oleh:
Dr. Andry Wibowo, S.I.K., MH., M.Si
Kabariku- Sekitar tahun 2016 penulis membaca 2 (dua) buku sekaligus yang berjudul “Post Truth“ dan “Crowdocracy”.
Penulis membaca kedua buku tersebut dengan teliti dan cermat untuk memahami kandungan isinya yang menjadi titik perhatian dari kedua penulisnya.
Buku pertama post truth (pasca kebenaran) yang kemudian menjadi istilah fenomenal dalam konteks kontestasi pemilu baik di Indonesia maupun Amerika tempat kajian dari buku ini.
Fenomena post truth lebih menyoroti konteks struktural dimana fenomena berita bohong yang lahir dari “manipulasi realita”.
Pemberitaan palsu yang lahir dari karangan belaka dan digunakan sebagai cara untuk membentuk opini dalam masyarakat. Sebuah upaya propaganda yang dimaksudkan untuk kepentingan politik struktural .
Cara demikian berdasarkan postulat, kebohongan yang disampaikan secara berulang-ulang akan menjadi kebenaran dalam persepsi publik.
Dalam sejarahnya fenomena post truth digunakan oleh banyak aktor struktural maupun perorangan.
Dalam cerita mitos kisah “Abu Nawas“ adalah salah satu contohnya. Bagaimana dengan kelihaiannya, seorang Abu Nawas mampu menghipnotis banyak orang. Meski kecerdikannya dalam mengemas cerita tidak sesuai dengan realitas sebenarnya.
Fenomenna post truth kemudian terus terjadi pada berbagai konteks kehidupan.
Tidak saja bermotif sosial politik, namun juga dengan tujuan ekonomi. Modusnya, menyamarkan kekurangan dan menyampaikan kebenaran palsu (false truth).
Seperti periode tahun 1970-1980-an ketika Jakarta dipenuhi tukang obat jalanan yang menjajakan barangnya dengan berbagai orasi dan tipu muslihat yang menarik.
Bahkan tak jarang dengan menambahkan pertunjukkan sulap untuk meyakinkan para pembelinya.
Fenomena post truth dalam konteks yang lebih luas dan fenomenal sudah digunakan sejak perang dunia I dan II. Tatkala Joseph Goebbels, seorang propagandis andalan Nazi yang bekerja tanpa henti untuk membangkitkan patriotisme rakyat Jerman di masa kekuasaan Hitler.
Yang terdekat, ingatan dunia pada fenomena perang agitasi dan propaganda dalam pemilu di Amerika Serikat ketika Donald Trump berhadapan dengan Hillary Clinton.
Fenomena post truth hingga kini menjadi fenomenal dan sering digunakan para aktor struktural dan sosial di penjuru dunia dengan melewati nilai kejujuran sebagai etika dasar kehidupan secara umum.
Lalu bagaimana kemudian dengan crowdocracy yang padanan katanya berasal dari “crowd “ dan “democracy“ atau demokrasi kerumunan atau demokrasi massa?
Sebagai sebuah konsep, demokrasi yang berasal dari kata “demos” dan “kratos” yang dalam realitasnya dioperasikan secara berbeda dan beragam dalam masyarakat di dunia.
Sehingga demokrasi itu sendiri mengalami banyak manipulasi di dalam prakteknya.
Sebagai suatu paradigma berfikir, demokrasi menawarkan proses “check” and “balances”.
Tidak saja sebagaimana dikonsepkan dalam “trias politica” kekuasaan, tetapi juga oleh kekuatan publik. Apalagi dengan kecanggihan teknologi informasi yang terjadi saat ini.
Istilah “vox populi vox dei“ yang dimaknai suara rakyat adalah suara Tuhan, dimanifestasikan pada konteks yang lebih luas tidak hanya pada konteks Pemilu.
Namun juga dalam relasi antara struktural dan sosial yang lebih luas, salah satunya adalah fenomena crowdocracy.
Crowdocracy adalah upaya kerumunan masyarakat yang mengorganisasikan dirinya secara “intangible” dan “fluid” berdasarkan pada kesamaan kepentingan dan pemikiran pada persoalan tertentu.
Sebagai upaya mengkritik perilaku politik struktural yang cenderung menyimpang dan bertentangan dengan nilai demokrasi seperti “transparansi” dan “akuntabel” yang berakibat runtuhnya kepercayaan publik.
Dalam “crowdocracy” kerumunan ini juga berupaya membangun gerakan sosial bersama publik sebagai jalan alternatif untuk memastikan persoalan diletakkan secara proposional.
Crowdocracy tidak sekedar mengkritik dan bersuara lalu kemudian berharap sepenuhnya perubahan terjadi secara struktural.
Crowdocracy juga melakukan tindakan operasional yang kongkrit sebagai pilihan alternatif dari kerja struktural.
Keterkaitan antara “post truth“ dan “Crowdocracy“ ternyata keduanya lahir dari sebuah hukum kausalitas sosial politik struktural.
Disaat politik struktural dianggap “incompetence”, tidak transparan, tidak akuntabel dan kehilangan kepercayaan, publik akan melakukan berbagai macam upaya kritisnya.
Selain berkomentar dan beropini, penganut “crowdocracy” juga melakukan tindakan nyata demi tuntasnya persoalan yang terjadi di dalam masyarakat.
Bersama harapan publik, nilai-nilai demokrasi terselamatkan dan kebenaran mendapatkan tempatnya. Dengan kata lain “crowdocracy” adalah anti thesis dari fenomena perilaku “post truth“ didalam politik struktural yang terjadi dalam sistem demokrasi hari ini.***
Red/K.101