali Ketua MK, Anwar Usman.

Hasilnya para hakim bersepakat untuk menolak permohonan ini, dengan dua hakim yang memilih dissenting opinion. Namun, pada Perkara No.

90-91/PUU-XXI/2023, Ketua MK hadir dalam RPH dan beberapa hakim tiba-tiba bersikap mendukung model alternatif yang dimohonkan pemohon.

Anehnya, permohonan ini telah mengalami persoalan formil, ketika para pemohon sempat menarik permohonannya dan kembali membatalkan niatnya, sehingga mengirimkan surat pembatalan penarikan.

Perilaku pemohon yang telah tampak mempermainkan kehormatan Mahkamah, justru lanjut diproses dan dipertimbangkan dengan mendalam.

Konflik Kepentingan

Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak mendapatkan suara bulat. Bahkan, putusan ini bisa menunjukkan betapa diametralnya posisi hakim. Lima orang hakim yang mengabulkan (2 dengan alasan berbeda-concurring opinion), menunjukkan kuatnya dugaan konflik kepentingan di dalam perkara.

Bahkan, putusan MK yang menunjukkan posisi hakim diametral ini sudah dibincangkan publik sepekan terakhir. Dari siapa bocoran putusan ini didapat? Ini menjadi soal serius yang mesti tidak boleh dilupakan begitu saja.

Disamping itu, konflik kepentingan juga terlihat dari hubungan keluarga Ketua MK, Anwar Usman, dengan Gibran Rakabuming, yang disebut sebagai inspirasi dalam mengajukan permohonan.

Anwar Usman tentu tidak etis dan bertentangan dengan hukum, terutama pada Pasal 17 (5) UU 48/2009. Dalam ketentuan pasal tersebut, wajib mengundurkan diri dari persidangan bila memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap perkara.

Empat orang hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat) sepertinya juga tidak percaya lima orang hakim konstitusi lainnya mengabulkan ini.

Sekali lagi, putusan ini akan dicatat sejarah, sebagai salah satu putusan terburuk sepanjang keberadaan MK. Bahkan, putusan ini adalah putusan yang penuh dengan konflik kepentingan, yang sukar untuk dibantah. Seberapa kuat pun presiden dan keluarganya coba membantah.***

Pernyataan sikap ini disampaikan Hadar Nafis Gumay (Netgrit); Kurnia Ramadhana (ICW); Kahfi Adlan Hafiz (Perludem); Haykal (Pusako); dan Dimas Bagus Arya (KontraS).

Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com

Tags: icwKontraSmahkamah konstitusiNetgritPernyataan Sikap PerludemPusakoPutusan MKUji materi batas usia capres cawapres
ShareSendShareSharePinTweet
ADVERTISEMENT
Post Sebelumnya

KPK Periksa Adc, Sespri Hingga Stafsus SYL sebagai Saksi Kasus Korupsi Kementan RI

Post Selanjutnya

Data dan Fakta Terbaru: Angka Kemiskinan Kabupaten Garut Kembali ke Satu Digit di Angka 9.77%

RelatedPosts

Gemira Dukung Penuh Pengesahan RUU Perampasan Aset, Jalan Keadilan untuk Rakyat

2 Juli 2025
Universitas Gadjah Mada menayangkan gambar kampus dalam suasana temaram dan hening sebagai simbol suasana duka atas meninggalnya dua mahasiswa KKN di Maluku Tenggara/UGM

UGM Berduka, Dua Mahasiswa KKN Tewas di Maluku Tenggara, Ini Unggahannya

2 Juli 2025
Ilustrasi, demo sopir truk

Penjelasan Soal ODOL dan Akar Masalah Demo Sopir Truk di  Kemenhub Hari Ini

2 Juli 2025
Irjen Pol Dadang Hartanto

Mengenal Sosok Irjen Pol Dadang yang Diminta Menghadap Prabowo Usai Pimpin Upacara Bhayangkara

2 Juli 2025

Sekolah Rakyat Gunakan AI untuk Pemetaan Talenta Siswa, Mulai Beroperasi 14 Juli

1 Juli 2025

HUT Bhayangkara ke-79 Digelar di Monas, Sederet Jalan Ini Akan Ditutup 1 Juli 2025 Mulai Pagi

30 Juni 2025
Post Selanjutnya

Data dan Fakta Terbaru: Angka Kemiskinan Kabupaten Garut Kembali ke Satu Digit di Angka 9.77%

Sarikat Tani dan Nelayan Desak Presiden Jokowi Selesaikan Konflik Lahan Sawit Kumpeh Muaro Jambi

Discussion about this post

KabarTerbaru

Kejaksaan Agung

Kejagung Kembali Sita Uang Rp1,3 Triliun dari Kasus Ekspor CPO

2 Juli 2025
Presiden Prabowo Luncurkan Satuan Pemenuhan Gizi Polri Rangkaian Acara peringatan Hari Bhayangkara ke-79 di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, pada Selasa (1/7/2025)

Presiden Prabowo Resmi Luncurkan SPPG Polri: Strategi Perbaikan Gizi Nasional

2 Juli 2025

Gemira Dukung Penuh Pengesahan RUU Perampasan Aset, Jalan Keadilan untuk Rakyat

2 Juli 2025
Universitas Gadjah Mada menayangkan gambar kampus dalam suasana temaram dan hening sebagai simbol suasana duka atas meninggalnya dua mahasiswa KKN di Maluku Tenggara/UGM

UGM Berduka, Dua Mahasiswa KKN Tewas di Maluku Tenggara, Ini Unggahannya

2 Juli 2025
Ilustrasi, demo sopir truk

Penjelasan Soal ODOL dan Akar Masalah Demo Sopir Truk di  Kemenhub Hari Ini

2 Juli 2025
Irjen Pol Dadang Hartanto

Mengenal Sosok Irjen Pol Dadang yang Diminta Menghadap Prabowo Usai Pimpin Upacara Bhayangkara

2 Juli 2025

DNIKS Dukung Porturin Sukseskan Ajang Olahraga Tunarungu Asia Tenggara 2025 di Jakarta

1 Juli 2025

Koruptor Berlari, Hukum Tertatih

1 Juli 2025

Eks Sekretaris MA Nurhadi Kembali Ditangkap KPK Terkait TPPU

1 Juli 2025

Kabar Terpopuler

  • Bu Guru Salsa yang viral, kini bahagia menjadi istri seorang PNS

    Bu Guru Salsa yang Viral karena Video Syur, Kini Bahagia Dinikahi Duda PNS

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Viral Pasien BPJS Meninggal Dunia di RSUD Cibabat, Diduga Lambatnya Penanganan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • HUT Bhayangkara ke-79 Digelar di Monas, Sederet Jalan Ini Akan Ditutup 1 Juli 2025 Mulai Pagi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pelantikan KADIN Garut Periode 2025-2030: Momentum Etika Hukum Memimpin Ekonomi Lokal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Longsor di Cilawu, Lalu Lintas Garut-Tasik via Singaparna Dialihkan ke Jalur Malangbong

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saksi Sejarah dari Bandung: Seruan Melawan Lupa dan Penuntasan Tragedi Kemanusiaan Mei 1998

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • DNIKS Dukung Porturin Sukseskan Ajang Olahraga Tunarungu Asia Tenggara 2025 di Jakarta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
[sbtt-tiktok feed=1]
Kabariku

Kabariku adalah media online yang menyajikan berita-berita dan informasi yang beragam serta mendalam. Kabariku hadir memberi manfaat lebih

  • Redaksi
  • Kode Etik
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy

© 2024 Kabariku - partner by Sorot Merah Putih.

Tidak ada hasil
View All Result
  • Beranda
  • Berita
    • Nasional
    • Daerah
  • Kabar Presiden
  • Kabar Pemilu
  • Dwi Warna
  • Hukum
  • Ekonomi
  • Politik
  • Hiburan
  • Teknologi
  • Opini
    • Artikel
    • Edukasi
    • Profile
    • Sastra

© 2024 Kabariku - partner by Sorot Merah Putih.