JAKARTA, Kabariku- Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial, Dr. H. Andi Samsan Nganro, S.H., M.H., menghadiri kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Urgensi RUU tentang Penyadapan dalam Sistem Penegakan Hukum Berbasis Prinsip Due Process of Law. Bertempat di Hotel Ritz Carlton Jakarta Pacific Place, pada hari Rabu, 15 Desember 2021 yang lalu.
Dalam paparannya, Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial menyampaikan bahwa izin pengadilan dalam proses penyadapan merupakan sebuah keniscayaan hukum.
“Penyadapan merupakan bagian dari proses penyidikan, maka seharusnya penyadapan perlu ada sarana kontrol sebagaimana mekanisme tindakan paksa yang terdapat di dalam KUHAP seperti penyitaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan,” terang Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial.
Selain perlu izin dari pengadilan juga ada mekanisme kontrol melalui proses praperadilan, dalam kondisi tertentu.
“Dimaksud, karena alasan mendesak, penegak hukum yang berwenang dapat melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan, namun penyadapan tersebut perlu mendapat persetujuan atau pengesahan dari pengadilan,” tegas Dr. H. Andi Samsan Nganro, S.H., M.H.
Kegiatan FGD tersebut diselenggarakan oleh Komisi III DPR-RI, bertindak sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut H. Arsul Sani, S.H., M.Si., Anggota Komisi III DPR-RI, Prof. Dr. M. Guntur Hamzah, S.H., M.H., Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, dan Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum., Kepala Badan Keahlian DPR-RI. Peserta kegiatan berasal dari mitra kerja Komisi III DPR-RI, di antaranya Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, Kementerian Hukum dan HAM, Komisi Yudisial, Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK), dan mitra kerja lainnya.
Dalam pembukaan FGD, Wakil Ketua DPR-RI, Lodewijk F. Paulus, mengemukakan bahwa saat ini pengaturan tentang penyadapan terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral.
Akibatnya, mekanisme penyadapan beragam sesuai dengan ketentuan yang mengatur masing-masing lembaga tersebut, seperti Kepolisian RI, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan KPK.
“Oleh karena itu, ke depan kita memerlukan undang-undang yang secara khusus mengatur mekanisme penyadapan secara tegas dan jelas,” ungkapnya.
Arsul Sani, S.H., M.Si., dalam paparannya, menyampaikan bahwa RUU Penyadapan merupakan kebutuhan untuk menjamin keseimbangan antara perlindungan hak privasi seseorang dengan kepentingan penegakan hukum.
“Komisi III membuka ruang untuk mendapat masukan, saran, maupun informasi apapun tentang RUU Penyadapan. Harapanya, RUU ini terbentuk secara hati-hati, mendasar, dan menyeluruh terhadap seluruh aspek yang terkait,” tegas H. Arsul Sani.
Pada sesi diskusi, beberapa dari Anggota Komisi III meyampaikan tanggapan dan apresiasi kepada mitra kerja Komisi III yang telah menyampaikan pandangan atas pembentukan RUU Penyadapan. Pandangan tersebut tentunya bermanfaat guna menyempurnakan draf Naskah Akademik dan draf RUU tersebut, terang meraka.
Sementara itu, Sekjen MK Dr. M. Guntur Hamzah, S.H., M.H., menyampaikan apresiasi upaya dan ikhtiar DPR dalam rangka persiapan pembahasan dan pembentukan UU Penyadapan.
“Kami memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas upaya dan ikhtiar DPR dalam rangka persiapan pembahasan dan pembentukan UU Penyadapan,” sebut Guntur.
Menurut Guntur, upaya DPR untuk membentuk UU Penyadapan sangat sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan mandat agar Pembentuk Undang-Undang segera membentuk UU Penyadapan yang komprehensif dalam satu undang-undang.
Dalam FGD tersebut, Guntur memaparkan materi “Kewenangan dan Pengaturan Penyadapan yang sesuai dengan Konstitusi dan HAM”.
Dalam paparannya, Guntur menyebut perihal sejumlah putusan perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi menyangkut ketentuan mengenai penyadapan.
“Setidaknya sampai saat ini terdapat 5 (lima) putusan MK terkait ketentuan penyadapan,” sebutnya.
Tiga putusan di antaranya, menguji ketentuan penyadapan yang dimuat di UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu; Putusan Nomor 006/PUU-I/2003, Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, dan Putusan Nomor 60/PUU-VIII/2010.
Dua putusan lain berkenaan dengan pengujian UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yaitu Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016.
Dari kelima putusan tersebut, lanjut Guntur, hanya putusan dalam perkara pengujian UU ITE yang dikabulkan, yakni dalam Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016.
“Dari putusan tersebut, yang menggembirakan ialah semua perubahan norma yang diakibatkan oleh putusan dalam dua putusan tersebut telah diakomodasi oleh Pembentuk Undang-Undang melalui Perubahan UU ITE,” kata Guntur.
Namun menurut Guntur, ada yang constitutional order yang belum diakomodir, yaitu membuat pengaturan penyadapan dalam satu undang-undang yang bersifat komprehensif.
“Sebagaimana kita lihat bersama, terdapat ikhtiar sungguh-sungguh untuk melaksanakan mandat konstitusional tersebut. Salah satunya dengan menggelar FGD ini,” ujarnya.
Selain itu, Guntur juga menyampaikan bahwa penyadapan merupakan pelanggaran hak privasi yang bertentangan dengan konstitusi. Namun demikian, hak privasi merupakan bagian dari HAM yang dapat dikurangi (derogable right), sehingga demi keperluan yang sangat penting seperti penegakan hukum, hak privasi dapat dibatasi.
“Pembatasan itu harus tunduk pada Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, yakni hanya dapat dilakukan pembatasan yang diatur dengan undang-undang,” ucapnya.
Berkenaan dengan pembatasan HAM yang dapat dilakukan melalui undang-undang, Guntur mengingatkan perlunya merujuk pada sejumlah putusan MK yang memberikan rambu-rambu bagaimana pembatasan HAM melalui undang-undang yang sejalan dengan konstitusi.
Guntur menyebut setidaknya rambu-rambu tersebut termuat dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, Putusan Nomor 008/PUU-II/2004, dan Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015.
Lebih lanjut, Guntur menjelaskan, putusan tersebut memberikan tafsir terhadap Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 manakala pembatasan HAM akan dilakukan melalui pengaturan dalam UU.
Guntur merinci rambu-rambu pembatasan HAM tersebut yang dikaitkan dengan pembahasan RUU Penyadapan.
Pembatasan HAM berupa penyadapan dilakukan dengan diatur dengan UU tersendiri secara komprehensif sebagaimana putusan MK.
Berikutnya, pemberian kewenangan kepada lembaga dan proses penyadapan yang didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional, serta tidak berkelebihan.
Kemudian, penyadapan dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Disampaikan juga oleh Guntur, pengaturan dan proses penyadapan dilakukan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
“Bahwa pengaturan mengenai penyadapan tidak boleh diskriminatif,” tegasnya.
Pada bagian akhir, Guntur mengingatkan agar pembentukan undang-undang memperhatikan dan mempertimbangkan putusan MK.
“Rambu-rambu konstitusional sebagaimana dimuat dalam putusan MK penting diperhatikan dalam penyusunan dan pembahasan RUU Penyadapan,” pungkas Guntur.
*Sumber: mahkamahagung.go.id
Red/K.101
Jangan lupa, Ikuti Update Berita menarik dari kabariku.com dan klik follow akun Google News Kabariku dan Channel WhatsApp Kabariku.com
Discussion about this post