Australia, Kabariku- Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Deny Indrayana menyoroti Peraturan Pengganti (Perpu) UU Ciptakerja yang pada Selasa 21 Maret 2023 lalu disyahkan DPR RI.
Menurut Denny yang merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara, penerbitan Perppu Ciptaker sendiri, sudah cacat sejak kelahirannya. Di samping tidak bisa menghadirkan argumentasi yang kokoh atas syarat konstitusional “kegentingan yang memaksa”, DPR akhirnya tidak memberikan persetujuan sebagaimana diatur dalam konstitusi.
“Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 mensyaratkan perppu HARUS disetujui DPR pada masa sidang berikutnya, dan HARUS dicabut jika tidak mendapatkan persetujuan DPR,” katanya dalam pres rilisnya yang diterima Kabariku, Kamis (23/3/2023).
Denny menambahkan, masa sidang berikutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 52 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) adalah, “…masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan”.
Menurutnya, itu artinya sudah dilewati pada tanggal 16 Februari 2023 yang lalu. Dengan menyetujui Perppu Ciptaker pada masa sidang DPR sekarang, Presiden dan DPR nyata-nyata melanggar norma UU PPP yang mereka buat sendiri, dan yang lebih membahayakan, dengan ringan tangan melanggar ketentuan UUD 1945.
Sayangnya, Denny menilai, pelanggaran terang-terangan konstitusi berjamaah oleh Presiden dan DPR itu, realitasnya akan sulit untuk dikoreksi. Secara tata negara, koreksi konstitusional harusnya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, yang normalnya mengatakan Perppu Ciptaker tidak mematuhi putusan MK soal UU Ciptaker.
Lebih jauh, tandas Denny, Perppu Ciptaker harus dicabut karena tidak memenuhi tiga syarat konstitusional, yaitu:
a) syarat kondisi kegentingan yang memaksa;
b) syarat waktu HARUS disetujui DPR pada masa sidang berikutnya; dan
c) syarat HARUS dicabut jika tidak mendapat persetujuan DPR tersebut.
“Tapi saya terus terang tidak yakin atas independensi dan integritas mayoritas hakim konstitusi. MK sekarang – sebagaimana pula KPK – sudah dikerdilkan dan mudah diintervensi dengan pertimbangan dan kepentingan non-konstitusi,” katanya.
Menurut Denny, hukuman sanksi ringan berupa teguran tertulis kepada Hakim Guntur Hamzah, atas kesalahan yang sangat fundamental yaitu mengubah putusan MK, adalah indikasi kuat bahwa hukuman ringan itu merupakan tukar-guling untuk Hakim Guntur untuk memutus perkara di MK sesuai kepentingan kekuasaan yang melindunginya.
“Hakim-hakim yang kehilangan integritas, akhirnya tetap bertahan di MK, dan menyebabkan MK kehilangan independensi dan kewibawaan institusionalnya,” bebernya.
Denny juga menyebutkan, sejak pengubahan UU MK yang memperpanjang masa jabatan hakim MK selama 15 tahun atau hingga usia 70 tahun, para hakim sebenarnya telah mendapatkan gratifikasi jabatan dan mulai kehilangan moralitasnya sebagai negarawan.
Ditambah dengan pemberhentian sewenang-wenang kepada Hakim Aswanto, MK semakin kehilangan independensinya.
“Maka, berharap banyak untuk MK menunjukkan wibawanya sebagai pengawal konstitusi, saya khawatir, ibarat punguk merindukan bulan,” ujarnya.
Dalam prediksi Denny, MK tidak akan tegas dan berani membatalkan Perppu Ciptaker yang telah dengan telanjang-terang-benderang, melecehkan dan melanggar syarat terbitnya perppu, dan syarat-syarat perppu menjadi UU.
“MK yang kini ada, mayoritas hakim konstitusinya telah tersandera dengan gratifikasi masa jabatan, dan keinginan untuk tetap bertahan dan tidak diberhentikan dari kursi empuk Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.
Denny menambahkan, keberadaan hakim konstitusi yang berkompromi dengan pelanggaran konstitusi, dan toleran dengan kepentingan politik sesaat yang demikian, akan membahayakan kualitas Pemilu 2024.
“MK sebagai pemutus akhir sengketa Pemilu 2024, berpotensi akan tetap diisi oleh mayoritas hakim konstitusi yang mengambil keputusan demi menguntungkan kekuasaan, kontestan parpol, ataupun capres dengan imbalan menyelamatkan posisinya sebagai hakim konstitusi,” ungkap Denny.
Denny mengatakan, tidak ada jalan lain, rakyat sendiri sebagai pemilik sebenarnya dari Republik Indonesia, harus melakukan kudeta konstitusional dengan merebut kembali Daulat Rakyat (Demokrasi), dan menghentikan Daulat Duit (Duitokrasi).
“Karena ujungnya, semua berujung pada orientasi keuntungan finansial bisnis dan akhirnya korupsi, di atas resiko terjadinya penderitaan rakyat, rusaknya lingkungan, serta moralitas kebangsaan Indonesia,” ujarnya.***
Red/K.102
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post